Cinta Tertinggi, Cita Tertinggi, Tujuan Tertinggi dalam DERAP KEHIDUPAN

"...Berdoalah dengan memanggil Nama-nama baik-Ku"

LEARNING BY PRAYING, LEARNING BY DOING, LEARNING TO LIFE TOGETHER AND LEARNING TO BE

SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU AMANAH JUWIRING KLATEN

PENDAHULUAN

Pendidikan Sains Tehnologi yang berbasic Ketaqwaan dengan pengembangan diri, menggali potensi siswa, sehingga muncul kepribadian dari dirinya akan pentingnya Aqidah dalam era Global, Tantangan zaman dan Tuntutan Kemampuan sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak dapat dihindari. Karena pendidikan anak merupakan dasar pertama untuk pengembangan selanjutnya.

Sehingga pendidikan saat ini harus berkualitas, seimbang. Seimbang antara teori dan praktek sehingga ilmu yang telah dipelajari sebagai teori diupayakan untuk dilatih sejak dini untuk dipraktekkan. Selain itu cakupan pendidikan harus menyeluruh antar pendidikan akal (kognitif),hati (afektif),praktek (psikomotorik), sebab ketiganya merupakan bekal utama setiap manusia untuk menjalani hidup dan menghadapi segala masalah kehidupan

Latar Belakang

Yayasan Baitul Maal Amanah sebagai sebuah yayasan yang bergerak langsung ditengah masyarakat untuk membangun dan memberdayakan ummat, khususnya di Juwiring dan wilayah sekitar pada umumnya, dapat merasakan kebutuhan ummat terhadap pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat umum. Berpedoman kepada keyakinan terhadap Allah SWT maka Yayasan Baitul Maal Amanah membuka program pendidikan formal tingkat dasar yang di beri nama SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) AMANAH. Setelah sebelumnya mendirikan pendidikan prasekolah yang berupa Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT) AMANAH. Sekolah Islam Terpadu Amanah ini diharapkan dapat memenuhi dan menjawab kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualias, seimbang, mencakup dan terjangkau.

Alhamdulillah pada tahun ajaran 2009/2010 Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah telah memasuki tahun ke enam dengan tanggapan masyarakat yang terus meningkat, mohon doanya ini akan mengeluarkan alumni pertama, semoga sukses AMANAH yang tercinta


Nama dan Kedudukan

Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah berkedudukan di Tegalan, Bolopleret, Juwiring, Klaten

Jawa Tengah 57472

Kurikulum

Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah merupakan gabungan dari tiga kurikulum yang saling melengkapi

  1. Kurikulum pendidikan umum dasar dari Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
  2. Kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.
  3. Muatan local yang mencakup mata pelajaran penunjang pemantapan agama dan peningkatan keterampilan hidup.

Ekstrakurikuler

  1. Leadership : Kemampuan dalam memimpin dirinya dan sekitarnya dengan Muhadoroh (latihan pidato) bahasa Inggris, Arab, Indonesia dan Bahasa Jawa,Kepramukaan.
  2. Dokter Kecil mengenal tentang kesehatan diri dan lingkungan.
  3. Sanggar Kreatifitas, pengembangan minat bakat (Drama, melukis, seni kaligrafi).
  4. OFTA (Out Tracking Fun Adventure) aktifitas luar dalam mengeksplorasi kemampuan psikomotorik siswa.
  5. Dasar Tehnologi : Sempoa sebagai dasar hitung menghitung dan computer dasar tehnologi pada kelas 3.
  6. Lifeskill kemampuan mengenal dirinya, kemudian menumbuhkan kemandirian dalam kehidupan.

Tujuan

  1. Mampu mempelajari, memahami, menafsirkan serta mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al Hadits sebagai dasar terpenting pada Aqidah, Ibadah dan Akhlaq.
  2. Mempunyai motivasi diri lebih mengembangkan diri untuk kreatif dan prestasi.
  3. Mengenal Bahasa Asing (Arab dan Inggris)

Biaya Pendidikan

Biaya Pendidikan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah sangat terjangkau oleh masyarakat pada umumnya karena hanya terdiri dari uang pendaftaran dan uang administrasi wajib pada saat masuk serta uang SPP tiap bulan yang relatif ringan. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah tidak memberlakukan biaya daftar ulang, sehingga setelah masuk tahun pertama biaya sekolah akan terasa ringan. Bagi anak yatim di berlakukan pembiayaan khusus.

Tenaga Pendidik

Tenaga Pendidik di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah terdiri dari guru-guru yang semuanya lulusan dari perguruan tinggi negeri dan swasta sehingga InsyaAllah menguasai bidang pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Senin, 20 April 2009

SEPUTAR TENTANG ORANG SAKIT bagian : (1) (Dr. QORDHOWI)

Daftar Isi

Daftar Isi
Menjenguk Orang Sakit dan Hukumnya
Keutamaan dan Pahala Menjenguk Orang Sakit
Disyariatkan Menjenguk Setiap Orang Sakit
Menjenguk Anak Kecil dan Orang yang Tidak Sadar
Wanita Menjenguk Laki-laki yang Sakit
Laki-laki Menjenguk Perempuan yang Sakit
Menjenguk Orang Non-Muslim
Menjenguk Ahli Maksiat
Berapa Kali Menjenguk Orang Sakit?
Mendoakan Si Sakit
Menguatkan Harapan Sembuh Ketika Sakit
Menjampi Si Sakit dan Syarat-syaratnya
Menyuruh Si Sakit Berbuat Ma'ruf
dan Mencegahnya dari yang Mungkar
Mendonorkan Darah untuk Si Sakit
Keutamaan Kesabaran Keluarga Si Sakit
Penderita Sakit Jiwa
Biaya Pengobatan Si Sakit
Orang Sakit yang Mati Otaknya
Dianggap Mati Menurut Syara'
Melepas Peralatan dari Penderita
yang Tidak Ada Harapan Sembuh
Mengingatkan Penderita Agar Bertobat dan Berwasiat
Rukhshah bagi Si Sakit untuk Mengeluarkan Deritanya
Si Sakit Mengharapkan Kematian
Berbaik Sangka kepada Allah Ta'ala
Ketika Sekarat dan Mendekati Kematian
Apa yang Harus Dilakukan Setelah Mati?

Fakultas Kedokteran Universitas al-Malik Faishal di Dammam
melaksanakan suatu kegiatan yang bagus dan mulia, yaitu
menyusun sebuah buku yang membicarakan kode etik kedokteran
dalam Islam.

Programnya disusun sedemikian bagus, masing-masing topik
pembahasan diserahkan kepada sejumlah pemerhati masalah
kedokteran dan syariah, dari kalangan ahli fiqih dan ahli
kedokteran. Pihak fakultas menegaskan bahwa proyek ini
semata-mata sebagai amal kebajikan karena Allah dan untuk
mencari ridha-Nya, tidak ada tujuan materiil sama sekali.
Orang-orang yang ikut andil menyumbangkan tulisannya pun tidak
mendapatkan honorarium, pahala mereka hanya pada sisi Allah
SWT.

