Fatwa ini saya tulis sejak lama sebagai jawaban terhadap
beberapa pertanyaan seputar masalah pencangkokan organ
tubuh.
Masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah yang terbuka
kemungkinan untuk didiskusikan, seperti halnya semua hasil
ijtihad atau pemikiran manusia, khususnya menyangkut
masalah-masalah kontemporer yang belum pernah dibahas oleh
para ulama terdahulu.
Dalam kaitan ini, tidak seorang pun ahli fiqih yang dapat
mengklaim bahwa pendapatnyalah yang benar secara mutlak.
Paling-paling ia hanya boleh mengatakan sebagaimana yang
dikatakan Imam Syafi'i, "Pendapatku benar tetapi ada
kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi ada
kemungkinan benar."
Karena itu saya menganggap aneh terhadap kesalahpahaman yang
muncul akhir-akhir ini yang menentang seorang juru dakwah
yang agung, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, karena
beliau memfatwakan tidak bolehnya pencangkokan organ tubuh
dengan didasarkan atas pemikiran beliau.
Sebenarnya Syekh Sya'rawi --mudah-mudahan Allah melindungi
beliau-- tidak menulis fatwa tersebut secara bebas dan
detail. Beliau hanya mengatakannya dalam suatu mata acara
televisi, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam
acara-acara seperti itu sering muncul pertanyaan secara
tiba-tiba, dan jawabannya pun bersifat sepintas lalu, yang
tidak dapat dijadikan acuan pokok sebagai pendapat dan
pandangan ulama dalam persoalan-persoalan besar dan
masalah-masalah yang sukar. Yang dapat dijadikan pegangan
dalam hal ini adalah pendapat yang tertuang dalam bentuk
tulisan, karena pendapat dalam bentuk tulisan mencerminkan
pemikiran yang akurat dari orang yang bersangkutan, dan
tidak ada kesamaran padanya.
Namun demikian, setiap orang boleh diterima dan ditolak
perkataannya, kecuali Nabi saw. Sedangkan seorang mujtahid,
apabila benar pendapatnya maka dia akan mendapatkan dua
pahala; dan jika keliru maka diampuni kesalahannya, bahkan
masih mendapatkan satu pahala.
Wa billahit taufiq, dan kepada-Nya-lah tujuan perjalanan
hidup ini.
PERTANYAAN
Bolehkah seorang muslim mendonorkan sebagian organ tubuhnya
sewaktu dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain?
Kalau boleh, apakah kebolehannya itu bersifat mutlak ataukah
terikat dengan syarat-syarat tertentu? Dan apa
syarat-syaratnya itu?
Jika mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan, maka untuk
siapa saja donor itu? Apakah hanya untuk kerabat, atau hanya
untuk orang muslim, ataukah boleh untuk sembarang orang?
Apabila mendermakan atau mendonorkan organ tubuh itu
diperbolehkan, apakah boleh memperjualbelikannya?
Bolehkah mendonorkan organ tubuh setelah meninggal dunia?
Apakah hal ini tidak bertentangan dengan keharusan menjaga
kehormatan mayit?
Apakah mendonorkan itu merupakan hak orang bersangkutan
(yang punya tubuh itu) saja? Bolehkah keluarganya
mendonorkan organ tubuh si mati?
Bolehkah negara mengambil sebagian organ tubuh orang yang
kecelakaan misalnya, untuk menolong orang lain?
Bolehkah mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim ke tubuh
orang muslim?
Bolehkah mencangkokkan organ tubuh binatang --termasuk
binatang itu najis, seperti babi misalnya-- ke tubuh seorang
muslim?
Itulah sejumlah pertanyaan yang dihadapkan kepada fiqih
Islam dan tokoh-tokohnya beserta lembaga-lembaganya pada
masa sekarang.
Semua itu memerlukan jawaban, apakah diperbolehkan secara
mutlak, apakah dilarang secara mutlak, ataukah dengan
perincian?
Baiklah saya akan mencoba menjawabnya, mudah-mudahan Allah
memberi pertolongan dan taufiq-Nya.