Dewan redaksi meminta kepada saya untuk menulis salah satu
dari topik yang berkaitan dengan "Hak dan Kewajiban Keluarga
Si Sakit dan Teman-temannya." Topik ini membuat beberapa unsur
penting yang layak untuk dijelaskan menurut tinjauan dalil dan
ushul (prinsip) syar'iyah, antara lain:

A. Menjenguk orang sakit;
B. Adab menjenguk orang sakit;
C. Menanggung biaya pengobatan, seluruhnya atau sebagian;
D. Mendermakan (mendonorkan) darah untuk si sakit;
E. Mendonorkan organ tubuh;
F. Hak si sakit yang tidak normal pikirannya (karena
terbelakang, karena di bawah ancaman, atau karena hilang
akal);
G. Hak-hak si sakit menjelang kematiannya, dan adab
bergaul dengannya;
H. Hak-hak si sakit yang mati otaknya, dan hukum
kematian otak.

Saya meminta pertolongan kepada Allah, dan saya tulis apa yang
diminta oleh panitia, meskipun kesibukan saya sangat banyak.
Tulisan itu saya kirimkan kepada saudara A.D. Zaghlul
an-Najjar untuk disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.

Oleh karena proses penerbitan buku tersebut cukup lama, maka
saya memandang perlu memuat pembahasan tersebut dalam kitab
ini agar manfaatnya lebih luas dan merata, disamping dapat
segera dimanfaatkan. Segala puji teruntuk Allah yang telah
memberikan taufiq-Nya.

Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Rasulullah, keluarganya, dan kepada
orang- orang yang mengikuti petunjuknya.

Amma ba'du.

Sesungguhnya perubahan merupakan salah satu gejala umum bagi
makhluk di alam semesta ini, khususnya makhluk hidup. Karena
itu, makhluk-makhluk ini senantiasa menghadapi kondisi sehat
dan sakit, yang berujung pada kematian.

Adapun manusia adalah makhluk hidup yang tertinggi
peringkatnya, karena itu tidaklah mengherankan bila manusia
ditimpa berbagai hal. Bahkan ia lebih banyak menjadi sasaran
musibah tersebut dibandingkan makhluk lainnya, karena adanya
faktor kemauan dan faktor alami yang mempengaruhi
kehidupannya.

Oleh karena itu, syariat Islam menganggap penyakit atau sakit
merupakan fenomena yang biasa dalam kehidupan manusia, mereka
diuji dengan penyakit sebagaimana diuji dengan penderitaan
lainnya, sesuai dengan sunnah dan undang-undang yang mengatur
alam semesta dan tata kehidupan manusia.

Sebab itu pula terdapat berbagai macam hukum dalam berbagai
bab dari fiqih syariah yang berkaitan dengan penyakit, yang
seharusnya diketahui oleh seorang muslim, atau diketahui mana
yang terpenting, supaya dia dapat mengatur hidupnya pada waktu
dia sakit --sebagaimana dia mengaturnya ketika dia sehat--
sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah, jauh dari
apa yang dibenci dan dimurkai-Nya.

Diantara hukum-hukum ini adalah yang berhubungan dengan
pengobatan orang sakit, hukum berobat, siapa yang
melakukannya, bagaimana hubungannya dengan masalah kedokteran,
pengobatan, dan obat itu sendiri, bagaimana bentuk kemurahan
dan keringanan yang diberikan kepada si sakit berkenaan dengan
kewajiban dan ibadahnya, dan bagaimana pula yang berhubungan
dengan perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan.

Misalnya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban si sakit,
serta hak dan kewajiban orang-orang di sekitarnya, seperti
keluarga, sanak kerabat, dan teman-temannya.

Orang yang memperhatikan Al-Qur'anul Karim niscaya ia akan
menjumpai kata al-maradh (penyakit/sakit) dengan kata-kata
bentukannya yang disebutkan sebanyak lima belas kali, sebagian
berhubungan dengan penyakit hati, dan kebanyakan berhubungan
dengan penyakit tubuh. Sebagaimana Al-Qur'an juga menyebutkan
kata-kata syifa' (obat) beserta variasi bentuknya sebanyak
enam kali, yang kebanyakan berhubungan dengan penyakit hati.

Masalah ini juga mendapat perhatian dari para ahli hadits dan
ahli fiqih, sehingga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab
hadits yang disusun menurut bab dan maudhu' (topik)-nya, yang
di antaranya ialah "Kitab ath-Thibb" (obat/pengobatang)1 dan
di antaranya --seperti Shahih al-Bukhari-- terdapat "Kitab
al-Mardha" (orang-orang sakit). Ini berkaitan dengan "Bab
ar-Ruqa" (mantra-mantra/jampi-jampi) jimat, penyakit 'ain,
sihir, dan lain-lainnya. Kemudian ada pula masalah yang
berkaitan dengan penyakit yang dimuat di dalam kitab al-Janaiz
(jenazah).

Dalam kehidupan kita pada zaman modern ini telah timbul
berbagai persoalan dan permasalahan dalam dunia penyakit dan
kedokteran yang belum dikenal oleh para fuqaha kita terdahulu,
bahkan tidak pernah terpikir dalam benak mereka. Karena itu
fiqih modern harus dapat memahaminya dan menjelaskan hukum
syara' yang berkaitan dengannya, sesuai dengan dalil-dalil dan
prinsip-prinsip syariat.

Diantara ketetapan yang sudah disepakati ialah bahwa syariat
menghukumi semua perbuatan orang mukallaf, yang besar ataupun
yang kecil, dan tidak satu pun perbuatan mukallaf yang lepas
dari bingkainya. Karena itu setiap perbuatan mukallaf yang
dilakukan dengan sadar, pasti terkena kepastian hukum dari
lima macam hukumnya, yaitu wajib, mustahab, haram, makruh,
atau mubah.

Pada halaman-halaman berikut ini akan saya kemukakan
hukum-hukum syara' yang terpenting dan pengarahan-pengarahan
Islam yang berhubungan dengan kedokteran (pengobatan),
kesehatan, dan penyakit, dengan mengacu pada nash-nash
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan maksud syariat juga dengan mengambil
sebagian dari perkataan ulama-ulama umat yang mendalam
ilmunya, dengan mengaitkannya dengan kenyataan sekarang. Kita
mohon kepada Allah semoga Dia menjadikannya bermanfaat ...
amin.

MENJENGUK ORANG SAKIT DAN HUKUMNYA

Orang sakit adalah orang yang lemah, yang memerlukan
perlindungan dan sandaran. Perlindungan (pemeliharaan,
penjagaan) atau sandaran itu tidak hanya berupa materiil
sebagaimana anggapan banyak orang, melainkan dalam bentuk
materiil dan spiritual sekaligus.

Karena itulah menjenguk orang sakit termasuk dalam bab
tersebut. Menjenguk si sakit ini memberi perasaan kepadanya
bahwa orang di sekitarnya (yang menjenguknya) menaruh
perhatian kepadanya, cinta kepadanya, menaruh keinginan
kepadanya, dan mengharapkan agar dia segera sembuh.
Faktor-faktor spiritual ini akan memberikan kekuatan dalam
jiwanya untuk melawan serangan penyakit lahiriah. Oleh sebab
itu, menjenguk orang sakit, menanyakan keadaannya, dan
mendoakannya merupakan bagian dari pengobatan menurut
orang-orang yang mengerti. Maka pengobatan tidak seluruhnya
bersifat materiil (kebendaan).

Karena itu, hadits-hadits Nabawi menganjurkan "menjenguk orang
sakit" dengan bermacam-macam metode dan dengan menggunakan
bentuk targhib wat-tarhib (menggemarkan dan menakut-nakuti
yakni menggemarkan orang yang mematuhinya dan menakut-nakuti
orang yang tidak melaksanakannya).

Diriwayatkan di dalam hadits sahih muttafaq 'alaih dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:

"Hak orang muslim atas orang muslim lainnya ada lima:
menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantarkan
jenazahnya, mendatangi undangannya, dan mendoakannya
ketika bersin."2

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari, ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang
sakit, dan tolonglah orang yang kesusahan."3

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari al-Barra' bin Azib, ia
berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan tujuh perkara
... Lalu ia menyebutkan salah satunya adalah menjenguk
orang sakit."4

Apakah perintah dalam hadits di atas dan hadits sebelumnya
menunjukkan kepada hukum wajib ataukah mustahab? Para ulama
berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Imam Bukhari berpendapat bahwa perintah disini menunjukkan
hukum wajib, dan beliau menerjemahkan hal itu di dalam kitab
Shahih-nya dengan mengatakan: "Bab Wujubi 'Iyadatil-Maridh"
(Bab Wajibnya Menjenguk Orang Sakit).

Ibnu Baththal berkata, "Kemungkinan perintah ini menunjukkan
hukum wajib dalam arti wajib kifayah, seperti memberi makan
orang yang lapar dan melepaskan tawanan; dan boleh jadi mandub
(sunnah), untuk menganjurkan menyambung kekeluargaan dan
berkasih sayang."

Ad-Dawudi memastikan hukum yang pertama (yakni fardhu kifayah;
Penj.). Beliau berkata, "Hukumnya adalah fardhu, yang dipikul
oleh sebagian orang tanpa sebagian yang lain."

Jumhur ulama berkata, "Pada asalnya hukumnya mandub (sunnah),
tetapi kadang-kadang bisa menjadi wajib bagi orang tertentu."

Sedangkan ath-Thabari menekankan bahwa menjenguk orang sakit
itu merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkahnya,
disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah
bagi orang selain mereka.

Imam Nawawi mengutip kesepakatan (ijma') ulama tentang tidak
wajibnya, yakni tidak wajib 'ain.5

Menurut zhahir hadits, pendapat yang kuat menurut pandangan
saya ialah fardhu kifayah, artinya jangan sampai tidak ada
seorang pun yang menjenguk si sakit. Dengan demikian, wajib
bagi masyarakat Islam ada yang mewakili mereka untuk
menanyakan keadaan si sakit dan menjenguknya, serta
mendoakannya agar sembuh dan sehat.

Sebagian ahli kebajikan dari kalangan kaum muslim zaman dulu
mengkhususkan sebagian wakaf untuk keperluan ini, demi
memelihara sisi kemanusiaan.

Adapun masyarakat secara umum, maka hukumnya sunnah muakkadah,
dan kadang-kadang bisa meningkat menjadi wajib bagi orang
tertentu yang mempunyai hubungan khusus dan kuat dengan si
sakit. Misalnya, kerabat, semenda, tetangga yang berdampingan
rumahnya, orang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai
hak guru dan kawan akrab, dan lain-lainnya, yang sekiranya
dapat menimbulkan kesan yang macam-macam bagi si sakit
seandainya mereka tidak menjenguknya, atau si sakit merasa
kehilangan terhadap yang bersangkutan (bila tidak
menjenguknya).

Barangkali orang-orang macam inilah yang dimaksud dengan
perkataan haq (hak) dalam hadits: "Hak orang muslim terhadap
muslim lainnya ada lima," karena tidaklah tergambarkan bahwa
seluruh kaum muslim harus menjenguk setiap orang yang sakit.
Maka yang dituntut ialah orang yang memiliki hubungan khusus
dengan si sakit yang menghendaki ditunaikannya hak ini.

Disebutkan dalam Nailul-Authar: "Yang dimaksud dengan sabda
beliau (Rasulullah saw.) 'hak orang muslim' ialah tidak layak
ditinggalkan, dan melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib
atau sunnah muakkadah yang menyerupai wajib. Sedangkan
menggunakan perkataan tersebut --yakni haq (hak)-- dengan
kedua arti di atas termasuk bab menggunakan lafal musytarik
dalam kedua maknanya, karena lafal al-haq itu dapat
dipergunakan dengan arti 'wajib', dan dapat juga dipergunakan
dengan arti 'tetap,' 'lazim,' 'benar,' dan sebagainya."6


KEUTAMAAN DAN PAHALA MENJENGUK ORANG SAKIT

Diantara yang memperkuat kesunnahan menjenguk orang sakit
ialah adanya hadits-hadits yang menerangkan keutamaan dan
pahala orang yang melaksanakannya, misalnya:

1. Hadits Tsauban yang marfu' (dari Nabi saw.):

"Sesungguhnya apabila seorang muslim menjenguk orang
muslim lainnya, maka ia berada di dalam khurfatul
jannah."7

Dalam riwayat lain ditanyakan kepada Rasulullah saw.:

"Wahai Rasulullah, apakah khurfatul jannah itu?" Beliau
menjawab, "Yaitu taman buah surga."

2. Hadits Jabir yang marfu':

"Barangsiapa yang menjenguk orang sakit berarti dia
menyelam dalam rahmat, sehingga ketika dia duduk berarti
dia berhenti disitu (didalam rahmat)."8

3. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa menjenguk orang sakit maka berserulah
seorang penyeru dari langit (malaikat), 'Bagus engkau,
bagus perjalananmu, dan engkau telah mempersiapkan
tempat tinggal di dalam surga."9

4. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada
hari kiamat, 'Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu
tidak menjenguk-Ku.' Orang itu bertanya, 'Oh Tuhan,
bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau adalah
Tuhan bagi alam semesta?' Allah menjawab, 'Apakah kamu
tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi
kamu tidak menjenguknya?Apakah kamu tidak tahu bahwa
seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di
sisinya?' 'Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu,
tetapi tidak kamu beri Aku makan.' Orang itu menjawab,
'Ya Rabbi, bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan
Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?' Allah menjawab,
'Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta
makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan? Apakah kamu
tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya
kamu dapati hal itu di sisiKu?' 'Wahai anak Adam, Aku
minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.'
Orang itu bertanya, 'Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu
minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?'Allah
menjawab, 'Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu,
tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu
bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu
dapati (balasannya) itu di sisi-Ku?"10

5. Diriwayatkan dari Ali r.a., ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda:

"Tiada seorang muslim yang menjenguk orang muslim
lainnya pada pagi hari kecuali ia didoakan oleh tujuh
puluh ribu malaikat hingga sore hari; dan jika ia
menjenguknya pada sore hari maka ia didoakan oleh tujuh
puluh ribu malaikat hingga pagi hari, dan baginya kurma
yang dipetik di taman surga." (HR Tirmidzi, dan beliau
berkata, "Hadits hasan.")11

DISYARIATKAN MENJENGUK SETIAP ORANG SAKIT

Dalam hadits-hadits yang menyuruh dan menggemarkan menjenguk
orang sakit terdapat indikasi yang menunjukkan disyariatkannya
menjenguk setiap orang yang sakit, baik sakitnya berat maupun
ringan.

Imam Baihaqi dan Thabrani secara marfu' meriwayatkan:

"Tiga macam penderita penyakit yang tidak harus dijenguk
yaitu sakit mata, sakit bisul, dan sakit gigi."

Mengenai hadits ini, Imam Baihaqi sendiri membenarkan bahwa
riwayat ini mauquf pada Yahya bin Abi Katsir. Berarti riwayat
hadits ini tidak marfu' sampai Nabi saw., dan tidak ada yang
dapat dijadikan hujjah melainkan yang beliau sabdakan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Mengenai menjenguk orang yang
sakit mata terdapat hadits khusus yang membicarakannya, yaitu
hadits Zaid bin Arqam, dia berkata:

"Rasulullah saw. menjenguk saya karena saya sakit
mata."12

Menjenguk orang sakit itu disyariatkan, baik ia terpelajar
maupun awam, orang kota maupun orang desa, mengerti makna
menjenguk orang sakit maupun tidak.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam "Kitab al-Mardha" dari kitab
Shahih-nya, "Bab 'Iyadatul-A'rab," hadits Ibnu Abbas r.a.
bahwa Nabi saw. pernah menjenguk seorang Arab Badui, lalu
beliau bersabda, "Tidak apa-apa, suci insya Allah." Orang Arab
Badui itu berkata, "Engkau katakan suci? Tidak, ini adalah
penyakit panas yang luar biasa pada seorang tua, yang akan
mengantarkannya ke kubur." Lalu Nabi saw. bersabda, "Oh ya,
kalau begitu."13

Makna perkataan Nabi saw., "Tidak apa-apa, suci insya Allah,"
itu adalah bahwa beliau mengharapkan lenyapnya penyakit dan
kepedihan dari orang Arab Badui itu, sebagaimana beliau
mengharapkan penyakitnya akan menyucikannya dari dosa-dosanya
dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Jika ia sembuh, maka
ia mendapatkan dua macam faedah; dan jika tidak sembuh, maka
dia mendapatkan keuntungan dengan dihapuskannya dosa dan
kesalahannya.

Tetapi orang Badui itu sangat kasar tabiatnya, dia menolak
harapan dan doa Nabi saw., lalu Nabi mentolerirnya dengan
menuruti jalan pikirannya seraya mengatakan, "Oh ya, kalau
begitu." Artinya, jika kamu tidak mau, ya baiklah, terserah
anggapanmu.

Disebutkan juga dalam Fathul-Bari bahwa ad-Daulabi dalam
al-Kuna dan Ibnu Sakan dalam ash-Shahabah meriwayatkan kisah
orang Badui itu, dan dalam riwayat tersebut disebutkan: Lalu
Nabi saw. bersabda, "Apa yang telah diputuskan Allah pasti
terjadi." Kemudian orang Badui itu meninggal dunia.

Diriwayatkan dari al-Mahlab bahwa ia berkata, "Pengertian
hadits ini adalah bahwa tidak ada kekurangannya bagi pemimpin
menjenguk rakyatnya yang sakit, meskipun dia seorang Badui
yang kasar tabiatnya; juga tidak ada kekurangannya bagi orang
yang mengerti menjenguk orang bodoh yang sakit untuk
mengajarinya dan mengingatkannya akan hal-hal yang bermanfaat
baginya, menyuruhnya bersabar agar tidak menggerutu kepada
Allah yang dapat menyebabkan Allah benci kepadanya,
menghiburnya untuk mengurangi penderitaannya, memberinya
harapan akan kesembuhan penyakitnya, dan lain-lain hal untuk
menenangkan hatinya dan hati keluarganya.

Diantara faedah lain hadits itu ialah bahwa seharusnya orang
yang sakit itu menerima nasihat orang lain dan menjawabnya
dengan jawaban yang baik."14

MENJENGUK ANAK KECIL DAN ORANG YANG TIDAK SADAR

Menjenguk orang sakit bukan berarti semata-mata membesarkan
penderita, tetapi hal itu juga merupakan tindakan dan
perbuatan baik kepada keluarganya. Oleh karena itu, tidak
apalah menjenguk anak kecil yang belum mumayyiz (belum bisa
membedakan antara satu hal dengan lainnya) yang jatuh sakit,
karena yang demikian itu akan menyenangkan hati keluarganya
dan menyebabkannya terhibur. Demikian pula dengan menjenguk
orang sakit yang tidak sadarkan diri, karena menjenguknya itu
dapat menyenangkan hati keluarganya dan meringankan beban
mentalnya. Kadang-kadang setelah yang sakit itu sadar dan
diberi kesembuhan oleh Allah, maka keluarganya dapat
menceritakan kepadanya siapa saja yang datang menjenguknya
ketika ia tidak sadar, dan dengan informasi itu dia merasa
senang.

Didalam kitab Shahih al-Bukhari, "Bab 'Iyadatush-Shibyan,"
disebutkan hadits Usamah bin Zaid r.a. bahwa putri Nabi saw.
mengirim utusan kepada beliau --pada waktu itu Usamah sedang
bersama Nabi saw., Sa'ad, dan Ubai-- untuk menyampaikan pesan
yang isinya: "Saya kira anak perempuan saya sudah hampir
meninggal dunia, oleh karena itu hendaklah Ayahanda datang
kepada kami --dalam satu riwayat menggunakan kata-kata:
hendaklah Ayahanda datang kepadanya." Lalu beliau mengirim
utusan kepada putri beliau untuk menyampaikan salam dan pesan
yang isinya: "Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang
diambil-Nya dan apa yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu
bergantung pada ajal yang telah ditentukan di sisiNya, karena
itu hendaklah ia rela dan sabar." Lalu putrinya itu mengirim
utusan lagi sambil bersumpah agar Rasulullah saw. datang
kepadanya. Lalu pergilah Nabi saw. bersama kami ... Kemudian
dibawalah anak yang sakit itu ke pangkuan Rasulullah saw.
dengan nafas yang tersendat-sendat. Maka meneteslah air mata
beliau. Lalu Sa'ad bertanya, "Apakah ini, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab:

"Ini adalah rahmat yang diletakkan Allah di dalam hati
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Dan Allah tidak
memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya kecuali yang
penyayang."15

Diriwayatkan juga dalam Shahih al-Bukhari, "Bab 'Iyadatil
Mughma 'alaihi," hadits Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata,
"Saya pernah jatuh sakit, lalu Rasulullah saw. menjenguk saya
bersama Abu Bakar dengan berjalan kaki. Lalu beliau berdua
mendapati saya dalam keadaan tidak sadar, lantas Nabi saw.
berwudhu, kemudian menuangkan bekas air wudhunya kepada saya,
kemudian saya sadar, ternyata beliau adalah Nabi saw., lalu
saya bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang harus saya lakukan
terhadap harta saya? Bagaimana saya memperlakukan harta saya?
Maka beliau tidak menjawab sedikit pun sehingga turun ayat
tentang waris."16

Ibnul Munir berkata, "Faedah terjemah --maksudnya pemberian
judul bab-- ialah agar tidak dipahami bahwa menjenguk orang
yang tidak sadar itu gugur (tidak perlu) karena yang
bersangkutan tidak mengetahui orang yang menjenguknya."
Al-Hafizh berkata, "Disyariatkannya menjenguk orang sakit
tidak semata-mata bergantung pada tahunya si sakit kepada
orang yang menjenguknya, karena menjenguk orang sakit itu
dapat juga menghibur hati keluarganya, dan diharapkannya
berkah doa orang yang menjenguk, usapan dan belaian tangannya
ke tubuh si sakit, tiupannya ketika memohon perlindungan, dan
lain-lainnya."17


WANITA MENJENGUK LAKI-LAKI YANG SAKIT

Disyariatkannya menjenguk orang sakit meliputi penjengukan
wanita kepada laki-laki, meskipun bukan muhrimnya, dan
laki-laki kepada wanita.

Diantara bab-bab dalam Shahih al-Bukhari pada "Kitab
al-Mardha" terdapat judul "Bab 'Iyadatin-Nisa' ar-Rijal" (Bab
Wanita Menjenguk Laki-laki). Dalam hal ini beliau
meriwayatkan suatu hadits secara mu'allaq (tanpa menyebutkan
rentetan perawinya): Bahwa Ummu Darda' pernah menjenguk
seorang laki-laki Anshar dari ahli masjid. Tetapi Imam Bukhari
memaushulkan (meriwayatkan secara bersambung sanadnya) didalam
al-Adabul-Mufrad dari jalan al-Harits bin Ubaid, ia berkata:

"Saya melihat Ummu Darda' di atas kendaraannya yang ada
tiangnya tetapi tidak bertutup, mengunjungi
seoranglaki-laki Anshar di masjid."18

Bukhari juga meriwayatkan hadits Aisyah r.a., ia berkata:

"Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, Abu Bakar dan
Bilal r.a. jatuh sakit, lalu aku datang menjenguk
mereka, seraya berkata, Wahai Ayahanda, bagaimana
keadaanmu? Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?" Aisyah
berkata, "Abu Bakar apabila terserang penyakit panas,
beliau berkata: 'Semua orang berada di tengah
keluarganya, sedang kematian itu lebih dekat daripada
tali sandalnya.' Dan Bilal apabila telah hilang
demamnya, ia berkata:

'Wahai, merinding bulu romaku
Apakah aku akan bermalam di suatu lembah
Yang dikelilingi rumput-rumput idzkhir dan jalil
Apakah pada suatu hari aku menginginkan air Majnah
Apakah mereka akan menampakkan kebagusan dan kekeruhanku?"

Aisyah berkata, "Lalu aku datang kepada Rasulullah saw.
memberitahukan hal itu, lantas beliau berdoa, Ya Allah,
jadikanlah kami mencintai Madinah seperti kami mencintai Mekah
atau melebihinya."19

Yang menjadi dalil kebolehan wanita menjenguk laki-laki dalam
hadits tersebut ialah masuknya Aisyah menjenguk ayahnya dan
menjenguk Bilal, serta perkataannya kepada masing-masing
mereka, "Bagaimana engkau dapati dirimu?" Yang dalam bahasa
kita sekarang sering kita ucapkan: "Bagaimana kesehatanmu?
Bagaimana keadaanmu?" Padahal Bilal ini bukan mahram bagi
Aisyah Ummul Mukminin.

Tetapi suatu hal yang tidak diragukan ialah bahwa menjenguknya
itu terikat dengan syarat-syarat tertentu yang telah
ditetapkan syara', bersopan santun sebagai muslimah dalam
berjalan, gerak-gerik, memandang, berbicara, tidak berduaan
antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang
lain, aman dari fitnah, diizinkan oleh suami bagi yang
bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami.

Dalam hal ini, janganlah suami atau wali melarang istri atau
putrinya menjenguk orang yang punya hak untuk dijenguk
olehnya, seperti kerabatnya yang bukan muhrim, atau besan
(semenda), atau gurunya, atau suami kerabatnya, atau ayah
kerabatnya, dan sebagainya dengan syarat-syarat seperti yang
telah disebutkan di atas.


LAKI-LAKI MENJENGUK PEREMPUAN YANG SAKIT

Sebagaimana terdapat beberapa hadits yang memperbolehkan
perempuan menjenguk laki-laki dengan syarat-syaratnya, jika
diantara mereka terjalin hubungan, dan laki-laki itu punya hak
terhadap wanita tersebut, maka laki-laki juga disyariatkan
untuk menjenguk wanita dengan syarat-syarat yang sama. Hal ini
jika diantara mereka terjalin hubungan yang kokoh, seperti
hubungan kekerabatan atau persemendaan, tetangga, atau
hubungan-hubungan lain yang menjadikan mereka memiliki hak
kemasyarakatan yang lebih banyak daripada orang lain.

Diantara dalilnya ialah keumuman hadits-hadits yang
menganjurkan menjenguk orang sakit, yang tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan.

Sedangkan diantara dalil khususnya ialah yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Jabir bin Abdullah
r.a.:

"Bahwa Rasulullah saw. pernah menjenguk Ummu Saib --atau
Ummul Musayyib-- lalu beliau bertanya, 'Wahai Ummus
Saib, mengapa engkau menggigil?' Dia menjawab, 'Demam,
mudah-mudahan Allah tidak memberkatinya.' Beliau
bersabda, 'Janganlah engkau memaki-maki demam, karena
dia dapat menghilangkan dosa-dosa anak Adam seperti
ububan (alat pengembus api pada tungku pandai besi)
menghilangkan karat besi.'"20

Padahal, Ummus Saib tidak termasuk salah seorang mahram Nabi
saw. Meskipun begitu, dalam hal ini harus dijaga syarat-syarat
yang ditetapkan syara', seperti aman dari fitnah dan
memelihara adab-adab yang sudah biasa berlaku (dan tidak
bertentangan dengan prinsip Islam; Penj.), karena adat
kebiasaan itu diperhitungkan oleh syara'.


MENJENGUK ORANG NON-MUSLIM

Dijadikannya menjenguk orang sebagai hak seorang muslim
terhadap muslim lainnya, sebagaimana disebutkan dalam
hadits-hadits itu, tidak berarti bahwa orang sakit yang
nonmuslim tidak boleh dijenguk. Sebab menjenguk orang sakit
itu, apa pun jenisnya, warna kulitnya, agamanya, atau
negaranya, adalah amal kemanusiaan yang oleh Islam dinilai
sebagai ibadah dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah).

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Nabi saw. menjenguk
anak Yahudi yang biasa melayani beliau ketika beliau sakit.
Maka Nabi saw. menjenguknya dan menawarkan Islam kepadanya,
lalu anak itu memandang ayahnya, lantas si ayah berisyarat
agar dia mengikuti Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.; Penj.),
lalu dia masuk Islam sebelum meninggal dunia, kemudian Nabi
saw. bersabda:

"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menyelamatkannya
dari neraka melalui aku." (HR Bukhari)

Hal ini menjadi semakin kuat apabila orang nonmuslim itu
mempunyai hak terhadap orang muslim seperti hak tetangga,
kawan, kerabat, semenda, atau lainnya.

Hadits-hadits yang telah disebutkan hanya untuk memperkokoh
hak orang muslim (bukan membatasi) karena adanya hak-hak yang
diwajibkan oleh ikatan keagamaan. Apabila si muslim itu
tetangganya, maka ia mempunyai dua hak: hak Islam dan hak
tetangga. Sedangkan jika yang bersangkutan masih kerabat, maka
dia mempunyai tiga hak, yaitu hak Islam, hak tetangga, dan hak
kerabat. Begitulah seterusnya.

Imam Bukhari membuat satu bab tersendiri mengenai "Menjenguk
Orang Musyrik" dan dalam bab itu disebutkannya hadits Anas
mengenai anak Yahudi yang dijenguk oleh Nabi saw. dan kemudian
diajaknya masuk Islam, lalu dia masuk Islam, sebagaimana saya
nukilkan tadi.

Beliau juga menyebutkan hadits Sa'id bin al-Musayyab dari
ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi
saw. datang kepadanya.21

Diriwayatkan juga dalam Fathul-Bari dari Ibnu Baththal bahwa
menjenguk orang nonmuslim itu disyariatkan apabila dapat
diharapkan dia akan masuk Islam, tetapi jika tidak ada harapan
untuk itu maka tidak disyariatkan.

Al-Hafizh berkata, "Tampaknya hal itu berbeda-beda hukumnya
sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang menjenguknya juga untuk
kemaslahatan lain."

Al-Mawardi berkata, "Menjenguk orang dzimmi (nonmuslim yang
tunduk pada pemerintahan Islam) itu boleh, dan nilai qurbah
(pendekatan diri kepada Allah) itu tergantung pada jenis
penghormatan yang diberikan, karena tetangga atau karena
kerabat."22

MENJENGUK AHLI MAKSIAT

Apabila menjenguk orang nonmuslim itu dibenarkan syariat,
bahkan kadang-kadang bernilai qurbah dan ibadah, maka lebih
utama pula disyariatkan menjenguk sesama muslim yang ahli
maksiat. Sebab, hadits-hadits yang menyuruh menjenguk orang
sakit dan menjadikannya hak orang muslim terhadap muslim
lainnya, tidak mengkhususkan untuk ahli taat dan kebajikan
saja tanpa yang lain, meskipun hak mereka lebih kuat.

Imam al-Baghawi mengatakan didalam Syarhus- Sunnah, setelah
menerangkan hadits Abu Hurairah mengenai enam macam hak
seorang muslim terhadap muslim lainnya dan hadits al-Barra'
bin Azib mengenai tujuh macam perkara yang diperintahkan,
"Semua yang diperintahkan ini termasuk hak Islam, yang seluruh
kaum muslim sama kedudukannya terhadapnya, yang taat ataupun
yang durjana. Hanya saja untuk orang yang taat perlu disikapi
dengan wajah yang ceria, ditanya keadaannya, dan diajak
berjabat tangan, sedangkan orang yang durjana yang secara
terang-terangan menampakkan kedurjanaannya tidak perlu
diperlakukan seperti itu."23

Dalam hal ini, sebagian ulama mengecualikan ahli-ahli bid'ah,
bahwa mereka tidak perlu dijenguk untuk menampakkan rasa
kebencian mereka karena Allah.

Tetapi, menurut pentarjihan saya, bahwa bid'ah atau
kemaksiatan mereka tidaklah mengeluarkan mereka dari daerah
Islam dan tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan hak
sebagai seorang muslim atas muslim lainnya. Dan menjenguk
mereka yang tanpa diduga-duga sebelumnya itu --lebih-lebih
oleh seorang muslim yang saleh, orang alim, atau juru dakwah--
dapat menjadi duta kebaikan dan utusan kebenaran kepada hati
mereka, sehingga hati mereka terbuka untuk menerima kebenaran
dan mendengarkan tutur kata yang bagus, karena manusia adalah
tawanan kebaikan. Sebagaimana Islam mensyariatkan agar
menjinakkan hati orang lain dengan harta, maka tidaklah
mengherankan jika Islam juga menyuruh menjinakkan hati orang
lain dengan kebajikan, kelemahlembutan, dan pergaulan yang
baik. Hal ini pernah dicoba oleh juru-juru dakwah yang benar,
lalu Allah membuka hati banyak orang yang selama ini tertutup.

Para ulama mengatakan, "Disunnahkan menjenguk orang sakit
secara umum, teman atau lawan, orang yang dikenalnya atau yang
tidak dikenalnya, mengingat keumuman hadits."24

BERAPA KALI MENJENGUK ORANG SAKIT?

Apabila menjenguk orang sakit itu wajib atau sunnah bagi
keluarganya, tetangganya, dan teman-temannya, maka sebaiknya
berapa kalikah hal itu dilakukan? Dan berapa lama waktu
menjenguk itu?

Dalam hal ini, saya yakin bahwa hal itu diserahkan kepada
kebiasaan, kondisi penjenguk, kondisi si sakit, dan seberapa
jauhnya hubungan yang bersangkutan dengan si sakit.

Orang yang lama jatuh sakit, maka dia dijenguk dari waktu ke
waktu, dalam hal ini tidak terdapat batas waktu yang tertentu.

Sebagian ulama mengatakan, "Hendaknya menjenguk orang sakit
itu dilakukan secara berkala, jangan setiap hari, kecuali bagi
yang sudah terbiasa." Sebagian lagi mengatakan, "Seminggu
sekali."

Imam Nawawi mengomentari hal ini sebagai berikut:

"Ini bagi orang lain. Adapun bagi kerabat si sakit atau
teman-temannya dan lainnya, yang kedatangannya
menenangkan dan menggembirakan hati si sakit, atau
menjadikan si sakit rindu kepadanya jika tidak
melihatnya setiap hari, maka hendaklah orang itu selalu
menjenguknya asalkan tidak dilarang, atau ia tahu bahwa
si sakit sudah tidak menyukai hal itu.

Selain itu, tidak disukai duduk berlama-lama ketika menjenguk
orang sakit, karena hal demikian dapat menyebabkan si sakit
merasa jenuh, merasa repot, dan merasa kurang bebas untuk
berbuat sesuatu."25

Namun begitu, hal ini tidak berlaku bagi setiap pengunjung,
karena ada kalanya si sakit menyukai orang-orang tertentu
untuk berlama-lama berada di sisinya --khususnya bagi orang
yang telah lama sakit-- dan kunjungan orang tersebut
menyenangkan dan meringankannya, apalagi jika si sakit itu
sendiri yang memintanya.

Al-Hafizh berkata, "Adab menjenguk orang sakit ada sepuluh, di
antaranya ada yang tidak khusus untuk menjenguk orang sakit;

1. Jangan meminta izin masuk dari depan pintu
(tengah-tengah).

2. Jangan mengetuk pintu terlalu pelan.

3. Jangan menyebutkan identitas diri secara tidak jelas,
misalnya dengan mengatakan "saya," tanpa menyebut
namanya.

4. Jangan berkunjung pada waktu yang tidak layak untuk
berkunjung, seperti pada waktu si sakit minum obat, atau
waktu mengganti pembalut luka, waktu tidur, atau waktu
istirahat.

5. Jangan terlalu lama (kecuali bagi orang yang
mempunyai hubungan khusus dengan si sakit seperti yang
saya sebutkan di atas).

6. Menundukkan pandangan (apabila di tempat itu terdapat
wanita yang bukan mahramnya).

7. Jangan banyak bertanya, dan hendaklah menampakkan
rasa belas kasihan.

8. Mendoakannya dengan ikhlas.

9. Menimbulkan optimisme kepada si sakit.

10. Menganjurkannya berlaku sabar, karena sabar itu
besar pahalanya, dan melarangnya berkeluh kesah, karena
berkeluh-kesah itu dosa."26

Sebagian adab-adab tersebut akan dijelaskan lebih lanjut.

Cara menjenguk orang sakit yang jauh tempatnya --yang memang
mempunyai hak untuk dijenguk-- ialah dengan menanyakan
keadaannya melalui telepon, bagi orang yang punya pesawat
telepon, maupun lewat telegram atau surat. Lebih-lebih jika si
sakit baru saja menjalani operasi dengan selamat.

Saya masih ingat ketika saya ditakdirkan menjalani operasi
tulang- rawan di Bonn, Jerman, pada musim panas tahun 1985,
dan ketika saya melewati masa perawatan sebagaimana biasanya,
betapa telepon selalu berdering dari saudara-saudara di
Dauhah, Kairo, Eropa, dan Amerika, yang menanyakan keadaan
saya dan mendoakan saya. Hal ini ternyata mempunyai pengaruh
yang baik dalam hati saya, meringankan penderitaan, dan
mempercepat kesembuhan.


MENDOAKAN SI SAKIT

Cara seorang muslim menjenguk saudaranya yang sakit berbeda
dengan cara yang dilakukan orang lain (selain Islam), karena
disertai dengan jampi dan doa. Maka diantara sunnahnya ialah
si penjenguk mendoakan si sakit dan menjampinya (membacakan
bacaan-bacaan tertentu) yang ada riwayatnya dari Rasulullah
saw..

Imam Bukhari menulis "Bab Du'a al-'Aa'id lil-Maridh" (Bab Doa
Pengunjung untuk Orang Sakit), dan menyebutkan hadits Aisyah
r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menjenguk orang sakit atau
si sakit yang dibawa kepada beliau, beliau mengucapkan:

"Hilangkanlah penyakit ini, wahai Tuhan bagi manusia,
sembuhkanlah, Engkau adalah Maha Penyembuh. Tidak ada
kesembuhan selain kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit."27

Dan Nabi saw. pernah menjenguk Sa'ad bin Abi Waqash kemudian
mendoakannya:

"Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah
hijrahnya."28

Ada suatu keanehan sebagaimana dikemukakan dalam al-Fath
(Fathul-Bari), yaitu adanya sebagian orang yang menganggap
musykil mendoakan kesembuhan si sakit. Mereka beralasan bahwa
sakit dapat menghapuskan dosa dan mendatangkan pahala,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Maka terhadap
kemusykilan ini al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan jawaban
demikian, "Sesungguhnya doa itu adalah ibadah, dan tidaklah
saling meniadakan antara pahala dan kafarat, sebab keduanya
diperoleh pada permulaan sakit dan dengan sikap sabar
terhadapnya. Adapun orangyang mendoakan akan mendapat dua
macam kebaikan, yaitu mungkin berhasil apa yang dimaksud
--atau diganti dengan mendapatkan kemanfaatan lain-- atau
ditolaknya suatu bahaya, dan semua itu merupakan karunia Allah
Ta'ala."29

Memang, seorang muslim harus bersabar ketika menderita sakit
atau ditimpa musibah, tetapi hendaklah ia meminta keselamatan
kepada Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Janganlah kamu mengharapkan bertemu musuh, dan mintalah
keselamatan kepada Allah. Tetapi apabila kamu bertemu
musuh, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwasanya surga
itu di bawah bayang-bayang pedang."30

Di dalam hadits lain beliau bersabda:

"Mintalah ampunan dan keselamatan kepada Allah, sebab
tidaklah seseorang diberi sesuatu setelah keyakinan,
yang lebih baik daripada keselamatan."31

Juga dalam hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersabda:

"Perbanyaklah berdoa memohon keselamatan."32

Salah satu doa beliau saw. adalah:

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu penjagaan dari yang
terlarang dan keselamatan dalam urusan dunia dan agamaku,
keluarga dan hartaku."33

Di antara doa yang ma'tsur lainnya ialah yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Apabila seseorang menjenguk orang sakit, maka hendaklah
ia mendoakannya dengan mengucapkan, "Ya Allah,
sembuhkanlah hamba-Mu, agar dia dapat membunuh musuh-Mu,
atau berjalan kepada-Mu untuk melakukan shalat."34

Artinya, dalam kesembuhan orang mukmin itu terdapat kebaikan
untuk dirinya dengan dapatnya ia melaksanakan shalat, atau
kebaikan untuk umatnya karena mampu menunaikan jihad.

Sedangkan yang dimaksud dengan "musuh" di sini mungkin
orang-orang kafir yang memerangi umat Islam, atau iblis dan
tentaranya. Maka dengan kesehatannya seorang muslim dapat
menumpas mereka dengan serangan-serangannya, dan dapat
mematahkan argumentasi mereka dengan hujjah yang dapat
dipercaya.35

Selain itu, ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:

"Barangsiapa yang menjenguk orang sakit yang belum tiba
ajalnya, lalu ia mengucapkan doa ini disampingnya
sebanyak tujuh kali: (Aku mohon kepada Allah Yang Maha
Agung Tuhan bagõ 'arsy yang agung, semoga la berkenan
menyembuhkanmu), niscaya Allah akan menyembuhkannya dari
penyakit tersebut."36



Tidak ada komentar:

BARANG SIAPA YANG SENANG UNTUK BERTEMU DENGAN ALLAH MAKA ALLAH SENANG UNTUK BERTEMU DENGANNYA

bersabda : "Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang untuk bertemu dengan-Nya, apabila ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Ubaidah bin Ash Shamit ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah senang untuk bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan-Nya (Allah), maka Allah benci untuk bertemu dengannya". Aisyah atau sebagian isteri beliau berkata : "Sesungguhnya kami tidak senang kematian". Beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi seorang Mu'min apabila kedatangan maut (mati) diberi khabar gembira dengan keridhaan dan kemurahan Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih disukai dari pada apa yang dihadapinya, maka ia senang bertemu dengan Allah dan Allah senang bertemu dengannya. Dan sesungguhnya orang-orang katir, apabila kedatangan maut diberi khabar gembira dengan azab dan siksaan Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih dibenci dari pada apa yang dihadapinya. Ia tidak senang bertemu dengan Allah dan Allah tidak senang bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannva, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya . Sedang mati adalah sebelum bertemu dengan Allah". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya. Saya berkata : "Wahai Nabi Allah, apakah benci mati itu ? "Masing-masing dari kami membenci mati". Beliau bersabda : "Bukanlah demikian, tetapi orang Mu'min apabila diberi khabar gembira dengan rahmat dan keridhaan Allah serta surga-Nya, maka ia senang bertemu dengan Allah, dan A'lah senang bertemu dengannya, dan sesungguhnya orang kafir apabila diberi khabar gembira dengan siksa Allah dan kemurkaan-Nya, maka ia benci bertemu dengan Allah dan Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". Syuraih berkata : Saya datang kepada Aisyah ra. saya berkata : "Wahai Ummul Mu'minin, saya mendengar Abu Hurairah menyebutkan sebuah hadits dari Rasulullah saw., jika demikian, kami telah binasa". Aisyah berkata : "Sesungguhnya orang yang binasa adalah orang yang binasa dengan sabda Rasulullah saw Apakah itu ?". Ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya. Tidak seorang pun diantara kami melainkan ia benci kematian". Aisyah bekata : Rasulullah saw telah menyabadakannya ; Bukan seperti pendapatmu tetapi apabila penglihatan telah membalik, dada telah kembang kempis, kulit telah menggigil, dan jari-jari telah menggenggam, ketika itulah .... "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



%%%%%%%%%%%%%%

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang bertemu dengan-Nya, dan jika ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Malik).

BELAS KASIH DAN DO'A NABI BAGI UMAT BELIAU

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya Nabi saw membaca firman Allah tentang Ibrahim saw. :

"RABBI INNAHUNNA ADL-LALNA KATSIRAN MINAN NAASI FAMAN TABIANII FA INNAHU MINNI"

(Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan Ku). (Ibrahim : 36).

Dan 'Isa saw berkata :

“IN TU’ADZDZIBHUM FA INNAHUM IBAADUKA WA IN TAGHFIR LAHUM FA INNAKA ANTAL ‘AZIIZUL HAKIIM"

(Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana). (Al Maidah : 118).

Beliau mengangkat kedua tangan seraya bersabda : "Wahai Umatku, ... umatku", dan beliau menangis, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad - sedang Tuhanmu lebih mengetahui - tanyalah kepadanya : "Apakah yang menyebabkan kamu menangis ?". Jibril as datang kepada beliau lalu bertanya kepada beliau, maka utusan Allah itu memberitahukan kepadaNya akan apa yang disabdakan beliau, - padahal Allah lebih mengetahui, - lalu Allah Ta'ala berfirman kepada Jibril : "Pergilah kepada Muhammad dan katakan : "Sesungguhnya Kami akan ridha terhadap umatmu dan Kami tidak berbuat buruk kepadamu". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Tsauban, ia berkata : Rasulullah saw: bersabda : "Sesungguhnya Allah memperlihatkan bumi kepadaku, lalu aku melihat timur dan baratnya, dan sungguh kerajaan umatku akan sampai kepada bumi yang ditampakkan kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan yaitu merah dar putih. Sungguh aku mohon kepada Tuhanku bagi umatku agar tidak dihancurkan dengan tahun yang umum, dan tidak dikuasai oleh musuh selain diri mereka sendiri, lalu ia memusnahkan golongan mereka". Sesungguhnya Tuhanku berfirman : "Wahai Muhammad, sesungguhnya apabila saya menetapkan suatu ketetapan maka ketetapan itu tidaklah tertolak. Dan sesungguhnya Aku memberi kamu akan umatmu tidak Aku hancurkan dengan tahun yang umum, dan Aku tidak menguasakan musuh atas mereka selain diri mereka sendiri yang memusnahkan golongan mereka, walaupun berkumpul atas mereka dari seluruh penjuru" - atau Dia berfirman : "Dari seluruh penjuru bumi - sehingga sebagian dari mereka menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian dari mereka menawan terhadap sebagian yang lain". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).

MENGENAL TOKOH IMAM SYAFI'I ( Masa Tabiun Tabi'in)

Nama Dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga

Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.

Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Gelarnya

Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

Tempat Kelahirannya

Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.

Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”

Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu

Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.

Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.

Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.

Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya

Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.

Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.

Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.

Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.

Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.

Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).

Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.

Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

Aqidahnya

Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.

Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

Sya’ir-Sya’irnya

Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”

Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.

Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?


- Sya’ir Akhaq

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang


Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya

Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.

Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”

Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”

Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”

Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”

Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.

Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.

Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.

Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan


REFERENSI:

- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i