JAWABAN
BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA DIA
MASIH HIDUP?
Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang
mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu
miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya
sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak
hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau,
apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak
boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana
seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau
sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan
membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh
mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan
mudarat buat dirinya.
Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun
tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi
wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya,
sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah
sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam
firman Allah:
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari
harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..."
(an-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk
memilikinya dan membelanjakan harta itu.
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya
untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka
diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya
untuk orang lain yang memerlukannya.
Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh
mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia
tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia
tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk
menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan
yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.
Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke
laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke
tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka
mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan
sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk
kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang
merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di
negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang
mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut
serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama
secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul
mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat
diterima syara'.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus
dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan
untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa,
menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang
kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit,
dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik
mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu
dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau
sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan
bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak
berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan
penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal
misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang
sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan
terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena
dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi,
sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di
langit.
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan
Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah.
Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan
(sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk
jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena
tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta,
sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta
kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota
tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh
karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada
Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.
Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian
organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak
atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad
(bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian
organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar,
kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi
seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan
organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya
hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup
tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan
menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan
dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu
harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi:
"Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan
dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan
pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan
menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar
daripadanya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar,
seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu
adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan
dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan
begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan
menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan
tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau
sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah
seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),
seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang
(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada
saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada
saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak
memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia
(si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang
tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta
memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi
sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah
dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal
itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan
oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak
diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab
ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula
halnya orang gila.
Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ
tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya,
disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka
saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia
mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia
daripada harta, semisal organ tubuh
Yayasan yang berorientasi pada Dakwah : Memahamkan, Menghayati dan Mengamalkan dalam Kehidupan terhadap Dinul ISlam. Berdiri pada 1993 M dari kesepakatan takmir masjid. Beralamat : Kalangan, Ketitang, Juwiring, Klaten 57472 Bergerak dibidang Sosial Kemasyarakatan, Keagamaan baik Formal maupun Non Formal. LEMBAGA UKHUWAH ISLAMIYAH INDEPENDEN BERAFILIASI KE SEMUA YANG BERORIENTASI PADA KEMASLAKHATAN UMAT ISLAM. amiin
Cinta Tertinggi, Cita Tertinggi, Tujuan Tertinggi dalam DERAP KEHIDUPAN
"...Berdoalah dengan memanggil Nama-nama baik-Ku"
SEMOGA BERMANFAAT DI
SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU AMANAH JUWIRING KLATEN
Pendidikan Sains Tehnologi yang berbasic Ketaqwaan dengan pengembangan diri, menggali potensi siswa, sehingga muncul kepribadian dari dirinya akan pentingnya Aqidah dalam era Global, Tantangan zaman dan Tuntutan Kemampuan sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak dapat dihindari. Karena pendidikan anak merupakan dasar pertama untuk pengembangan selanjutnya.
Sehingga pendidikan saat ini harus berkualitas, seimbang. Seimbang antara teori dan praktek sehingga ilmu yang telah dipelajari sebagai teori diupayakan untuk dilatih sejak dini untuk dipraktekkan. Selain itu cakupan pendidikan harus menyeluruh antar pendidikan akal (kognitif),hati (afektif),praktek (psikomotorik), sebab ketiganya merupakan bekal utama setiap manusia untuk menjalani hidup dan menghadapi segala masalah kehidupan
Latar Belakang
Yayasan Baitul Maal Amanah sebagai sebuah yayasan yang bergerak langsung ditengah masyarakat untuk membangun dan memberdayakan ummat, khususnya di Juwiring dan wilayah sekitar pada umumnya, dapat merasakan kebutuhan ummat terhadap pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat umum. Berpedoman kepada keyakinan terhadap Allah SWT maka Yayasan Baitul Maal Amanah membuka program pendidikan formal tingkat dasar yang di beri nama SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) AMANAH. Setelah sebelumnya mendirikan pendidikan prasekolah yang berupa Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT) AMANAH. Sekolah Islam Terpadu Amanah ini diharapkan dapat memenuhi dan menjawab kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualias, seimbang, mencakup dan terjangkau.
Alhamdulillah pada tahun ajaran 2009/2010 Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah telah memasuki tahun ke enam dengan tanggapan masyarakat yang terus meningkat, mohon doanya ini akan mengeluarkan alumni pertama, semoga sukses AMANAH yang tercinta
Nama dan Kedudukan
Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah berkedudukan di Tegalan, Bolopleret, Juwiring, Klaten
Jawa Tengah 57472
Kurikulum
Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah merupakan gabungan dari tiga kurikulum yang saling melengkapi
- Kurikulum pendidikan umum dasar dari Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
- Kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.
- Muatan local yang mencakup mata pelajaran penunjang pemantapan agama dan peningkatan keterampilan hidup.
Ekstrakurikuler
- Leadership : Kemampuan dalam memimpin dirinya dan sekitarnya dengan Muhadoroh (latihan pidato) bahasa Inggris, Arab, Indonesia dan Bahasa Jawa,Kepramukaan.
- Dokter Kecil mengenal tentang kesehatan diri dan lingkungan.
- Sanggar Kreatifitas, pengembangan minat bakat (Drama, melukis, seni kaligrafi).
- OFTA (Out Tracking Fun Adventure) aktifitas luar dalam mengeksplorasi kemampuan psikomotorik siswa.
- Dasar Tehnologi : Sempoa sebagai dasar hitung menghitung dan computer dasar tehnologi pada kelas 3.
- Lifeskill kemampuan mengenal dirinya, kemudian menumbuhkan kemandirian dalam kehidupan.
Tujuan
- Mampu mempelajari, memahami, menafsirkan serta mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al Hadits sebagai dasar terpenting pada Aqidah, Ibadah dan Akhlaq.
- Mempunyai motivasi diri lebih mengembangkan diri untuk kreatif dan prestasi.
- Mengenal Bahasa Asing (Arab dan Inggris)
Biaya Pendidikan
Biaya Pendidikan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah sangat terjangkau oleh masyarakat pada umumnya karena hanya terdiri dari uang pendaftaran dan uang administrasi wajib pada saat masuk serta uang SPP tiap bulan yang relatif ringan. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah tidak memberlakukan biaya daftar ulang, sehingga setelah masuk tahun pertama biaya sekolah akan terasa ringan. Bagi anak yatim di berlakukan pembiayaan khusus.
Tenaga Pendidik
Tenaga Pendidik di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah terdiri dari guru-guru yang semuanya lulusan dari perguruan tinggi negeri dan swasta sehingga InsyaAllah menguasai bidang pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Senin, 20 April 2009
SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH ( Dr. Yusuf Qardhawi )
BARANG SIAPA YANG SENANG UNTUK BERTEMU DENGAN ALLAH MAKA ALLAH SENANG UNTUK BERTEMU DENGANNYA
bersabda : "Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang untuk bertemu dengan-Nya, apabila ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).
Dari Ubaidah bin Ash Shamit ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah senang untuk bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan-Nya (Allah), maka Allah benci untuk bertemu dengannya". Aisyah atau sebagian isteri beliau berkata : "Sesungguhnya kami tidak senang kematian". Beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi seorang Mu'min apabila kedatangan maut (mati) diberi khabar gembira dengan keridhaan dan kemurahan Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih disukai dari pada apa yang dihadapinya, maka ia senang bertemu dengan Allah dan Allah senang bertemu dengannya. Dan sesungguhnya orang-orang katir, apabila kedatangan maut diberi khabar gembira dengan azab dan siksaan Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih dibenci dari pada apa yang dihadapinya. Ia tidak senang bertemu dengan Allah dan Allah tidak senang bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).
Dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).
Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannva, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya . Sedang mati adalah sebelum bertemu dengan Allah". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).
Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya. Saya berkata : "Wahai Nabi Allah, apakah benci mati itu ? "Masing-masing dari kami membenci mati". Beliau bersabda : "Bukanlah demikian, tetapi orang Mu'min apabila diberi khabar gembira dengan rahmat dan keridhaan Allah serta surga-Nya, maka ia senang bertemu dengan Allah, dan A'lah senang bertemu dengannya, dan sesungguhnya orang kafir apabila diberi khabar gembira dengan siksa Allah dan kemurkaan-Nya, maka ia benci bertemu dengan Allah dan Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". Syuraih berkata : Saya datang kepada Aisyah ra. saya berkata : "Wahai Ummul Mu'minin, saya mendengar Abu Hurairah menyebutkan sebuah hadits dari Rasulullah saw., jika demikian, kami telah binasa". Aisyah berkata : "Sesungguhnya orang yang binasa adalah orang yang binasa dengan sabda Rasulullah saw Apakah itu ?". Ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya. Tidak seorang pun diantara kami melainkan ia benci kematian". Aisyah bekata : Rasulullah saw telah menyabadakannya ; Bukan seperti pendapatmu tetapi apabila penglihatan telah membalik, dada telah kembang kempis, kulit telah menggigil, dan jari-jari telah menggenggam, ketika itulah .... "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).
%%%%%%%%%%%%%%
Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang bertemu dengan-Nya, dan jika ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Malik).
BELAS KASIH DAN DO'A NABI BAGI UMAT BELIAU
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya Nabi saw membaca firman Allah tentang Ibrahim saw. :
"RABBI INNAHUNNA ADL-LALNA KATSIRAN MINAN NAASI FAMAN TABIANII FA INNAHU MINNI"
(Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan Ku). (Ibrahim : 36).
Dan 'Isa saw berkata :
“IN TU’ADZDZIBHUM FA INNAHUM IBAADUKA WA IN TAGHFIR LAHUM FA INNAKA ANTAL ‘AZIIZUL HAKIIM"
(Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana). (Al Maidah : 118).
Beliau mengangkat kedua tangan seraya bersabda : "Wahai Umatku, ... umatku", dan beliau menangis, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad - sedang Tuhanmu lebih mengetahui - tanyalah kepadanya : "Apakah yang menyebabkan kamu menangis ?". Jibril as datang kepada beliau lalu bertanya kepada beliau, maka utusan Allah itu memberitahukan kepadaNya akan apa yang disabdakan beliau, - padahal Allah lebih mengetahui, - lalu Allah Ta'ala berfirman kepada Jibril : "Pergilah kepada Muhammad dan katakan : "Sesungguhnya Kami akan ridha terhadap umatmu dan Kami tidak berbuat buruk kepadamu". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).
Dari Tsauban, ia berkata : Rasulullah saw: bersabda : "Sesungguhnya Allah memperlihatkan bumi kepadaku, lalu aku melihat timur dan baratnya, dan sungguh kerajaan umatku akan sampai kepada bumi yang ditampakkan kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan yaitu merah dar putih. Sungguh aku mohon kepada Tuhanku bagi umatku agar tidak dihancurkan dengan tahun yang umum, dan tidak dikuasai oleh musuh selain diri mereka sendiri, lalu ia memusnahkan golongan mereka". Sesungguhnya Tuhanku berfirman : "Wahai Muhammad, sesungguhnya apabila saya menetapkan suatu ketetapan maka ketetapan itu tidaklah tertolak. Dan sesungguhnya Aku memberi kamu akan umatmu tidak Aku hancurkan dengan tahun yang umum, dan Aku tidak menguasakan musuh atas mereka selain diri mereka sendiri yang memusnahkan golongan mereka, walaupun berkumpul atas mereka dari seluruh penjuru" - atau Dia berfirman : "Dari seluruh penjuru bumi - sehingga sebagian dari mereka menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian dari mereka menawan terhadap sebagian yang lain". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).
MENGENAL TOKOH IMAM SYAFI'I ( Masa Tabiun Tabi'in)
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
REFERENSI:
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar