Cinta Tertinggi, Cita Tertinggi, Tujuan Tertinggi dalam DERAP KEHIDUPAN

"...Berdoalah dengan memanggil Nama-nama baik-Ku"

LEARNING BY PRAYING, LEARNING BY DOING, LEARNING TO LIFE TOGETHER AND LEARNING TO BE

SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU AMANAH JUWIRING KLATEN

PENDAHULUAN

Pendidikan Sains Tehnologi yang berbasic Ketaqwaan dengan pengembangan diri, menggali potensi siswa, sehingga muncul kepribadian dari dirinya akan pentingnya Aqidah dalam era Global, Tantangan zaman dan Tuntutan Kemampuan sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak dapat dihindari. Karena pendidikan anak merupakan dasar pertama untuk pengembangan selanjutnya.

Sehingga pendidikan saat ini harus berkualitas, seimbang. Seimbang antara teori dan praktek sehingga ilmu yang telah dipelajari sebagai teori diupayakan untuk dilatih sejak dini untuk dipraktekkan. Selain itu cakupan pendidikan harus menyeluruh antar pendidikan akal (kognitif),hati (afektif),praktek (psikomotorik), sebab ketiganya merupakan bekal utama setiap manusia untuk menjalani hidup dan menghadapi segala masalah kehidupan

Latar Belakang

Yayasan Baitul Maal Amanah sebagai sebuah yayasan yang bergerak langsung ditengah masyarakat untuk membangun dan memberdayakan ummat, khususnya di Juwiring dan wilayah sekitar pada umumnya, dapat merasakan kebutuhan ummat terhadap pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat umum. Berpedoman kepada keyakinan terhadap Allah SWT maka Yayasan Baitul Maal Amanah membuka program pendidikan formal tingkat dasar yang di beri nama SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) AMANAH. Setelah sebelumnya mendirikan pendidikan prasekolah yang berupa Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT) AMANAH. Sekolah Islam Terpadu Amanah ini diharapkan dapat memenuhi dan menjawab kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualias, seimbang, mencakup dan terjangkau.

Alhamdulillah pada tahun ajaran 2009/2010 Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah telah memasuki tahun ke enam dengan tanggapan masyarakat yang terus meningkat, mohon doanya ini akan mengeluarkan alumni pertama, semoga sukses AMANAH yang tercinta


Nama dan Kedudukan

Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah berkedudukan di Tegalan, Bolopleret, Juwiring, Klaten

Jawa Tengah 57472

Kurikulum

Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah merupakan gabungan dari tiga kurikulum yang saling melengkapi

  1. Kurikulum pendidikan umum dasar dari Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
  2. Kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.
  3. Muatan local yang mencakup mata pelajaran penunjang pemantapan agama dan peningkatan keterampilan hidup.

Ekstrakurikuler

  1. Leadership : Kemampuan dalam memimpin dirinya dan sekitarnya dengan Muhadoroh (latihan pidato) bahasa Inggris, Arab, Indonesia dan Bahasa Jawa,Kepramukaan.
  2. Dokter Kecil mengenal tentang kesehatan diri dan lingkungan.
  3. Sanggar Kreatifitas, pengembangan minat bakat (Drama, melukis, seni kaligrafi).
  4. OFTA (Out Tracking Fun Adventure) aktifitas luar dalam mengeksplorasi kemampuan psikomotorik siswa.
  5. Dasar Tehnologi : Sempoa sebagai dasar hitung menghitung dan computer dasar tehnologi pada kelas 3.
  6. Lifeskill kemampuan mengenal dirinya, kemudian menumbuhkan kemandirian dalam kehidupan.

Tujuan

  1. Mampu mempelajari, memahami, menafsirkan serta mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al Hadits sebagai dasar terpenting pada Aqidah, Ibadah dan Akhlaq.
  2. Mempunyai motivasi diri lebih mengembangkan diri untuk kreatif dan prestasi.
  3. Mengenal Bahasa Asing (Arab dan Inggris)

Biaya Pendidikan

Biaya Pendidikan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah sangat terjangkau oleh masyarakat pada umumnya karena hanya terdiri dari uang pendaftaran dan uang administrasi wajib pada saat masuk serta uang SPP tiap bulan yang relatif ringan. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah tidak memberlakukan biaya daftar ulang, sehingga setelah masuk tahun pertama biaya sekolah akan terasa ringan. Bagi anak yatim di berlakukan pembiayaan khusus.

Tenaga Pendidik

Tenaga Pendidik di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah terdiri dari guru-guru yang semuanya lulusan dari perguruan tinggi negeri dan swasta sehingga InsyaAllah menguasai bidang pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Senin, 20 April 2009

SEPUTAR TENTANG ORANG SAKIT bagian : (2) (Dr. QORDHOWI)

MENGUATKAN HARAPAN SEMBUH KETIKA SAKIT

Apabila seorang muslim menjenguk saudaranya yang sakit,
sebaiknya ia memberikan nasihat agar dapat menumbuhkan
perasaan optimisme dan harapan akan sembuh. Selain itu,
seyogianya ia memberikan pengertian bahwa seorang mukmin tidak
boleh berputus asa dan berputus harapan terhadap rahmat Allah
dan kasih sayang-Nya karena Dzat yang telah menghilangkan
penyakit Nabi Ayub dan mengembalikan penglihatan Nabi Ya'qub
pasti berkuasa menghilangkan penyakitnya dan mengembalikan
kesehatannya, kemudian Dia mengganti penyakit dengan kesehatan
dan kelemahan dengan kekuatan.

Tidak baik menyebut-nyebut orang yang sakit yang telah
meninggal dunia di hadapan orang sakit yang dijenguknya.
Sebaliknya, sebutlah orang-orang yang telah sehat kembali
setelah menderita sakit yang lama, atau setelah menjalani
operasi yang membahayakan. Hal ini dimaksudkan untuk
menguatkan jiwanya, dan merupakan bagian dari cara pengobatan
menurut dokter-dokter ahli pada zaman dulu dan sekarang, sebab
antara jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan, kecuali dalam
pembahasan secara teoretis atau filosofis. Karena itulah Nabi
saw. apabila menjenguk orang sakit, beliau mengatakan "tidak
apa-apa, bersih (sembuh) insya Allah," sebagaimana disebutkan
dalam kitab sahih.

Adapun makna perkataan laa ba'sa (tidak apa-apa) ialah 'tidak
berat' dan 'tidak mengkhawatirkan.' Ucapan ini untuk
menimbulkan optimisme sekaligus doa semoga hilang penyakit dan
penderitaannya, serta kembali kepadanya kesehatannya
--disamping itu dapat menyucikan dan menghapuskan
dosa-dosanya.

Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Abu
Sa'id al-Khudri secara marfu':

"Apabila kamu menjenguk orang sakit, maka hendaklah kamu
beri harapan akan panjang umur. Karena yang demikian itu
meskipun tidak dapat menolak takdir sedikit pun, tetapi
dapat menyenangkan hatinya."37

Maksud perkataan naffisuu lahu (berilah harapan kepadanya)
yakni berilah harapan kepadanya untuk hidup dan berumur
panjang, seperti mengucapkan perkataan kepadanya, "insya Allah
engkau akan sehat kembali," "selamat sejahtera," "Allah akan
memberikan kamu umur panjang dan aktivitas yang bagus," dan
ungkapan lainnya. Karena ucapan-ucapan seperti itu dapat
melapangkan hatinya dari kesedihan yang menimpanya dan
sekaligus dapat menenangkannya. Imam Nawawi berkata, "Itulah
makna perkataan Nabi saw. kepada orang Arab Badui: 'Tidak
apa-apa.'"38

Disamping itu, diantara hal yang dapat menghilangkan kepedihan
si sakit dan menyenangkan hatinya ialah menaruh tangan ke
badannya atau ke bagian tubuhnya yang sakit dengan
mendoakannya, khususnya oleh orang yang dianggap ahli kebaikan
dan kebajikan, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. terhadap
Sa'ad bin Abi Waqqash. Beliau pernah mengusap wajah dan perut
Sa'ad sambil mendoakan kesembuhan untuknya. Sa'ad berkata,
"Maka aku selalu merasakan dinginnya tangan beliau di jantung
saya, menurut perasaan saya, hingga saat ini." (HR Bukhari).

Sementara itu, terhadap orang sakit yang kondisinya sudah
tidak dapat diharapkan sembuh, --menurut sunnatullah-- maka
hendaklah si pengunjung memohon kepada Allah agar Dia
memberikan kasih sayang dan kelemahlembutan kepadanya,
meringankan penderitaannya, dan memilihkan kebaikan untuknya.
Tetapi hal itu hendaknya diucapkan dalam hati saja, jangan
sampai diperdengarkan kepada si sakit agar tidak mempengaruhi
pikiran dan perasaannya.


MENJAMPI SI SAKIT DAN SYARAT-SYARATNYA

Diantara hal yang berdekatan dengan bab ini ialah jampi-jampi
syar'iyah yang bersih dari syirik, terutama yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw., dan khususnya jika dilakukan oleh orang
muslim yang saleh.

Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik, ia berkata:

"Kami menggunakan jampi-jampi pada zaman jahiliah, lalu
kami tanyakan, Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
mengenai hal itu?' Beliau menjawab, 'Tunjukkanlah
kepadaku jampi-jampimu itu. Tidak mengapa menggunakan
jampi-jampi, asalkan tidak mengandung kesyirikan.'"39

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jabir, katanya:

"Rasulullah saw. pernah melarang jampi-jampi Kemudian
datanglah keluarga Amr bin Hazm seraya berkata, 'Wahai
Rasulullah, kami mempunyai jampi-jampi yang biasa kami
pergunakan kalau disengat kala.' Jabir berkata, 'Lalu
mereka menunjukkannya kepada Rasulullah.' Kemudian
beliau bersabda, 'Saya lihat tidak apa-apa, barangsiapa
yang dapat memberikan manfaat kepada saudaranya maka
hendaklah ia memberikan manfaat kepadanya.'"40

Al-Hafizh berkata, "Suatu kaum berpegang pada keumuman ini,
maka mereka memperbolehkan semua jampi-jampi yang telah dicoba
kegunaannya, meskipun tidak masuk akal maknanya. Tetapi hadits
Auf itu menunjukkan bahwa jampi-jampi yang mengandung
kesyirikan dilarang. Dan jampi-jampi yang tidak dimengerti
maknanya yang tidak ada jaminan keamanan dari syirik juga
terlarang, sebagai sikap kehati-hatian, disamping harus
memenuhi persyaratan lainnya."41

Kebolehan menggunakan jampi-jampi ini sudah ada dasarnya dari
sunnah qauliyah (sabda Nabi saw.), sunnah fi'liyah (perbuatan
beliau), dan sunnah taqririyah (pengakuan atau pembenaran
beliau terhadap jampi-jampi yang dilakukan orang lain).

Bahkan Nabi saw. sendiri pernah menjampi beberapa orang
sahabat, dan beliau pernah dijampi oleh Malaikat libril a.s..
Beliau juga menyuruh sebagian sahabat agar menggunakan
jampi-jampi, dan menasihati sebagian sanak keluarganya
dengannya. Dan beliau membenarkan sahabat-sahabat beliau yang
menggunakan jampi-jampi.

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. apabila ada
seseorang yang mengeluhkan sesuatu kepada beliau, atau
terluka, maka beliau berbuat demikian dengan tangan beliau.
Lalu Sufyan --yang meriwayatkan hadits-- meletakkan jari
telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya kembali seraya
mengucapkan:

"Dengan menyebut nama Allah, debu bumi kami, dengan
ludah sebagian kami, disembuhkan dengannya orang sakit
dari kami dengan izin Tuhan kami."42

Dari keterangan hadits ini dapat kita ketahui bahwa beliau
mengambil ludah beliau sedikit dengan jari telunjuk beliau,
lalu ditaruh di atas tanah (debu), dan debu yang melekat di
jari tersebut beliau usapkan di tempat yang sakit atau luka,
dan beliau ucapkan perkataan tersebut (jampi) pada waktu
mengusap.

Diriwayatkan juga dari Aisyah, dia berkata, "Adalah Rasulullah
saw. apabila beliau jatuh sakit, Malaikat Jibril menjampi
beliau."43

Juga dari Abu Sa'id bahwa Malaikat Jibril pernah datang kepada
Nabi saw. dan bertanya, "Wahai Muhammad, apakah Anda sakit?"
Beliau menjawab, "Ya." Lantas Jibril mengucapkan:

"Dengan menyebut nama Allah, saya jampi engkau dari
segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan semua
jiwa atau mata pendengki. Allah menyembuhkan engkau.
Dengan menyebut narna Allah saya menjarnpi engkau."44

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi saw. apabila sakit membaca
dua surat al-Mu'awwidzat (Qul A'uudzu bi Rabbil-Falaq dan Qul
A'uudzu bi Rabbin-Naas) untuk diri beliau sendiri dan beliau
meniup dengan lembut tanpa mengeluarkan ludah. Dan ketika
sakit beliau berat, aku (Aisyah) yang membacakan atas beliau
dan aku usapkannya dengan tangan beliau, karena mengharapkan
berkahnya.45

Diriwayatkan dari Aisyah juga bahwa Rasulullah saw. pernah
menyuruhnya meminta jampi karena sakti mata.46

Juga diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah bertanya
kepada Asma' binti Umais:

"Mengapa saya lihat tubuh anak-anak saudaraku
kurus-kurus, apakah mereka ditimpa kebutuhan?" Asma'
menjawab, 'Tidak tetapi penyakit 'ain yang menimpa
mereka.' Nabi bersabda, 'Jampilah mereka.' Asma'
berkata, 'Lalu saya menolak.' Kemudian beliau bersabda,
"Jampilah mereka."47

Disamping itu, pernah salah seorang sahabat menjampi pemuka
suatu kaum --ketika mereka sedang bepergian dengan surat
al-Fatihah, lalu pemuka kaum itu memberinya seekor kambing
potong, tetapi sahabat itu tidak mau menerimanya sebelum
menanyakannya kepada Nabi saw.. Lalu ia datang kepada Nabi
saw. dan menginformasikan hal itu kepada beliau seraya
berkata, "Demi Allah, saya tidak menjampinya kecuali dengan
surat al-Fatihah." Lalu Nabi saw. bersabda, "Terimalah
pemberian mereka itu, dan berilah saya sebagian untuk saya
makan bersama kamu."48

MENYURUH SI SAKIT BERBUAT MA'RUF
DAN MENCEGAHNYA DARI YANG MUNGKAR

Sudah selayaknya bagi seorang yang menjenguk saudaranya sesama
muslim yang sakit untuk memberinya nasihat dengan jujur,
menyuruhnya berbuat ma'ruf dan mencegahnya dari kemunkaran,
karena ad-Din itu adalah nasihat, dan amar ma'ruf nahi munkar
merupakan suatu kewajiban, sedangkan sakitnya seorang muslim
tidak membebaskannya dari menerima perkataan yang baik dan
nasihat yang tulus. Dan semua yang dituntut itu hendaklah
dilakukan oleh si pemberi nasihat dengan memperhatikan
kondisinya, yaitu hendaklah dilakukan dengan lemah lembut dan
jangan memberatkan, karena Allah Ta'ala menyukai
kelemahlembutan dalam segala hal dan terhadap semua manusia,
lebih-lebih terhadap orang sakit. Dan tidaklah kelemahlembutan
itu memasuki sesuatu melainkan menjadikannya indah, dan
tidaklah ia dilepaskan dari sesuatu melainkan akan
menjadikannya buruk.

Kelemahlembutan semakin ditekankan apabila si sakit tidak
mengerti terhadap kebajikan yang ditinggalkannya atau
kemunkaran yang dilakukannya, seperti terhadap kebanyakan
putra kaum muslim yang tidak mengerti keunggulan Islam.

Oleh sebab itu, seseorang yang menjenguk orang sakit yang
kebetulan tidak mau melaksanakan shalat karena malas atau
karena tidak mengerti, yang mengira tidak dapat menunaikan
shalat, karena tidak dapat berwudhu, atau karena tidak dapat
berdiri, ruku', sujud, atau tidak dapat menghadap ke arah
kiblat, atau lainnya, maka wajiblah si pengunjung
mengingatkannya. Dia harus menjelaskan bahwa shalat wajib
dilaksanakan oleh orang yang sakit sebagaimana diwajibkan atas
orang yang sehat, dan kewajibannya itu tidak gugur melainkan
bagi orang yang hilang kesadarannya. Dijelaskan juga bahwa
orang sakit yang tidak dapat berwudhu boleh melakukan tayamum
dengan tanah jenis apa pun, dan boleh dibantu dengan
diambilkan pasir/tanah yang bersih yang ditempatkan di dalam
kaleng atau tempat lainnya, juga bisa dengan batu atau lantai
tergantung mazhab yang memandang hal itu sebagai permukaan
bumi yang bersih.

Begitu pula si sakit, ia boleh melaksanakan shalat dengan cara
bagaimanapun yang dapat ia lakukan, dengan duduk kalau ia
tidak mampu berdiri, atau dengan berbaring di atas lambungnya,
atau telentang di atas punggungnya (yakni punggungnya di
bawah), jika ia tidak dapat duduk, dan cukup dengan
berisyarat. Nabi saw. bersabda kepada Imran bin Hushain:

"Shalatlah engkau dengan berdiri. Jika tidak dapat, maka
hendaklah dengan duduk; dan jika tidak dapat (dengan
duduk) maka hendaklah dengan berbaring."49

Demikian pula jika ia tidak dapat menghadap kiblat, maka
gugurlah kewajiban menghadap kiblat itu, dan boleh ia
menghadap ke arah mana saja. Maka, setiap syarat shalat yang
tidak dapat ditunaikan menjadi gugur, dan Allah telah
berfirman:

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana
pun kamu menghadap di situlah wajah Allah ..."
(al-Baqarah: 115)

Apabila tampak si sakit merasa kesal terhadap penyakitnya atau
merasa sempit dada karenanya, maka hendaklah ia diingatkan
akan besarnya pahala bagi si sakit di sisi Allah. Selain itu,
sebaiknya diingatkan bahwa Allah hendak menyucikannya dari
dosa-dosanya dengan penyakit tersebut, dan bahwa orang yang
paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang
yang dibawahnya, kemudian yang dibawahnya lagi, dan ujian itu
akan senantiasa menimpa seseorang sehingga ia hidup di muka
bumi dengan tidak menanggung suatu dosa, sebagaimana
dinyatakan dalam beberapa hadits sahih.

Maka apabila didapati sesuatu yang dilarang syara' pada si
sakit, hendaklah ia dilarang dengan lemah lembut dan
bijaksana, dan dikemukakannya kepadanya dalil-dalil syara'
yang dapat menghilangkan ketidaktahuan dan kelalaiannya. Cara
yang dilakukan tidak boleh kasar dan terkesan menyombonginya,
khususnya mengenai bencana yang banyak melanda masyarakat,
misalnya mereka yang menggantungkan jimat-jimat dan
sebagainya.

Disini, hendaklah ia memberitahukannya tentang ayat-ayat
Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. yang menuntunnya kepada
kebenaran dan membimbingnya ke jalan yang benar, seperti sabda
Nabi saw.:

"Barangsiapa yang menggantungkan jimat-jimat, maka
sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik." (HR
Ahmad dan Hakim dari Uqbah bin Amir)50

Selain itu, tidak boleh ia (si penjenguk) mengingkari sesuatu
terhadap si sakit kecuali apa yang telah disepakati oleh para
ulama akan kemunkarannya. Adapun hal-hal yang masih
diperselisihkan oleh para ahli ilmu yang tepercaya, antara
yang memperbolehkan dan yang melarang, maka dalam hal ini
terdapat kelonggaran bagi orang yang mengambil salah satu dari
kedua pendapat itu, baik ia memilih melalui ijtihadnya atau
sekedar ikut-ikutan. Dan jangan sampai diperdebatkan seputar
pendapat ini mana yang lebih tepat atau yang lebih kuat,
karena kondisi sakit tidak mentolerir hal tersebut, kecuali
jika si sakit menanyakannya atau memang menyukai yang
demikian. Misalnya tentang hukum menggantungkan jimat yang
terdiri dari ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits syarif, atau
berisi dzikir kepada Allah, sanjungan kepada-Nya, dan doa
kepada-Nya. Karena masalah ini masih diperselisihkan antara
orang yang memperbolehkannya dan yang menganggapnya makruh.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr, ia berkata,
"Rasulullah saw. mengajari kami beberapa kalimat yang kami
ucapkan apabila terkejut pada waktu tidur:

"Dengan nama Allah, aku berlindung dengan
kalimat-kalimat Allah yang sempurna dan kemurkaan dan
siksa-Nya, dan kejahatan hamba-hamba-Nya, dan gangguan
setan, dan dan kehadiran setan."

Maka Abdullah mengajarkan kalimat ini kepada anaknya yang
sudah balig untuk mengucapkannya ketika hendak tidur,
sedangkan terhadap anaknya yang masih kecil dan belum mengerti
atau belum dapat menghafalkannya, kalimat itu ditulisnya
kemudian digantungkan di lehernya.51

Akan tetapi, Ibrahim an-Nakhati berkata, "Mereka memakruhkan
semua macam jimat, baik dari Al-Qur'an maupun bukan." Yang
dimaksud dengan "mereka" disini adalah sahabat-sahabat Ibnu
Mas'ud seperti al-Aswad, 'Alqamah, Masruq, dan lain-lainnya.
Sedangkan makna "makruh" disini adalah "di awah haram."

Tidak mengapa diingatkan kepada si sakit dengan lemah lembut
bahwa yang lebih utama dan lebih hati-hati adalah meninggalkan
semua macam jimat, mengingat keumuman larangannya, dan untuk
menutup jalan kepada yang terlarang (saddan lidz-dzari'ah,
usaha preventif), juga karena khawatir dia membawanya masuk ke
kakus (WC) dan sebagainya. Hanya saja janganlah ia bersikap
keras dalam masalah ini, karena masih diperselisihkan hukumnya
di kalangan ulama.

MENDONORKAN DARAH UNTUK SI SAKIT

Diantara hal paling utama yang diberikan oleh keluarga atau
sahabat kepada si sakit ialah mendonorkan darah untuknya bila
diperlukan ketika ia menjalani operasi, atau untuk membantu
dan mengganti darah yang dikeluarkannya. Ini merupakan
pengorbanan yang paling besar dan sedekah yang paling utama,
sebab memberikan darah pada saat seperti itu kedudukannya sama
dengan menyelamatkan hidupnya, dan Al-Qur'an telah menetapkan
dalam menjelaskan nilai jiwa manusia:

"... bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya ..." (al-Ma'idah: 32)

Apabila bersedekah dengan harta memiliki kedudukan yang
demikian tinggi dalam agama dan mendapatkan pahala yang
demikian besar di sisi Allah --sehingga Allah Ta'ala
menerimanya dengan tangan kanan-Nya dan melipatgandakannya
hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan entah sampai berapa kali
lipat menurut yang dikehendaki Allah-- maka mendermakan darah
lebih tinggi kedudukannya dan lebih besar lagi pahalanya.
Karena orang yang mendermakan darah menjadi sebab kehidupan,
dan darah juga merupakan bagian dari manusia, sedangkan
manusia jauh lebih mahal daripada harta. Selain itu, orang
yang mendonorkan darahnya seakan-akan menyumbangkan sebagian
wujud materiil dirinya kepada saudaranya karena cinta dan
karena mengalah.

Disisi lain, bentuk amal saleh yang memiliki nilai lebih
tinggi lagi dari nilai tersebut ialah memberi pertolongan
kepada orang yang membutuhkan pertolongan dan menghilangkan
kesusahan orang yang dilanda kesusahan. Ini merupakan
kelebihan lain yang menambah pahala di sisi Allah Ta'ala.
Dalam suatu hadits Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah mencintai perbuatan memberi
pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan."
(HR Abu Ya la, ad-Dailami, dan Ibnu Asakir dari Anas)52

Di dalam kitab sahih juga diriwayatkan hadits Rasulullah saw.
yang berbunyi:

"Barangsiapa yang menghilangkan dari seorang muslim
suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, maka
Allah akan menghilangkan dari orang itu suatu kesusahan
dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat." (HR Bukhari
dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)53

Bahkan terdapat hadits sahih dari Rasulullah saw. bahwa
menolong binatang yang membutuhkan makanan atau minuman itu
juga mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang menceritakan tentang seseorang
yang memberi minum anjing yang tengah kehausan. Anjing itu ia
dapatkan menjulur-julurkan lidahnya menjilati tanah karena
sangat kehausan, maka orang itu mengambil air ke sumur dengan
sepatunya dan digigitnya sepatu itu dengan giginya kemudian
diminumkannya kepada anjing tersebut hingga puas. Nabi saw.
bersabda, "Maka Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuni
dosanya." Lalu para sahabat bertanya keheranan, "Wahai
Rasulullah, apakah kami mendapatkan pahala dalam menolong
binatang?" Beliau menjawab:

"Benar, (berbuat baik) kepada tiap-tiap (sesuatu yang
memiliki) jantung yang basah (makhluk hidup) itu
berpahala." (HR Muttafaq 'alaih dari Abu Hurairah)54

Tampaknya para sahabat beranggapan bahwa berbuat baik kepada
makhluk (binatang) ini tidak mendapatkan pahala di sisi Allah
dan bahwa ad-Din tidak memperhatikannya. Maka Rasulullah saw.
menjelaskan kepada mereka bahwa berbuat baik kepada makhluk
hidup yang mana pun akan mendapatkan pahala, meskipun berupa
binatang semisal anjing. Maka bagaimana lagi berbuat baik
kepada manusia? Betapa lagi terhadap manusia yang beriman?

Mendermakan darah itu mendapatkan pahala yang besar secara
umum, dan bersedekah kepada kerabat akan dilipatgandakan
pahalanya secara khusus, karena yang demikian itu akan
memperkuat hubungan kekerabatan dan memperkokoh jalinan
kekeluargaan. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

"Bersedekah kepada orang miskin itu mendapatkan pahala
satu sedekah; sedang kepada keluarga itu mendapatkan dua
pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala menyambung
kekeluargaan." (HR Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah,
dan Hakim dari Salman bin Amir)55

Pahala menyumbangkan darah ini lebih berlipat ganda apabila
pada asalnya hubungan antara penyumbang dan si sakit tidak
harmonis, mengikuti bujukan setan yang menyalakan api
permusuhan dan pertentangan di antara mereka. Apabila salah
seorang dari mereka berhasil mengalahkan nafsunya dan
setannya, lalu menyingkirkan dan membuang sikap yang tercela
menurut pandangan Allah dan pandangan manusia ini, lantas ia
menyumbangkan harta atau darahnya kepada kerabat yang
membutuhkannya (yang sebelumnya bermusuhan dengannya), maka
tindakan demikian oleh Rasulullah saw. dinilai sebagai sedekah
yang paling utama bila dinisbatkan kepada siapa yang diberi
sedekah. Beliau bersabda:

"Sedekah yang paling utama ialah kepada keluarga yang
memusuhi (al-kaasyih)." (HR Ahmad dan Thabrani dari Abi
Ayyub dan Hakim bin Hizam)56

Yang dimaksud dengan dzir-rahmi al-kaasyih (keluarga yang
memusuhi) ialah yang menyembunyikan rasa permusuhan dalam
hati, tidak terang-terangan, dan tidak cinta kepada
kerabatnya.


KEUTAMAAN KESABARAN KELUARGA SI SAKIT

Keluarga si sakit wajib bersabar terhadap si sakit, jangan
merasa sesak dada karenanya atau merasa bosan, lebih-lebih
bila penyakitnya itu lama. Karena akan terasa lebih pedih dan
lebih sakit dari penyakit itu sendiri jika si sakit merasa
menjadi beban bagi keluarganya, lebih-lebih jika keluarga itu
mengharapkan dia segera dipanggil ke rahmat Allah. Hal ini
dapat dilihat dari raut wajah mereka, dari cahaya pandangan
mereka, dan dari gaya bicara mereka.

Apabila kesabaran si sakit atas penyakit yang dideritanya akan
mendapatkan pahala yang sangat besar --sebagaimana diterangkan
dalam beberapa hadits sahih-- maka kesabaran keluarga dan
kerabatnya dalam merawat dan mengusahakan kesembuhannya tidak
kalah besar pahalanya. Bahkan kadang-kadang melebihinya,
karena kesabaran si sakit menyerupai kesabaran yang terpaksa,
sedangkan kesabaran keluarganya merupakan kesabaran yang
diikhtiarkan (diusahakan). Maksudnya, kesabaran si sakit
merupakan kesabaran karena ditimpa cobaan, sedangkan kesabaran
keluarganya merupakan kesabaran untuk berbuat baik.

Diantara orang yang paling wajib bersabar apabila keluarganya
ditimpa sakit ialah suami atas istrinya, atau istri atas
suaminya. Karena pada hakikatnya kehidupan adalah bunga dan
duri, hembusan angin sepoi dan angin panas, kelezatan dan
penderitaan, sehat dan sakit, perputaran dari satu kondisi ke
kondisi lain. Oleh sebab itu, janganlah orang yang beragama
dan berakhlak hanya mau menikmati istrinya ketika ia sehat
tetapi merasa jenuh ketika ia menderita sakit. Ia hanya mau
memakan dagingnya untuk membuang tulangnya, menghisap sarinya
ketika masih muda lalu membuang kulitnya ketika lemah dan
layu. Sikap seperti ini bukan sikap setia tidak termasuk
mempergauli istri dengan baik, bukan akhlak lelaki yang
bertanggung jawab, dan bukan perangai orang beriman.

Demikian juga wanita, ia tidak boleh hanya mau hidup
bersenang-senang bersama suaminya ketika masih muda dan
perkasa, sehat dan kuat, tetapi merasa sempit dadanya ketika
suami jatuh sakit dan lemah. Ia melupakan bahwa kehidupan
rumah tangga yang utama ialah yang ditegakkan di atas sikap
tolong-menolong dan bantu-membantu pada waktu manis dan ketika
pahit, pada waktu selamat sejahtera dan ketika ditimpa cobaan.

Seorang penyair Arab masa dulu pernah mengeluhkan sikap
istrinya "Sulaima" ketika merasa bosan terhadapnya karena ia
sakit, dan ketika si istri ditanya tentang keadaan suaminya
dia menjawab, "Ia tidak hidup sehingga dapat diharapkan dan
tidak pula mati sehingga patut dilupakan." Sementara ibu sang
penyair sangat sayang kepadanya, berusaha untuk kesembuhannya,
dan sangat mengharapkan kehidupannya. Lalu sang penyair itu
bersenandung duka:

"Kulihat Ummu Amr tidak bosan dan tidak sempit dada
Sedang Sulaima jenuh kepada tempat tidurku dan tempat tinggalku
Siapakah gerangan yang dapat menandingi bunda nan pengasih
Maka tiada kehidupan kecuali dalam kekecewaan dan kehinaan
Demi usiaku, kuingatkan kepada orang yang tidur
Dan kuperdengarkan kepada orang yang punya telinga."

Yang lebih wajib lagi daripada kesabaran suami-istri ketika
teman hidupnya sakit ialah kesabaran anak laki-laki terhadap
penyakit kedua orang tuanya. Sebab hak mereka adalah sesudah
hak Allah Ta'ala, dan berbuat kebajikan atau berbakti kepada
mereka termasuk pokok keutamaan yang diajarkan oleh seluruh
risalah Ilahi. Karena itu Allah menyifati Nabi Yahya a.s.
dengan firman-Nya:

"Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan
bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka." (Maryam:
14)

Allah menjadikannya --yang masih bayi dalam buaian itu--
berkata menyifati dirinya:

"Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku
seorang yang sombong lagi celaka." (Maryam: 32)

Demikian juga dengan anak perempuan, bahkan dia lebih berhak
memelihara dan merawat kedua orang tuanya, dan lebih mampu
melaksanakannya karena Allah telah mengaruniainya rasa kasih
dan sayang yang melimpah, yang tidak dapat ditandingi oleh
anak laki-laki.

Al-Qur'an sendiri menjadikan kewajiban berbuat baik kepada
kedua orang tua ini dalam urutan setelah mentauhidkan Allah
Ta'ala, sebagaimana difirmankan-Nya:

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua
orang ibu bapak..." (an-Nisa': 36)

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya ..." (al-lsra':
23)

Dalam ayat yang mulia ini Al-Qur'an mengingatkan tentang
kondisi khusus atau pencapaian usia tertentu yang mengharuskan
bakti dan perbuatan baik seorang anak kepada orang tuanya
semakin kokoh. Yaitu, ketika keduanya telah lanjut usia, dan
pada saat-saat seusia itu mereka amat sensitif terhadap setiap
perkataan yang keluar dari anak-anak mereka, yang sering
rasakan sebagai bentakan atau hardikan terhadap keberadaan
mereka. Kata-kata yang mempunyai konotasi buruk inilah yang
dilarang dengan tegas oleh Al-Qur~an:

"... Jika salah seorang diantara keduanya atau
kedua-duanya sampai ke umur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku,
kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil.'" (al-Isra': 23-24)

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa beliau
berkata, "Kalau Allah melihat ada kedurhakaan yang lebih
rendah daripada perkataan 'uff (ah), niscaya diharamkan-Nya."

Ungkapan Al-Qur'an "sampai ke usia lanjut dalam
pemeliharaanmu" menunjukkan bahwa si anak bertanggung jawab
atas kedua orang tuanya, dan mereka telah menjadi
tanggungannya. Sedangkan bersabar terhadap keduanya --ketika
kondisi mereka telah lemah atau tua-- merupakan pintu yang
paling luas yang mengantarkannya ke surga dan ampunan; dan
orang yang mengabaikan kesempatan ini berarti telah
mengabaikan keuntungan yang besar dan merugi dengan kerugian
yang nyata.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:

"Merugi, merugi, dan merugi orang yang mendapat kedua
orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau
kedua-duanya, lantas ia tidak masuk surga."57 (HR Ahmad
dan Muslim)58

Juga diriwayatkan dalam hadits lain dari Ka'ab bin Ujrah dan
lainnya bahwa Malaikat Jibril pembawa wahyu mendoakan buruk
untuk orang yang menyia-nyiakan kesempatan ini, dan doa Jibril
ini diaminkan oleh Nabi saw.59

Sedangkan yang sama kondisinya dengan usia lanjut ialah
kondisi-kondisi sakit yang menjadikan manusia dalam keadaan
lemah dan memerlukan perawatan orang lain, serta tidak mampu
bertindak sendiri untuk menyelenggarakan keperluannya.

Jika demikian sikap umum terhadap kedua orang tua, maka secara
khusus ibu lebih berhak untuk dijaga dan dipelihara
berdasarkan penegasan Al-Qur'an dan pesan Sunnah Rasul.

Allah berfirman:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya
dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan ..." (al-Ahqaf: 15)

"Dan Kami perintahkan manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."
(Luqman: 14)

Imam Thabrani meriwayatkan dalam al-Mu'jamush-Shaghir dari
Buraidah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu
ia berkata:

"Wahai Rasululah, saya telah menggendong ibu saya di
pundak saya sejauh dua farsakh melewati padang pasir
yang amat panas, yang seandainya sepotong daging
dilemparkan ke situ pasti masak maka apakah saya telah
menunaikan syukur kepadanya?" Nabi menjawab, "Barangkali
itu hanya seperti talak satu."60

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Umar bin
Khattab, "Ibuku sangat lemah dan tua renta sehingga tidak
dapat memenuhi keperluannya kecuali punggungku ini telah
menjadi hamparan tunggangannya --dia berbuat untuk ibunya
seperti ibunya berbuat untuk dia dahulu-- maka apakah saya
telah melunasi utang saya kepadanya?" Umar menjawab,
"Sesungguhnya engkau berbuat begitu terhadap ibumu, tetapi
engkau menantikan kematiannya esok atau esok lusa; sedangkan
ibumu berbuat begitu terhadapmu justru mengharapkan engkau
berusia panjang."

Selain itu, tanggung jawab keluarga terhadap si sakit
bertambah berat apabila ia tidak punya atau kehilangan
kelayakan untuk berbuat sesuatu, misalnya anak kecil --apalagi
belum sampai mumayiz-- atau seperti orang gila, yang
masing-masing membutuhkan perawatan ekstra dan penanganan yang
serius. Karena orang yang mumayiz dan berpikiran normal dapat
meminta apa saja yang ia inginkan dapat menjelaskan apa yang
ia butuhkan, dapat minta disegerakan kebutuhannya bila
terlambat, dan dapat memuaskan orang yang mengobati atau
merawatnya.

Sedangkan anak kecil, orang gila, dan yang sejenisnya, maka
tidak mungkin dapat melakukan hal demikian. Karena itu
berlipatgandalah beban keluarganya. Dengan demikian, mereka
harus benar-benar menyadari kondisi kesehatannya dan
mengusahakan pengobatannya, sehingga terkadang harus
membawanya ke dokter, memasukkannya ke rumah sakit, atau
hal-hal lain yang tidak dapat dibatasi.


ORANG SAKIT YANG MATI OTAKNYA DIANGGAP MATI MENURUT SYARA'

Sekarang sampailah pembahasan kita pada kondisi tertentu bagi
sebagian orang yang sakit, yang belum meninggal dunia, tetapi
otak dan sarafnya sudah mati, tidak berfungsi, dan tidak dapat
kembali normal menurut analisis para dokter ahli. Dalam
kondisi seperti ini keluarga dan familinya harus merawatnya
dengan mempergunakan instrumen-instrumen tertentu misalnya
untuk memasukkan makanan, pernapasan, dan kontinuitas
peredaran darahnya. Kadang-kadang kondisi seperti ini dijalani
berbulan-bulan atau bertahun-tahun dengan biaya yang besar dan
harus menunggunya secara bergantian. Mereka mengira bahwa
dengan cara demikian mereka telah memelihara si sakit dan
tidak mengabaikannya. Padahal dalam kondisi seperti itu, si
sakit tidak dianggap berada di alam orang sakit, tetapi
menurut kenyataannya dia telah berada di alam orang mati,
semenjak otak atau pusat sarafnya mengalami kematian secara
total.

Karena itu meneruskan pengobatan dengan mempergunakan
instrumen-instrumen seperti tersebut di atas merupakan
perbuatan sia-sia, membuang-buang tenaga, uang, dan waktu yang
tidak keruan ujungnya, dan yang demikian ini tidak sesuai
dengan ajaran Islam.

Kalau keluarga si sakit memahami agama dengan baik dan benar
serta mengerti hakikat masalah yang sebenarnya, niscaya akan
timbul keyakinan dalam hati mereka bahwa yang lebih utama bagi
mereka dan lebih mulia bagi si mayit --yang mereka kira masih
dalam keadaan sakit-- adalah menghentikan penggunaan peralatan
tersebut. Maka ketika itu akan berhentilah aliran darahnya,
dan dengan demikian semua orang tahu bahwa dia benar-benar
sudah meninggal dunia.

Dengan begitu, keluarga si sakit dapat menghemat tenaga dan
biaya. Disamping itu, tempat tidur bekas si sakit dan
peralatan-peralatan tersebut --yang biasanya sangat terbatas
jumlahnya-- dapat dimanfaatkan pasien lain yang memang masih
hidup.

Apa yang saya katakan ini bukanlah pendapat saya seorang,
tetapi merupakan keputusan Lembaga Fiqih Islami al-Alami
(Internasional), sebuah lembaga milik Organisasi Konferensi
Islam, yang telah mengkaji masalah ini dengan cermat dan
serius dalam dua kali muktamar --setelah terlebih dahulu
diadakan presentasi dari para pembicara dari kalangan ahli
fiqih dan dokter-dokter ahli. Melalui berbagai pembahasan dan
diskusi --termasuk menyelidiki semua segi yang berkaitan
dengan peralatan medis tersebut dan menerima pendapat dari
para dokter ahli-- Lembaga Fiqih Islam akhirnya menghasilkan
keputusannya yang bersejarah dalam muktamar yang
diselenggarakan di kota Amman, Yordania, pada tanggal 8-13
Shafar 1407 H/11-16 Oktober 1986 M. Diktum itu berbunyi
demikian:

"Menurut syara', seseorang dianggap telah mati dan
diberlakukan atasnya semua hukum syara' yang berkenaan dengan
kematian, apabila telah nyata padanya salah satu dari dua
indikasi berikut ini:

1. Apabila denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti
secara total, dan para dokter telah menetapkan bahwa
keberhentian ini tidak akan pulih kembali.

2. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama
sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih
kembali, otaknya sudah tidak berfungsi.

Dalam kondisi seperti ini diperbolehkan melepas
instrumen-instrumen yang dipasang pada seseorang (si sakit),
meskipun sebagian organnya seperti jantungnya masih berdenyut
karena kerja instrumen tersebut.

Wallahu a'lam."

Dari diktum ini dapat dihasilkan sejumlah hukum syar'iyah,
antara lain:

Pertama: boleh melepas alat-alat pengaktif (perangsang) organ
dan pernapasan dari si sakit, karena tidak berguna lagi.

Bahkan saya katakan wajib melepas atau menghentikan penggunaan
alat-alat ini, karena tetap mempergunakan alat-alat tersebut
bertentangan dengan ajaran syariah dalam beberapa hal, antara
lain:

Menunda pengurusan mayit dan penguburannya tanpa alasan
darurat, menunda pembagian harta peninggalannya, mengundurkan
masa iddah istrinya, dan lain-lain hukum yang berkaitan dengan
kematian.

Diantaranya lagi adalah menyia-nyiakan harta dan
membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya,
sedangkan tindakan seperti ini terlarang.

Selain itu, diantara akibat yang ditimbulkannya lagi ialah
memberi mudarat kepada orang lain dengan menghalangi mereka
memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang yang
telah mati otak dan sarafnya itu. Hadits Nabawi menetapkan
sebuah kaidah qath'iyah yang berbunyi:

"Tidak boleh memberi mudarat kepada diri sendiri dan
tidak boleh memberi mudarat kepada orang lain."63

Kedua: boleh mendermakan (mendonorkan) sebagian organ tubuhnya
pada kondisi seperti ini, yang akan menjadi sedekah baginya
dan kelak ia akan memperoleh pahala, meskipun ia (si sakit)
tidak mewasiatkannya Disebutkan dalam hadits sahih bahwa
seseorang itu akan mendapatkan pahala karena buah tanamannya
yang dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, dan
yang demikian itu merupakan sedekah baginya, meskipun ia tidak
bermaksud bersedekah:

"Tiada seorang muslimpun yang menanam suatu tanaman atau
menabur benih, lantas buahva dimakan burung, manusia,
atau binatang melainkan yang demikian itu menjadi
sedekah baginya."64

Bahkan disebutkan juga dalam hadits sahih bahwa orang mukmin
mendapatkan pahala karena ditimpa kepayahan, sakit, kesusahan,
duka cita, gangguan, atau bala bencana, hingga tertusuk duri
sekalipun, semuanya dapat menghapuskan dosa-dosanya.

Maka tidaklah mengherankan bila seorang muslim mendapatkan
pahala jika ia mendermakan sebagian organ tubuh keluarganya
ketika telah mati otaknya kepada pasien lain yang memerlukan
organ tubuh tersebut untuk menyelamatkan kehidupannya, atau
untuk mengembalikan kesehatannya. Maka seorang muslim tidak
perlu meragukan betapa utamanya amal ini dan betapa besarnya
nilai dan pahalanya di sisi Allah Ta'ala.

Apabila pemberian derma (donor) ini sudah dipastikan, maka
bolehlah mengambil organ yang dibutuhkan itu sebelum peralatan
yang dipasang pada tubuhnya dilepaskan, karena jika tidak
dernikian berarti mengambil organ dari orang yang sudah mati
bila ditinjau dari segi aktivitasnya menurut keputusan di
atas. Sebab pengambilan organ setelah dilepas peralatannya
tidaklah berguna untuk dicangkokkan kepada orang lain,
dikarenakan organ itu telah kehilangan daya hidup, dan telah
menjadi organ mati.

MELEPAS PERALATAN DARI PENDERITA YANG TIDAK ADA HARAPAN SEMBUH

Lebih dari itu, bahwa orang sakit yang telah lama menggunakan
peralatan untuk membantu kehidupannya (seperti infus, oksigen,
dan sebagainya) namun tidak membawa kemajuan sama sekali,
bahkan para dokter yang merawatnya menetapkan bahwa
kesembuhannya --menurut sunnatullah-- tidak lagi dapat
diharapkan, sehingga meneruskan penggunaan peralatan tersebut
sudah tidak ada manfaatnya, dan bahwa yang menjadikannya
tampak hidup adalah ketergantungannya pada peralatan tersebut,
yang jika dilepas tentu tidak lama lagi meninggal dunia, maka
saya katakan bahwa menurut syara' tidak terlarang keluarganya
melepas peralatan tersebut dari si sakit dan membiarkannya
menurut kadar kemampuannya sendiri tanpa campur tangan orang
lain.

Tindakan ini tidak termasuk kategori qatlur-rahmah (eutanasia)
sebab kita tidak membunuhnya. Yang kita lakukan hanyalah
menghentikan pengobatannya melalui peralatan buatan.

Tidak seorang pun ahli fiqih yang dapat mengatakan bahwa
pengobatan dengan menggunakan peralatan tersebut merupakan
kewajiban syara' yang tidak boleh diabaikan, sehingga jika
dihentikan bertentangan dengan hukum syara'. Bahkan ketetapan
yang sudah dimaklumi di kalangan ulama-ulama syariat adalah
bahwa berobat --menurut mazhab empat dan jumhur ulama--
hukumnya mubah, bukan kewajiban yang pasti. Sedikit sekali
fuqaha yang berpendapat mustahab, dan lebih sedikit lagi yang
mewajibkannya.65 Dalam kaitan ini Imam Ghazali menulis bab
tersendiri dalam al-Ihya' untuk menyangkal pendapat orang yang
mengatakan bahwa "meninggalkan berobat lebih utama dalam
segala kondisi."

Tetapi, yang saya pandang kuat ialah pendapat yang mewajibkan
berobat bila penyakitnya parah dan obatnya manjur (berfaedah)
menurut kebiasaannya. Adapun jika harapan untuk sembuh itu
tipis --bahkan kadang-kadang sudah tidak ada harapan sembuh
menurut para ahlinya-- maka tidak ada alasan untuk mengatakan
wajib atau sunnah dalam hal berobat.

Karena itu, menghentikan penggunaan peralatan dari si sakit
yang keadaannya seperti itu tidak lebih dari meninggalkan
perkara mubah, kalau tidak lebih utama sebagaimana pendapat
Imam Ahmad dan lainnya. Bahkan, saya lihat pendapat yang
terkuat ialah yang mewajibkan penghentian penggunaan peralatan
tersebut.

MENGINGATKAN PENDERITA AGAR BERTOBAT DAN BERWASIAT

Disukai bagi keluarga si sakit, teman-temannya, dan orang yang
menjenguknya dari kalangan ahli kebaikan dan kebajikan, untuk
mengingatkan si sakit agar segera bertobat kepada Allah
Ta'ala. Supaya si sakit menyesali kekurangannya dalam
melaksanakan ajaran Allah, bertekad untuk menaati Allah,
membersihkan diri dari menganiaya hamba-hamba Allah, dan
mengembalikan hak-hak mereka bagaimanapun kecilnya, karena
hak-hak Allah itu didasarkan pada toleransi, dan hak-hak hamba
itu didasarkan pada kesungguhan, serta karena tobat itu
dituntut dari seluruh orang mukmin sebagaimana firman Allah:

"... Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orarg-orang yang beriman, supaya kamu beruntung."
(an-Nur: 31)

Adapun tobat bagi orang sakit lebih wajib lagi hukumnya,
disamping ia lebih membutuhkannya karena memang besar
keuntungannya, sedangkan bagi orang yang mengabaikannya akan
mendapatkan kerugian yang amat besar. Dan orang yang
berbahagia adalah orang yang segera bertobat sebelum habis
waktunya:

"Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang
yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang
ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) ia
mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertobat sekarang...'"
(an-Nisa': 18)

Disamping itu, seyogianya kita ingatkan si sakit agar
berwasiat jika ia belum berwasiat. Rasulullah saw. bersabda:

"Tidak ada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu
yang pantas diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua
malam, melainkan hendaklah wasiatnya tertulis di
sisinya."66

Apabila si sakit ditakdirkan Allah sembuh dari sakitnya, maka
sebaiknya ia dinasihati dan diingatkan agar menunaikan apa
yang telah dijanjikannya kepada Allah sewaktu dia sakit
sebagai tanda syukur kepada Allah dan untuk memenuhi janjinya.
Sudah seharusnya si sakit menjaga hal itu. Allah berflrman:

"... dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
dimintai pertanggungjawabannya." (al-Isra': 34)

Allah juga telah memuji ahli kebajikan dan ahli takwa dengan
firman-Nya:

"... dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
mereka berjanji..." (al-Baqarah: 177)

Para ulama berkata, "Seharusnya si sakit mempunyai keinginan
keras untuk memperbaiki akhlaknya, menjauhi pertikaian dan
pertentangan mengenai urusan dunia, merasa bahwa saat ini
merupakan saat terakhirnya di ladang amal sehingga ia harus
mengakhirinya dengan kebajikan. Hendaklah ia meminta
kelapangan dan maaf kepada istrinya, anak-anaknya,
keluarganya, pembantunya, tetangganya, teman-temannya, dan
semua orang yang punya hubungan muamalah, pergaulan,
persahabatan, dan sebagainya, serta meminta keridhaan mereka
sedapat mungkin. Selain itu, hendaklah ia menyibukkan dirinya
dengan membaca Al-Qur'an, dzikir, kisah-kisah orang saleh dan
keadaan mereka ketika menghadapi kematian. Hendaklah ia
memelihara shalatnya, menjauhi najis, dan mengikuti
kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Janganlah ia menghiraukan
perkataan orang yang mencela atas apa yang ia lakukan, sebab
ini merupakan ujian baginya, dan orang yang mencelanya itu
adalah teman yang bodoh dan musuh yang terselubung. Disamping
itu, hendaklah ia berpesan kepada keluarganya agar bersabar
jika ia menghadap-Nya dan jangan meratapinya, karena meratap
termasuk perbuatan jahiliah, demikian pula memperbanyak
menangis. Hendaklah ia juga berpesan kepada keluarganya agar
menjauhi tradisi-tradisi bid'ah terhadap jenazah, dan
hendaklah mereka bersungguh-sungguh mendoakannya, karena doa
orang-orang yang hidup itu berguna bagi orang yang telah
mati."67

Diantara indikasi kebaikan ialah jika seseorang diberi taufiq
oleh Allah untuk melakukan amal saleh sebelum meninggal dunia,
untuk mengakhiri kehidupannya, sebab amal-amal itu tergantung
pada kesudahannya. Dan di antara doa yang ma'tsur ialah:

"Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik usiaku pada bagian
akhirnya."68

Mengenai hal ini telah diriwayatkan beberapa hadits,
diantaranya adalah hadits Anas:

"Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba,
maka dipekerjakan-Nyalah orang itu." Ditanyakan kepada
beliau, "Bagaimana mempekerjakannya?" Beliau menjawab,
"Memberinya taufiq (pertolongan) untuk melakukan amal
saleh sebelum meninggal dunia, lalu Dia (Allah)
mematikannya atas amal saleh itu."69

Dalam sebagian jalannya diriwayatkan dengan lafal: [tulisan
Arab] sebagai pengganti lafal [tulisan Arab] yakni
'memperbagus pujiannya diantara manusia.'

Diantaranya lagi adalah hadits Abu Umamah:

"Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba
maka disucikan-Nya orang itu sebelum meninggal dunia."
Para sahabat bertanya, "Apa yang buat menyucikan hamba
itu?" Beliau menjawab, "Amal saleh yang diilhamkan Allah
kepada orang itu, lantas dimatikannya orang itu atas
amal saleh tersebut." (HR Thabrani)70


RUKHSHAH BAGI SI SAKIT UNTUK MENGELUARKAN DERITANYA

Tidak mengapa bagi si sakit untuk mengeluhkan rasa sakit dan
penderitaannya kepada dokter atau perawatnya, kerabat atau
temannya, selama hal itu dilakukan tidak untuk menunjukkan
kebencian kepada takdir, atau untuk menunjukkan keluh kesah
dan kekesalannya.

Hal ini disebabkan orang yang dijadikan tempat mengaduh
--lebih-lebih jika ia dokter atau perawat-- kadang-kadang
punya obat yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, atau
minimal meringankannya. Disamping itu, menyampaikan keluhan
kepada orang yang dipercayainya dapat meringankan beban
psikologis, lebih-lebih jika orang itu mau menanggapinya,
merasa iba padanya, dan ikut merasakan penderitaan yang
dialaminya. Seorang penyair kuno mengatakan:

"Aku mengaduh dan mengeluh
Padahal mengeluh seperti ini tak biasa kulakukan
Tapi memang
Bila gelas sudah penuh isinya
Ia akan tumpah keluar."

Pujangga lain mengatakan:

"Tak apalah engkau mengaduh
Kepada orang yang berbudi luhur
Agar ia iba padamu
Atau menenangkan jiwamu
Atau turut merasakan penderitaanmu."

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. bahwa Nabi
saw. pernah berkata:

"Aku demam yang panasnya setinggi yang dialami dua orang
dari kalian."

Diriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah r.a.
pernah berkata, "Aduh, kepalaku sakit." Dan Nabi saw.
menimpali, "Aduh, kepalaku juga sakit!"

Dan diriwayatkan dari Sa'ad, ia berkata, "Rasulullah saw.
datang menjenguk saya ketika penyakit saya bertambah berat
pada waktu haji wada', lalu saya berkata, 'Saya menderita
sakit sebagaimana yang engkau lihat ..."71

Imam Bukhari meriwayatkan dalam al-Adabul-Mufrad dari Urwah
bin Zuber, ia berkata, Saya dan Abdullah bin Zuber pernah
menjenguk Asma' --binti Abu Bakar yang nota bene ibu mereka
sendiri-- lalu Abdullah bertanya kepada Asma', 'Bagaimana
keadaan Ibunda?' Asma' menjawab, 'Sakit.'"72

Riwayat-riwayat ini menolak anggapan sebagian ulama yang
mengatakan bahwa orang sakit dimakruhkan mengeluh/mengaduh.
Imam Nawawi mengomentari pendapat sebagian ulama tersebut
dengan mengatakan, "Ini adalah pendapat yang lemah atau batil,
karena sesuatu yang makruh ditetapkan dengan adanya larangan
yang dimaksud, sedangkan yang demikian tidak didapati."
Kemudian beliau berhujjah dengan hadits Aisyah dalam bab ini,
lalu berkata, "Barangkali yang mereka maksud dengan karahah
(makruh) disini adalah khilaful-aula (menyalahi sesuatu yang
lebih utama), sebab tidak diragukan lagi bahwa melakukan
dzikir lebih utama (daripada mengaduh/mengerang)."73

Al-Qurthubi berkata, "Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat
menolak rasa sakit, dan memang jiwa manusia diciptakan untuk
dapat merasakan yang demikian, maka apa yang telah diciptakan
Allah pada manusia tidaklah dapat diubah. Hanya saja, manusia
dibebani tugas untuk melepaskan diri dari sesuatu yang dapat
ditinggalkan apabila ditimpa musibah, misalnya berlebihan
dalam mengeluh dan mengaduh, karena orang yang berbuat begitu
berarti telah keluar dari artian sebagai ahli sabar. Adapun
semata-mata mengaduh tidaklah tercela, kecuali ia membenci apa
yang ditakdirkan atas dirinya."74

Bahkan Imam Muslim meriwayatkan dari Utsman bin Abil 'Ash
bahwa dia mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya kepada
Rasulullah saw., lalu beliau bersabda kepadanya:

"Letakkan tanganmu pada badan tubuhmu yang sakit, dan
ucapkan 'bismillah' (dengan nama Allah) tiga kali, dan
ucapkan doa ini sebanyak tujuh kali: 'Aku berlindung
dengan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya dari apa yang
aku derita dan aku khawatirkan.'"75

Para ulama mengatakan, "Dari riwayat ini dirumuskan hukum
sunnahnya menyampaikan keluhan kepada orang yang bisa
memohonkan berkah, karena mengharapkan keberkahan doanya"76

Imam Ahmad biasanya memuji Allah terlebih dahulu, baru setelah
itu beliau memberitahukan apa yang dideritanya, mengingat
riwayat dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Apabila menyampaikm
syukur terlebih dahulu sebelum menyampaikan keluhan, maka
tidaklah dia dinilai berkeluh kesah."77

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari perkataan Nabi saw. dalam
hadits Aisyah ("kepala saya juga sakit") dengan mengatakan:

"Riwayat ini menunjukkan bahwa mengatakan sakit tidak
termasuk berkeluh kesah. Sebab betapa banyak orang yang
hanya berdiam tetapi hati mereka merasa jengkel (marah),
dan betapa banyak orang yang mengadukan sakitnya tetapi
hatinya merasa ridha. Maka yang perlu diperhatikan di
sini adalah amalan hati, bukan amalan lisan.78 Wallahu
a'lam.

Disisi lain, bagi orang yang menerima keluhan hendaklah ia
berusaha meringankan penderitaan si sakit dengan membelainya
atau menyentuhnya dengan penuh kasih sayang, dengan perkataan
yang menyejukkan hati, dan dengan doa yang baik, sebaggõimana
yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap Sa'ad. Aisyah binti
Sa'ad meriwayatkan bahwa ayahnya bercerita, "Ketika saya di
Mekah, saya mengadukan sakit yang berat, kemudian Nabi saw
menjenguk saya. Kemudian beliau menaruh tangan beliau dan
mengusapkannya pada muka dan perut saya, seraya berdoa:

"Ya Allah, sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah
hijrahnya."

Sa'ad berkata, "Maka saya senantiasa merasakan dinginnya
tangan beliau di hati saya --menurut perasaan saya-- hingga
hari kiamat."79

Ibnu Mas'ud juga berkata, "Saya pernah masuk ke tempat
Rasulullah saw. ketika beliau sedang sakit parah, lalu saya
belai beliau dengan tangan saya sembari berkata, 'Wahai
Rasulullah, sakitmu sangat berat.' Beliau menjawab, 'Benar,
sebagaimana yang diderita oleh dua orang diantara kamu.' Saya
berkata, 'Hal itu karena engkau mendapat dua pahala?' Beliau
menjawab, 'Benar.' Kemudian beliau bersabda:

"Tidak seorang muslim yang ditimpa suatu gangguan berupa
penyakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan
dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan
daun-daunnya."80

Selain itu, hendaklah ia berusaha meringankan penderitaan si
sakit dengan mengingatkannya akan keutamaan sabar terhadap
cobaan Allah dan ridha menerima qadha-Nya, mengingatkannya
akan pahala orang yang mendapatkan ujian lantas ia bersabar
dan rela menerimanya. Hendaklah ia mengingatkan bahwa penyakit
yang menimpanya adalah untuk menyucikan dan menebus
dosa-dosanya, untuk menambah kebaikannya, atau untuk
meninggikan derajatnya. Disamping itu! ia juga sebaiknya
diberi pengertian bahwa orang yang paling berat cobaannya
ialah para nabi, kemudian orang-orang yang memiliki derajat di
bawahnya, dan seterusnya. Perlu juga diingatkan kepadanya
tentang ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi, serta biografi para
shalihin yang sekiranya dapat menenangkan dan memantapkan
hatinya, tidak menjadikannya jenuh dan berat. Kemudian
sebaiknya ia diajari dengan sesuatu yang dapat meninggikan
jiwanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. terhadap Utsman
bin Abil 'Ash.

Adapun mengenai pengaduan kepada Sang Pencipta Yang Maha
Luhur, maka Al-Qur'an telah mengisahkan beberapa orang Nabi
a.s. yang mulia. Diantaranya Al-Qur'an mengisahkan Nabi Ya'qub
a.s. yang mengatakan:

"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan
kesusahan dan kesedihanku ..." (Yusuf: 86)

Demikian pula ketika mengisahkan Nabi Ayub a.s.:

"Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya:
'(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit,
dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara
semua penyayang." (al-Anbiya': 83)

Ayat-ayat ini sekaligus menyangkal anggapan golongan sufi yang
mengatakan bahwa berdoa merusak keridhaan dan penyerahan.81
Dalam hal ini sebagian mereka berkata, "Pengetahuan-Nya
tentang keadaanku tidak memerlukan aku meminta kepada-Nya."

Tetapi yang perlu ditegaskan disini bahwa berdoa dan memohon
kepada Allah adalah ibadah, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah saw.

Sebenarnya, menurut kesepakatan para ulama, yang tergolong
makruh dalam hal ini ialah berkeluh kesah terhadap Tuhannya,
yaitu menyebut-nyebut penderitaannya kepada manusia dengan
jalan memaki-maki.82 Inilah yang dilakukan oleh sebagian orang
yang melupakan nikmat Allah, yang mereka ingat hanyalah bala
dan bencana semata.


KETIKA SEKARAT DAN MENDEKATI KEMATIAN

Apabila keadaan si sakit sudah berakhir dan memasuki pintu
maut --yakni saat-saat meninggalkan dunia dan menghadapi
akhirat, yang diistilahkan dengan ihtidhar (detik-detik
kematian/kedatangan tanda-tanda kematian)-- maka seyogianya
keluarganya yang tercinta mengajarinya atau menuntunnya
mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah (Tidak ada tuhan
selain Allah) yang merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas,
dan kalimat takwa, juga merupakan perkataan paling utama yang
diucapkan Nabi Muhammad saw. dan nabi-nabi sebelumnya.

Kalimat inilah yang digunakan seorang muslim untuk memasuki
kehidupan dunia ketika ia dilahirkan dan diazankan di
telinganya (bagi yang berpendapat demikian; Penj.), dan
kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri kehidupan
dunia. Jadi, dia menghadapi atau memasuki kehidupan dengan
kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun dengan kalimat
tauhid.

Ulama-ulama kita mengatakan, "Yang lebih disukai untuk
mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang kepadanya,
paling pandai mengatur, dan paling takwa kepada Tuhannya.
Karena tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada Allah
Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar
berwasiat. Apabila ia melihat si sakit sudah mendekati
ajalnya, hendaklah ia membasahi tenggorokannya dengan
meneteskan air atau meminuminya dan membasahi kedua bibirnya
dengan kapas, karena yang demikian dapat memadamkan
kepedihannya dan memudahkannya mengucapkan kalimat
syahadat."94

Kemudian dituntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah
mengingat hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abi Sa'id
secara marfu':

"Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan
kalimat laa illaaha illallah."95

Orang yang hampir mati didalam hadits ini disebut dengan
"mayit" (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak
dapat dihindari.

Jumhur ulama berpendapat bahwa menalkin (mengajari atau
menuntun) orang yang hampir mati dengan kalimat laa ilaaha
illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi ada pula yang
berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian
pengikut mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya.96

Hikmah menalkin kalimat syahadat ialah agar akhir ucapan
ketika seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim
serta disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu':

"Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa
ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga."97

Dicukupkannya dengan ucapan laa ilaaha illallah karena
pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang
lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi
Muhammad saw., disamping itu agar jangan terlalu banyak ucapan
yang diajarkan kepadanya.

Sebagian ulama berpendapat agar menalkinkan dua kalimat
syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti
kalimat pertama. Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya
dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadits.

Seyogyanya, dalam menalkinkan kalimat tersebut jangan
diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata
kepadanya: "Ucapkanlah laa ilaaha illallah," karena
dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa jenuh, lalu
ia mengatakan, "Saya tidak mau mengucapkannya," atau bahkan
mengucapkan perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat
ini diucapkan kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan
memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya .

Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu
berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan: "Subhanallah,
walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah."

Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali, maka
hal itu sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia
mengucapkan perkataan lain sesudah itu, maka perlu diulang
menalkinnya dengan lemah lembut dan dengan cara persuasif
(membujuknya agar mau mengucapkannya), karena kelemahlembutan
dituntut dalam segala hal terlebih lagi dalam kasus ini.
Pengulangan ini bertujuan agar perkataan terakhir yang
diucapkannya adalah kalimat laa ilaaha illallah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak bahwa ketika ia
kedatangan tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia)
ada seorang laki-laki yang menalkinkannya secara
berulang-ulang, lantas Abdullah berkata, "Seandainya engkau
ucapkan satu kali saja, maka saya tetap atas kalimat itu
selama saya tidak berbicara lain."

Dalam hal ini, sebaiknya orang yang menalkinkannya ialah orang
yang dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang diduga sebagai
lawannya (ada rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad
kepadanya, atau ahli waris yang menunggu-nunggu kematiannya.98

Sementara itu, sebagian ulama menyukai dibacakan surat Yasin
kepada orang yang hampir mati berdasarkan hadits:

"Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati
diantara kamu."99

Namun demikian, derajat hadits ini tidak sahih, bahkan tidak
mencapai derajat hasan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

Disamping itu, disukai menghadapkan orang yang hampir mati ke
arah kiblat jika memungkinkan --karena kadang-kadang si sakit
tengah menjalani perawatan di rumah sakit hingga ia menghadap
ke arah yang sesuai dengan posisi ranjang tempat ia tidur.

Yang menjadi dalil bagi hal ini adalah hadits Abu Qatadah yang
diriwayatkan oleh Hakim, bahwa ketika Nabi saw. datang di
Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra' bin Ma'rur, lalu
para sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berpesan
agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah
saw. bersabda:

"Sesuai dengan fitrah."100

Imam Hakim berkata, "Ini adalah hadits sahih, dan saya tidak
mengetahui dalil tentang menghadapkan orang yang hampir mati
ke arah kiblat melainkan hadits ini."101

Ada dua macam pendapat dari para ulama mengenai cara
menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini:

Pertama, ditelentangkan di atas punggungnya, kedua telapak
kakinya ke arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar
wajahnya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi orang yang
dimandikan. Pendapat ini dipilih oleh beberapa imam dari
mazhab Syafi'i, dan ini merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad.

Kedua, miring ke kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi
dalam liang lahad. Ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah
dan Imam Malik, dan nash Imam Syafi'i dalam al-Buwaithi, dan
pendapat yang mu'tamad (valid) dalam mazhab Imam Ahmad.

Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut, mana yang
lebih mudah. Sedangkan Imam Nawawi membenarkan pendapat yang
kedua, kecuali jika tidak memungkinkan cara itu karena
tempatnya yang sempit atau lainnya, maka pada waktu itu boleh
dimiringkan ke kiri dengan menghadap kiblat. Jika tidak
memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau punggungnya.102

Imam Syaukani berkata, "Yang lebih cocok ialah menghadap
kiblat dengan miring ke kanan, berdasarkan hadits al-Barra'
bin Azib dalam Shahihain:

"Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka
berwudhulah seperti wudhumu ketika hendak shalat,
kemudian berbaringlah di atas lambungmu sebelah kanan."

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka
engkau berada pada fitrah (kesucian)."103

Dari riwayat ini tampak bahwa seyogyanya orang yang hampir
meninggal dunia hendaklah dalam posisi seperti itu.

Diriwayatkan juga dalam al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu
Rafi' bahwa Fatimah binti Rasulullah saw. radhiyallahu 'anha,
ketika akan meninggal dunia beliau menghadap kiblat, kemudian
berbantal dengan miring ke kanan.104


Catatan kaki:

1 Seperti dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, dan Sunan lbnu Majah.

2 Al-Lu'lu' wal-Marjan. nomor 1397.

3 Shahih al-Bukhari, "Kitab al-Mardha," "Bab Wujubi
'Iyadatil-Maridh," hadits nomor 5649. Al-Bukhari dalam
Fathul-Bari, terbitan Darul-Fikri, al-Mushawwirah 'an
as-Salafiyah, Kairo, 10: 122.

4 Fathul-Bari bi Syarhi Shahihil-Bukhari, juz 10, hlm.
112-113.

5 Ibid hadits nomor 5650.

6 Nailul-Authar, karya Asy-Syaukani, juz 4, hlm.
43-44.

7 Riwayat Muslim dalam "Kitab al-Birr," hadits nomor
2568, dengan tahqiq Fuad Abdul Baqi, dan diriwayatkan
oleh Tirmidzi dalam al-Jana'iz, hadits nomor 967, dan
beliau berkata, "Hasan sahih." Terbitan Himsh, dengan
ta'liq Azat Da'as.

8 Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad, nomor 522, Ahmad dan
al-Bazzar, dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari
jalan ini. Lafal mereka berbeda-beda, dan Ahmad
meriwayatkan seperti ini dari hadits Ka'ab bin Malik
dengan sanad hasan. Al-Fath, 10: 113.

9 Ibnu Majah dalam al-Jana'iz, 1442; Tirmidzi no.
1006.

10 HR Muslim, hadits nomor 2569.

11 HR Tirmidzi, nomor 969. Beliau berkata, "Hasan gharib."

12 HR Abu Daud dan disahkan oleh Hakim. Diriwayatkan
juga oleh Bukhari dengan susunan redaksional yang lebih
lengkap, sebagaimana terdapat dalam Fathul-Bari, juz 10,
hlm. 113. Lihat juga al-Adabul-Mufrad, karya Imam
Bukhari, "Bab al-'Iyadah minar-Ramad," hadits no. 532.

13 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5656.

14 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 119.

15 Diriwayatkan oleh Bukhari sebagaimana tertera dalam
Fathul-Bari, juz 10, hlm. 118, hadits 5655. Beliau juga
meriwayatkannya dalam al-Jana'iz.

16 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, 10: 114, hadiz no.
5651.

17 Ibid.

18 Al-Adabul-Mufrad, karya al-Bukhari "Bab
'Iyadatin-Nisa' ar-Rijal al-Maridh," hadits nomor 530.

19 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5654.

20 Muslim dalam "Kitab al-Birr," hadits nomor 4575.

21 Al-Bukhari dalam Fathul-Barin, hadits, nomor 5657.

22 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 119

23 Syarhus-Sunnah, terbitan al-Maktab al-Islami, dengan
tahqiq Syu'aib al-Arnauth, juz 5, hlm. 211-212.

24 Al-Majmu', kalya an-Nawawi, juz 5. hlm. 111-112.

25 Ibid., hlm. 112.

26 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 126, "Bab Qaulil-Maridh:
'Quumuu 'Annii'."

27 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5675.

28 Ibid., hadits nomor 5659.

29 Ibid., juz 10, hlm. 132

30 Muttafaq 'alaih dari hadits Abdullah bin Abi Aufa.

31 HR Ahmad dan Tirmidzi dari hadits Abu Bakar,
sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir,
hadits nomor 3632.

32 Ath-Thabrani dan adh-Dhiya', dan dihasankan dalam
Shahih al-Jami'ush-Shaghir, nomor 1198.

33 HR al-Bazzar dari Ibnu Abbas, sebagaimana disebutkan
dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor 1274.

34 HR Abu Daud dalam al-Jana'iz (2107), Ibnu Hibban,
dan al-Hakim. Beliau mengesahkannya menurut syarat
Muslim, dan adz-Dzahabi menyetujuinya (1: 344).

35 Syarah al-Misykat, juz 2, hlm. 307.

36 HR Abu Daud dalam al-Jana'iz (hadits nomor 3106),
at-Tirmidzi dalam ath-Thibb (hadits nomor 2083) dan
beliau berkata, "Hasan gharib." Juga dihasankan oleh
al-Hafizh dalam Syarah al-Adzkar karya Ibnu 'Allan, juz
4, hlm. 61-62, dan diriwayatkan oleh al-Hakim serta
disahkan olehnya menurut syarat Bukhari, dan disetujui
oleh adz-Dzahabi dalam juz 1, hlm. 342.

37 Ibnu Majah dalam "al-Jana'iz," hadits nomor 1438,
dan at-Tirmidzi dalam "ath-Thibb" nomor 2087 dan beliau
menilainya gharib. Al-Hafizh berkata, "Dalam sanadnya
terdapat kelemahan." (Fathul-Bari, 10: 121).

38 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 121-122.

39 Muslim, "Kitab as-Salam," "Bab Laa Ba'sa bir-Ruqa
Maa lam Yakun fihi Syirkun," hadits no. 2200.

40 Ibid., "Bab Istihbabur-Ruqyah minal-'Ain wan-Namlah
wal-Hummah wan-Nazhrah," hadits nomor 2199.

41 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 195-196.

42 Muttafaq 'alaih, sebagaimana disebutkan dalam
al-Lu'lu' wal-Marjan fii Maa Ittafaqa 'alaihi
asy-Syaikhaani, hadits no. 1417.

43 Muslim, "Bab ath-Thibb wal-Maradh war-Ruqa," hadits
no. 2185.

44 Muslim, hadits nomor 2186.

45 Muttafaq 'alaih, hadits nomor 1415.

46 Muttafaq 'alaih, hadits nomor 1418.

47 Muslim, hadits nomor 2198. Yang dimaksud "mereka" di
sini ialah anak-anak dari putra paman beliau Ja'far.

48 Muttafaq 'alaih, hadits nomor 1420.

49 HR Bukhari, Ahmad, dan Ashhabus-Sunan sebagaimana
disebut dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor
3778.

50 Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor 6394.

51 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, hadits nomor 6696. dan
Syekh Syakir mengesahkan isnadnya, meskipun diriwayatkan
oleh Ibnu Ishaq secara mu'an'an (dengan menggunakan
lafal 'an = dari). Juga diriwayatkan oleh Abu Daud dalam
"ath-Thibb" (nomor 3843); Tirmidzi dalam "ad-Da'awat"
(nomor 3519) dan beliau berkata, "Hasan gharib"; Nasa-i
dalam "Amalul-Yaum wal-Lailah," nomor 765 hingga pada
lafal: "Wa an yahdhuruuni."

52 Faidhul-Qadar, juz 2, hlm. 287.

53 Al-Lu'lu' wa-Marjan, hadits nomor 1667.

54 Al-Lu'lu' wa-Marjan, hadits nomor 1447.

55 Dihasankan oleh Tirmidzi, disahkan oleh Hakim, dan
disetujui oleh Dzahabi, sebagaimana diterangkan dalam
Faidhul-Qadir, karya Imam Munawi, juz 4, hlm. 237.

56 Diriwayatkan juga oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan
Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad dari Abi Sa'id, dan
diriwayatkan oleh Thabrani dan Hakim dari Ummu Kultsum
bind 'Uqbah, serta disahkan oleh Hakim menurut syarat
Muslim dan disetujui Dzahabi (Faidhul-Qadir, juz 2, hlm.
38).

57 Artinya, dia tidak berbakti kepada mereka yang akan
mengantarkannya ke surga (Penj.).

58 Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor 3511.

59 Doa Malaikat Jibril itu berbunyi demikian: "Jauhlah
(dari rahmat Allah) orang yang mendapat kedua orang
tuanya atau salah satunya telah berusia lanjut, tetapi
dia tidak masuk surga." Diriwayatkan oleh Thabrani
dengan perawi-perawi tepercaya, sebagaimana diterangkan
dalam Majma'uz-Zawaid, 1: 166. Dan ia mempunyai sejumlah
syahid.

60 HR Thabrani dalam ash-Shaghir. Di dalam sanadnya
terdapat al-Hasan bin Abi Ja'far yang lemah tetapi bukan
pendusta, dan terdapat Laits bin Abi Sulaim, seorang
perawi mudallis (suka menyamarkan hadits).
(Majma'uz-Zawaid, karya al-Haitsami, juz 8, hlm. 137).

61 HR Muslim dalam "Kitab al-Birr wash-Shilah" dari
hadits Jabir. Shahih Muslim, hadits nomor 2578.

62 HR Abu Syaikh dalam ats-Tsawab dari Abu Umamah.
Dihasankan (oleh al-Albani) dalam Shahih
Jami'ush-Shaghir.

SEPUTAR TENTANG ORANG SAKIT bagian : (1) (Dr. QORDHOWI)

Daftar Isi

Daftar Isi
Menjenguk Orang Sakit dan Hukumnya
Keutamaan dan Pahala Menjenguk Orang Sakit
Disyariatkan Menjenguk Setiap Orang Sakit
Menjenguk Anak Kecil dan Orang yang Tidak Sadar
Wanita Menjenguk Laki-laki yang Sakit
Laki-laki Menjenguk Perempuan yang Sakit
Menjenguk Orang Non-Muslim
Menjenguk Ahli Maksiat
Berapa Kali Menjenguk Orang Sakit?
Mendoakan Si Sakit
Menguatkan Harapan Sembuh Ketika Sakit
Menjampi Si Sakit dan Syarat-syaratnya
Menyuruh Si Sakit Berbuat Ma'ruf
dan Mencegahnya dari yang Mungkar
Mendonorkan Darah untuk Si Sakit
Keutamaan Kesabaran Keluarga Si Sakit
Penderita Sakit Jiwa
Biaya Pengobatan Si Sakit
Orang Sakit yang Mati Otaknya
Dianggap Mati Menurut Syara'
Melepas Peralatan dari Penderita
yang Tidak Ada Harapan Sembuh
Mengingatkan Penderita Agar Bertobat dan Berwasiat
Rukhshah bagi Si Sakit untuk Mengeluarkan Deritanya
Si Sakit Mengharapkan Kematian
Berbaik Sangka kepada Allah Ta'ala
Ketika Sekarat dan Mendekati Kematian
Apa yang Harus Dilakukan Setelah Mati?

Fakultas Kedokteran Universitas al-Malik Faishal di Dammam
melaksanakan suatu kegiatan yang bagus dan mulia, yaitu
menyusun sebuah buku yang membicarakan kode etik kedokteran
dalam Islam.

Programnya disusun sedemikian bagus, masing-masing topik
pembahasan diserahkan kepada sejumlah pemerhati masalah
kedokteran dan syariah, dari kalangan ahli fiqih dan ahli
kedokteran. Pihak fakultas menegaskan bahwa proyek ini
semata-mata sebagai amal kebajikan karena Allah dan untuk
mencari ridha-Nya, tidak ada tujuan materiil sama sekali.
Orang-orang yang ikut andil menyumbangkan tulisannya pun tidak
mendapatkan honorarium, pahala mereka hanya pada sisi Allah
SWT.

Dewan redaksi meminta kepada saya untuk menulis salah satu
dari topik yang berkaitan dengan "Hak dan Kewajiban Keluarga
Si Sakit dan Teman-temannya." Topik ini membuat beberapa unsur
penting yang layak untuk dijelaskan menurut tinjauan dalil dan
ushul (prinsip) syar'iyah, antara lain:

A. Menjenguk orang sakit;
B. Adab menjenguk orang sakit;
C. Menanggung biaya pengobatan, seluruhnya atau sebagian;
D. Mendermakan (mendonorkan) darah untuk si sakit;
E. Mendonorkan organ tubuh;
F. Hak si sakit yang tidak normal pikirannya (karena
terbelakang, karena di bawah ancaman, atau karena hilang
akal);
G. Hak-hak si sakit menjelang kematiannya, dan adab
bergaul dengannya;
H. Hak-hak si sakit yang mati otaknya, dan hukum
kematian otak.

Saya meminta pertolongan kepada Allah, dan saya tulis apa yang
diminta oleh panitia, meskipun kesibukan saya sangat banyak.
Tulisan itu saya kirimkan kepada saudara A.D. Zaghlul
an-Najjar untuk disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.

Oleh karena proses penerbitan buku tersebut cukup lama, maka
saya memandang perlu memuat pembahasan tersebut dalam kitab
ini agar manfaatnya lebih luas dan merata, disamping dapat
segera dimanfaatkan. Segala puji teruntuk Allah yang telah
memberikan taufiq-Nya.

Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Rasulullah, keluarganya, dan kepada
orang- orang yang mengikuti petunjuknya.

Amma ba'du.

Sesungguhnya perubahan merupakan salah satu gejala umum bagi
makhluk di alam semesta ini, khususnya makhluk hidup. Karena
itu, makhluk-makhluk ini senantiasa menghadapi kondisi sehat
dan sakit, yang berujung pada kematian.

Adapun manusia adalah makhluk hidup yang tertinggi
peringkatnya, karena itu tidaklah mengherankan bila manusia
ditimpa berbagai hal. Bahkan ia lebih banyak menjadi sasaran
musibah tersebut dibandingkan makhluk lainnya, karena adanya
faktor kemauan dan faktor alami yang mempengaruhi
kehidupannya.

Oleh karena itu, syariat Islam menganggap penyakit atau sakit
merupakan fenomena yang biasa dalam kehidupan manusia, mereka
diuji dengan penyakit sebagaimana diuji dengan penderitaan
lainnya, sesuai dengan sunnah dan undang-undang yang mengatur
alam semesta dan tata kehidupan manusia.

Sebab itu pula terdapat berbagai macam hukum dalam berbagai
bab dari fiqih syariah yang berkaitan dengan penyakit, yang
seharusnya diketahui oleh seorang muslim, atau diketahui mana
yang terpenting, supaya dia dapat mengatur hidupnya pada waktu
dia sakit --sebagaimana dia mengaturnya ketika dia sehat--
sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah, jauh dari
apa yang dibenci dan dimurkai-Nya.

Diantara hukum-hukum ini adalah yang berhubungan dengan
pengobatan orang sakit, hukum berobat, siapa yang
melakukannya, bagaimana hubungannya dengan masalah kedokteran,
pengobatan, dan obat itu sendiri, bagaimana bentuk kemurahan
dan keringanan yang diberikan kepada si sakit berkenaan dengan
kewajiban dan ibadahnya, dan bagaimana pula yang berhubungan
dengan perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan.

Misalnya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban si sakit,
serta hak dan kewajiban orang-orang di sekitarnya, seperti
keluarga, sanak kerabat, dan teman-temannya.

Orang yang memperhatikan Al-Qur'anul Karim niscaya ia akan
menjumpai kata al-maradh (penyakit/sakit) dengan kata-kata
bentukannya yang disebutkan sebanyak lima belas kali, sebagian
berhubungan dengan penyakit hati, dan kebanyakan berhubungan
dengan penyakit tubuh. Sebagaimana Al-Qur'an juga menyebutkan
kata-kata syifa' (obat) beserta variasi bentuknya sebanyak
enam kali, yang kebanyakan berhubungan dengan penyakit hati.

Masalah ini juga mendapat perhatian dari para ahli hadits dan
ahli fiqih, sehingga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab
hadits yang disusun menurut bab dan maudhu' (topik)-nya, yang
di antaranya ialah "Kitab ath-Thibb" (obat/pengobatang)1 dan
di antaranya --seperti Shahih al-Bukhari-- terdapat "Kitab
al-Mardha" (orang-orang sakit). Ini berkaitan dengan "Bab
ar-Ruqa" (mantra-mantra/jampi-jampi) jimat, penyakit 'ain,
sihir, dan lain-lainnya. Kemudian ada pula masalah yang
berkaitan dengan penyakit yang dimuat di dalam kitab al-Janaiz
(jenazah).

Dalam kehidupan kita pada zaman modern ini telah timbul
berbagai persoalan dan permasalahan dalam dunia penyakit dan
kedokteran yang belum dikenal oleh para fuqaha kita terdahulu,
bahkan tidak pernah terpikir dalam benak mereka. Karena itu
fiqih modern harus dapat memahaminya dan menjelaskan hukum
syara' yang berkaitan dengannya, sesuai dengan dalil-dalil dan
prinsip-prinsip syariat.

Diantara ketetapan yang sudah disepakati ialah bahwa syariat
menghukumi semua perbuatan orang mukallaf, yang besar ataupun
yang kecil, dan tidak satu pun perbuatan mukallaf yang lepas
dari bingkainya. Karena itu setiap perbuatan mukallaf yang
dilakukan dengan sadar, pasti terkena kepastian hukum dari
lima macam hukumnya, yaitu wajib, mustahab, haram, makruh,
atau mubah.

Pada halaman-halaman berikut ini akan saya kemukakan
hukum-hukum syara' yang terpenting dan pengarahan-pengarahan
Islam yang berhubungan dengan kedokteran (pengobatan),
kesehatan, dan penyakit, dengan mengacu pada nash-nash
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan maksud syariat juga dengan mengambil
sebagian dari perkataan ulama-ulama umat yang mendalam
ilmunya, dengan mengaitkannya dengan kenyataan sekarang. Kita
mohon kepada Allah semoga Dia menjadikannya bermanfaat ...
amin.

MENJENGUK ORANG SAKIT DAN HUKUMNYA

Orang sakit adalah orang yang lemah, yang memerlukan
perlindungan dan sandaran. Perlindungan (pemeliharaan,
penjagaan) atau sandaran itu tidak hanya berupa materiil
sebagaimana anggapan banyak orang, melainkan dalam bentuk
materiil dan spiritual sekaligus.

Karena itulah menjenguk orang sakit termasuk dalam bab
tersebut. Menjenguk si sakit ini memberi perasaan kepadanya
bahwa orang di sekitarnya (yang menjenguknya) menaruh
perhatian kepadanya, cinta kepadanya, menaruh keinginan
kepadanya, dan mengharapkan agar dia segera sembuh.
Faktor-faktor spiritual ini akan memberikan kekuatan dalam
jiwanya untuk melawan serangan penyakit lahiriah. Oleh sebab
itu, menjenguk orang sakit, menanyakan keadaannya, dan
mendoakannya merupakan bagian dari pengobatan menurut
orang-orang yang mengerti. Maka pengobatan tidak seluruhnya
bersifat materiil (kebendaan).

Karena itu, hadits-hadits Nabawi menganjurkan "menjenguk orang
sakit" dengan bermacam-macam metode dan dengan menggunakan
bentuk targhib wat-tarhib (menggemarkan dan menakut-nakuti
yakni menggemarkan orang yang mematuhinya dan menakut-nakuti
orang yang tidak melaksanakannya).

Diriwayatkan di dalam hadits sahih muttafaq 'alaih dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:

"Hak orang muslim atas orang muslim lainnya ada lima:
menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantarkan
jenazahnya, mendatangi undangannya, dan mendoakannya
ketika bersin."2

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari, ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang
sakit, dan tolonglah orang yang kesusahan."3

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari al-Barra' bin Azib, ia
berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan tujuh perkara
... Lalu ia menyebutkan salah satunya adalah menjenguk
orang sakit."4

Apakah perintah dalam hadits di atas dan hadits sebelumnya
menunjukkan kepada hukum wajib ataukah mustahab? Para ulama
berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Imam Bukhari berpendapat bahwa perintah disini menunjukkan
hukum wajib, dan beliau menerjemahkan hal itu di dalam kitab
Shahih-nya dengan mengatakan: "Bab Wujubi 'Iyadatil-Maridh"
(Bab Wajibnya Menjenguk Orang Sakit).

Ibnu Baththal berkata, "Kemungkinan perintah ini menunjukkan
hukum wajib dalam arti wajib kifayah, seperti memberi makan
orang yang lapar dan melepaskan tawanan; dan boleh jadi mandub
(sunnah), untuk menganjurkan menyambung kekeluargaan dan
berkasih sayang."

Ad-Dawudi memastikan hukum yang pertama (yakni fardhu kifayah;
Penj.). Beliau berkata, "Hukumnya adalah fardhu, yang dipikul
oleh sebagian orang tanpa sebagian yang lain."

Jumhur ulama berkata, "Pada asalnya hukumnya mandub (sunnah),
tetapi kadang-kadang bisa menjadi wajib bagi orang tertentu."

Sedangkan ath-Thabari menekankan bahwa menjenguk orang sakit
itu merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkahnya,
disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah
bagi orang selain mereka.

Imam Nawawi mengutip kesepakatan (ijma') ulama tentang tidak
wajibnya, yakni tidak wajib 'ain.5

Menurut zhahir hadits, pendapat yang kuat menurut pandangan
saya ialah fardhu kifayah, artinya jangan sampai tidak ada
seorang pun yang menjenguk si sakit. Dengan demikian, wajib
bagi masyarakat Islam ada yang mewakili mereka untuk
menanyakan keadaan si sakit dan menjenguknya, serta
mendoakannya agar sembuh dan sehat.

Sebagian ahli kebajikan dari kalangan kaum muslim zaman dulu
mengkhususkan sebagian wakaf untuk keperluan ini, demi
memelihara sisi kemanusiaan.

Adapun masyarakat secara umum, maka hukumnya sunnah muakkadah,
dan kadang-kadang bisa meningkat menjadi wajib bagi orang
tertentu yang mempunyai hubungan khusus dan kuat dengan si
sakit. Misalnya, kerabat, semenda, tetangga yang berdampingan
rumahnya, orang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai
hak guru dan kawan akrab, dan lain-lainnya, yang sekiranya
dapat menimbulkan kesan yang macam-macam bagi si sakit
seandainya mereka tidak menjenguknya, atau si sakit merasa
kehilangan terhadap yang bersangkutan (bila tidak
menjenguknya).

Barangkali orang-orang macam inilah yang dimaksud dengan
perkataan haq (hak) dalam hadits: "Hak orang muslim terhadap
muslim lainnya ada lima," karena tidaklah tergambarkan bahwa
seluruh kaum muslim harus menjenguk setiap orang yang sakit.
Maka yang dituntut ialah orang yang memiliki hubungan khusus
dengan si sakit yang menghendaki ditunaikannya hak ini.

Disebutkan dalam Nailul-Authar: "Yang dimaksud dengan sabda
beliau (Rasulullah saw.) 'hak orang muslim' ialah tidak layak
ditinggalkan, dan melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib
atau sunnah muakkadah yang menyerupai wajib. Sedangkan
menggunakan perkataan tersebut --yakni haq (hak)-- dengan
kedua arti di atas termasuk bab menggunakan lafal musytarik
dalam kedua maknanya, karena lafal al-haq itu dapat
dipergunakan dengan arti 'wajib', dan dapat juga dipergunakan
dengan arti 'tetap,' 'lazim,' 'benar,' dan sebagainya."6


KEUTAMAAN DAN PAHALA MENJENGUK ORANG SAKIT

Diantara yang memperkuat kesunnahan menjenguk orang sakit
ialah adanya hadits-hadits yang menerangkan keutamaan dan
pahala orang yang melaksanakannya, misalnya:

1. Hadits Tsauban yang marfu' (dari Nabi saw.):

"Sesungguhnya apabila seorang muslim menjenguk orang
muslim lainnya, maka ia berada di dalam khurfatul
jannah."7

Dalam riwayat lain ditanyakan kepada Rasulullah saw.:

"Wahai Rasulullah, apakah khurfatul jannah itu?" Beliau
menjawab, "Yaitu taman buah surga."

2. Hadits Jabir yang marfu':

"Barangsiapa yang menjenguk orang sakit berarti dia
menyelam dalam rahmat, sehingga ketika dia duduk berarti
dia berhenti disitu (didalam rahmat)."8

3. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa menjenguk orang sakit maka berserulah
seorang penyeru dari langit (malaikat), 'Bagus engkau,
bagus perjalananmu, dan engkau telah mempersiapkan
tempat tinggal di dalam surga."9

4. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada
hari kiamat, 'Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu
tidak menjenguk-Ku.' Orang itu bertanya, 'Oh Tuhan,
bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau adalah
Tuhan bagi alam semesta?' Allah menjawab, 'Apakah kamu
tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi
kamu tidak menjenguknya?Apakah kamu tidak tahu bahwa
seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di
sisinya?' 'Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu,
tetapi tidak kamu beri Aku makan.' Orang itu menjawab,
'Ya Rabbi, bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan
Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?' Allah menjawab,
'Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta
makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan? Apakah kamu
tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya
kamu dapati hal itu di sisiKu?' 'Wahai anak Adam, Aku
minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.'
Orang itu bertanya, 'Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu
minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?'Allah
menjawab, 'Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu,
tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu
bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu
dapati (balasannya) itu di sisi-Ku?"10

5. Diriwayatkan dari Ali r.a., ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda:

"Tiada seorang muslim yang menjenguk orang muslim
lainnya pada pagi hari kecuali ia didoakan oleh tujuh
puluh ribu malaikat hingga sore hari; dan jika ia
menjenguknya pada sore hari maka ia didoakan oleh tujuh
puluh ribu malaikat hingga pagi hari, dan baginya kurma
yang dipetik di taman surga." (HR Tirmidzi, dan beliau
berkata, "Hadits hasan.")11

DISYARIATKAN MENJENGUK SETIAP ORANG SAKIT

Dalam hadits-hadits yang menyuruh dan menggemarkan menjenguk
orang sakit terdapat indikasi yang menunjukkan disyariatkannya
menjenguk setiap orang yang sakit, baik sakitnya berat maupun
ringan.

Imam Baihaqi dan Thabrani secara marfu' meriwayatkan:

"Tiga macam penderita penyakit yang tidak harus dijenguk
yaitu sakit mata, sakit bisul, dan sakit gigi."

Mengenai hadits ini, Imam Baihaqi sendiri membenarkan bahwa
riwayat ini mauquf pada Yahya bin Abi Katsir. Berarti riwayat
hadits ini tidak marfu' sampai Nabi saw., dan tidak ada yang
dapat dijadikan hujjah melainkan yang beliau sabdakan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Mengenai menjenguk orang yang
sakit mata terdapat hadits khusus yang membicarakannya, yaitu
hadits Zaid bin Arqam, dia berkata:

"Rasulullah saw. menjenguk saya karena saya sakit
mata."12

Menjenguk orang sakit itu disyariatkan, baik ia terpelajar
maupun awam, orang kota maupun orang desa, mengerti makna
menjenguk orang sakit maupun tidak.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam "Kitab al-Mardha" dari kitab
Shahih-nya, "Bab 'Iyadatul-A'rab," hadits Ibnu Abbas r.a.
bahwa Nabi saw. pernah menjenguk seorang Arab Badui, lalu
beliau bersabda, "Tidak apa-apa, suci insya Allah." Orang Arab
Badui itu berkata, "Engkau katakan suci? Tidak, ini adalah
penyakit panas yang luar biasa pada seorang tua, yang akan
mengantarkannya ke kubur." Lalu Nabi saw. bersabda, "Oh ya,
kalau begitu."13

Makna perkataan Nabi saw., "Tidak apa-apa, suci insya Allah,"
itu adalah bahwa beliau mengharapkan lenyapnya penyakit dan
kepedihan dari orang Arab Badui itu, sebagaimana beliau
mengharapkan penyakitnya akan menyucikannya dari dosa-dosanya
dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Jika ia sembuh, maka
ia mendapatkan dua macam faedah; dan jika tidak sembuh, maka
dia mendapatkan keuntungan dengan dihapuskannya dosa dan
kesalahannya.

Tetapi orang Badui itu sangat kasar tabiatnya, dia menolak
harapan dan doa Nabi saw., lalu Nabi mentolerirnya dengan
menuruti jalan pikirannya seraya mengatakan, "Oh ya, kalau
begitu." Artinya, jika kamu tidak mau, ya baiklah, terserah
anggapanmu.

Disebutkan juga dalam Fathul-Bari bahwa ad-Daulabi dalam
al-Kuna dan Ibnu Sakan dalam ash-Shahabah meriwayatkan kisah
orang Badui itu, dan dalam riwayat tersebut disebutkan: Lalu
Nabi saw. bersabda, "Apa yang telah diputuskan Allah pasti
terjadi." Kemudian orang Badui itu meninggal dunia.

Diriwayatkan dari al-Mahlab bahwa ia berkata, "Pengertian
hadits ini adalah bahwa tidak ada kekurangannya bagi pemimpin
menjenguk rakyatnya yang sakit, meskipun dia seorang Badui
yang kasar tabiatnya; juga tidak ada kekurangannya bagi orang
yang mengerti menjenguk orang bodoh yang sakit untuk
mengajarinya dan mengingatkannya akan hal-hal yang bermanfaat
baginya, menyuruhnya bersabar agar tidak menggerutu kepada
Allah yang dapat menyebabkan Allah benci kepadanya,
menghiburnya untuk mengurangi penderitaannya, memberinya
harapan akan kesembuhan penyakitnya, dan lain-lain hal untuk
menenangkan hatinya dan hati keluarganya.

Diantara faedah lain hadits itu ialah bahwa seharusnya orang
yang sakit itu menerima nasihat orang lain dan menjawabnya
dengan jawaban yang baik."14

MENJENGUK ANAK KECIL DAN ORANG YANG TIDAK SADAR

Menjenguk orang sakit bukan berarti semata-mata membesarkan
penderita, tetapi hal itu juga merupakan tindakan dan
perbuatan baik kepada keluarganya. Oleh karena itu, tidak
apalah menjenguk anak kecil yang belum mumayyiz (belum bisa
membedakan antara satu hal dengan lainnya) yang jatuh sakit,
karena yang demikian itu akan menyenangkan hati keluarganya
dan menyebabkannya terhibur. Demikian pula dengan menjenguk
orang sakit yang tidak sadarkan diri, karena menjenguknya itu
dapat menyenangkan hati keluarganya dan meringankan beban
mentalnya. Kadang-kadang setelah yang sakit itu sadar dan
diberi kesembuhan oleh Allah, maka keluarganya dapat
menceritakan kepadanya siapa saja yang datang menjenguknya
ketika ia tidak sadar, dan dengan informasi itu dia merasa
senang.

Didalam kitab Shahih al-Bukhari, "Bab 'Iyadatush-Shibyan,"
disebutkan hadits Usamah bin Zaid r.a. bahwa putri Nabi saw.
mengirim utusan kepada beliau --pada waktu itu Usamah sedang
bersama Nabi saw., Sa'ad, dan Ubai-- untuk menyampaikan pesan
yang isinya: "Saya kira anak perempuan saya sudah hampir
meninggal dunia, oleh karena itu hendaklah Ayahanda datang
kepada kami --dalam satu riwayat menggunakan kata-kata:
hendaklah Ayahanda datang kepadanya." Lalu beliau mengirim
utusan kepada putri beliau untuk menyampaikan salam dan pesan
yang isinya: "Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang
diambil-Nya dan apa yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu
bergantung pada ajal yang telah ditentukan di sisiNya, karena
itu hendaklah ia rela dan sabar." Lalu putrinya itu mengirim
utusan lagi sambil bersumpah agar Rasulullah saw. datang
kepadanya. Lalu pergilah Nabi saw. bersama kami ... Kemudian
dibawalah anak yang sakit itu ke pangkuan Rasulullah saw.
dengan nafas yang tersendat-sendat. Maka meneteslah air mata
beliau. Lalu Sa'ad bertanya, "Apakah ini, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab:

"Ini adalah rahmat yang diletakkan Allah di dalam hati
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Dan Allah tidak
memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya kecuali yang
penyayang."15

Diriwayatkan juga dalam Shahih al-Bukhari, "Bab 'Iyadatil
Mughma 'alaihi," hadits Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata,
"Saya pernah jatuh sakit, lalu Rasulullah saw. menjenguk saya
bersama Abu Bakar dengan berjalan kaki. Lalu beliau berdua
mendapati saya dalam keadaan tidak sadar, lantas Nabi saw.
berwudhu, kemudian menuangkan bekas air wudhunya kepada saya,
kemudian saya sadar, ternyata beliau adalah Nabi saw., lalu
saya bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang harus saya lakukan
terhadap harta saya? Bagaimana saya memperlakukan harta saya?
Maka beliau tidak menjawab sedikit pun sehingga turun ayat
tentang waris."16

Ibnul Munir berkata, "Faedah terjemah --maksudnya pemberian
judul bab-- ialah agar tidak dipahami bahwa menjenguk orang
yang tidak sadar itu gugur (tidak perlu) karena yang
bersangkutan tidak mengetahui orang yang menjenguknya."
Al-Hafizh berkata, "Disyariatkannya menjenguk orang sakit
tidak semata-mata bergantung pada tahunya si sakit kepada
orang yang menjenguknya, karena menjenguk orang sakit itu
dapat juga menghibur hati keluarganya, dan diharapkannya
berkah doa orang yang menjenguk, usapan dan belaian tangannya
ke tubuh si sakit, tiupannya ketika memohon perlindungan, dan
lain-lainnya."17


WANITA MENJENGUK LAKI-LAKI YANG SAKIT

Disyariatkannya menjenguk orang sakit meliputi penjengukan
wanita kepada laki-laki, meskipun bukan muhrimnya, dan
laki-laki kepada wanita.

Diantara bab-bab dalam Shahih al-Bukhari pada "Kitab
al-Mardha" terdapat judul "Bab 'Iyadatin-Nisa' ar-Rijal" (Bab
Wanita Menjenguk Laki-laki). Dalam hal ini beliau
meriwayatkan suatu hadits secara mu'allaq (tanpa menyebutkan
rentetan perawinya): Bahwa Ummu Darda' pernah menjenguk
seorang laki-laki Anshar dari ahli masjid. Tetapi Imam Bukhari
memaushulkan (meriwayatkan secara bersambung sanadnya) didalam
al-Adabul-Mufrad dari jalan al-Harits bin Ubaid, ia berkata:

"Saya melihat Ummu Darda' di atas kendaraannya yang ada
tiangnya tetapi tidak bertutup, mengunjungi
seoranglaki-laki Anshar di masjid."18

Bukhari juga meriwayatkan hadits Aisyah r.a., ia berkata:

"Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, Abu Bakar dan
Bilal r.a. jatuh sakit, lalu aku datang menjenguk
mereka, seraya berkata, Wahai Ayahanda, bagaimana
keadaanmu? Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?" Aisyah
berkata, "Abu Bakar apabila terserang penyakit panas,
beliau berkata: 'Semua orang berada di tengah
keluarganya, sedang kematian itu lebih dekat daripada
tali sandalnya.' Dan Bilal apabila telah hilang
demamnya, ia berkata:

'Wahai, merinding bulu romaku
Apakah aku akan bermalam di suatu lembah
Yang dikelilingi rumput-rumput idzkhir dan jalil
Apakah pada suatu hari aku menginginkan air Majnah
Apakah mereka akan menampakkan kebagusan dan kekeruhanku?"

Aisyah berkata, "Lalu aku datang kepada Rasulullah saw.
memberitahukan hal itu, lantas beliau berdoa, Ya Allah,
jadikanlah kami mencintai Madinah seperti kami mencintai Mekah
atau melebihinya."19

Yang menjadi dalil kebolehan wanita menjenguk laki-laki dalam
hadits tersebut ialah masuknya Aisyah menjenguk ayahnya dan
menjenguk Bilal, serta perkataannya kepada masing-masing
mereka, "Bagaimana engkau dapati dirimu?" Yang dalam bahasa
kita sekarang sering kita ucapkan: "Bagaimana kesehatanmu?
Bagaimana keadaanmu?" Padahal Bilal ini bukan mahram bagi
Aisyah Ummul Mukminin.

Tetapi suatu hal yang tidak diragukan ialah bahwa menjenguknya
itu terikat dengan syarat-syarat tertentu yang telah
ditetapkan syara', bersopan santun sebagai muslimah dalam
berjalan, gerak-gerik, memandang, berbicara, tidak berduaan
antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang
lain, aman dari fitnah, diizinkan oleh suami bagi yang
bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami.

Dalam hal ini, janganlah suami atau wali melarang istri atau
putrinya menjenguk orang yang punya hak untuk dijenguk
olehnya, seperti kerabatnya yang bukan muhrim, atau besan
(semenda), atau gurunya, atau suami kerabatnya, atau ayah
kerabatnya, dan sebagainya dengan syarat-syarat seperti yang
telah disebutkan di atas.


LAKI-LAKI MENJENGUK PEREMPUAN YANG SAKIT

Sebagaimana terdapat beberapa hadits yang memperbolehkan
perempuan menjenguk laki-laki dengan syarat-syaratnya, jika
diantara mereka terjalin hubungan, dan laki-laki itu punya hak
terhadap wanita tersebut, maka laki-laki juga disyariatkan
untuk menjenguk wanita dengan syarat-syarat yang sama. Hal ini
jika diantara mereka terjalin hubungan yang kokoh, seperti
hubungan kekerabatan atau persemendaan, tetangga, atau
hubungan-hubungan lain yang menjadikan mereka memiliki hak
kemasyarakatan yang lebih banyak daripada orang lain.

Diantara dalilnya ialah keumuman hadits-hadits yang
menganjurkan menjenguk orang sakit, yang tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan.

Sedangkan diantara dalil khususnya ialah yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Jabir bin Abdullah
r.a.:

"Bahwa Rasulullah saw. pernah menjenguk Ummu Saib --atau
Ummul Musayyib-- lalu beliau bertanya, 'Wahai Ummus
Saib, mengapa engkau menggigil?' Dia menjawab, 'Demam,
mudah-mudahan Allah tidak memberkatinya.' Beliau
bersabda, 'Janganlah engkau memaki-maki demam, karena
dia dapat menghilangkan dosa-dosa anak Adam seperti
ububan (alat pengembus api pada tungku pandai besi)
menghilangkan karat besi.'"20

Padahal, Ummus Saib tidak termasuk salah seorang mahram Nabi
saw. Meskipun begitu, dalam hal ini harus dijaga syarat-syarat
yang ditetapkan syara', seperti aman dari fitnah dan
memelihara adab-adab yang sudah biasa berlaku (dan tidak
bertentangan dengan prinsip Islam; Penj.), karena adat
kebiasaan itu diperhitungkan oleh syara'.


MENJENGUK ORANG NON-MUSLIM

Dijadikannya menjenguk orang sebagai hak seorang muslim
terhadap muslim lainnya, sebagaimana disebutkan dalam
hadits-hadits itu, tidak berarti bahwa orang sakit yang
nonmuslim tidak boleh dijenguk. Sebab menjenguk orang sakit
itu, apa pun jenisnya, warna kulitnya, agamanya, atau
negaranya, adalah amal kemanusiaan yang oleh Islam dinilai
sebagai ibadah dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah).

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Nabi saw. menjenguk
anak Yahudi yang biasa melayani beliau ketika beliau sakit.
Maka Nabi saw. menjenguknya dan menawarkan Islam kepadanya,
lalu anak itu memandang ayahnya, lantas si ayah berisyarat
agar dia mengikuti Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.; Penj.),
lalu dia masuk Islam sebelum meninggal dunia, kemudian Nabi
saw. bersabda:

"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menyelamatkannya
dari neraka melalui aku." (HR Bukhari)

Hal ini menjadi semakin kuat apabila orang nonmuslim itu
mempunyai hak terhadap orang muslim seperti hak tetangga,
kawan, kerabat, semenda, atau lainnya.

Hadits-hadits yang telah disebutkan hanya untuk memperkokoh
hak orang muslim (bukan membatasi) karena adanya hak-hak yang
diwajibkan oleh ikatan keagamaan. Apabila si muslim itu
tetangganya, maka ia mempunyai dua hak: hak Islam dan hak
tetangga. Sedangkan jika yang bersangkutan masih kerabat, maka
dia mempunyai tiga hak, yaitu hak Islam, hak tetangga, dan hak
kerabat. Begitulah seterusnya.

Imam Bukhari membuat satu bab tersendiri mengenai "Menjenguk
Orang Musyrik" dan dalam bab itu disebutkannya hadits Anas
mengenai anak Yahudi yang dijenguk oleh Nabi saw. dan kemudian
diajaknya masuk Islam, lalu dia masuk Islam, sebagaimana saya
nukilkan tadi.

Beliau juga menyebutkan hadits Sa'id bin al-Musayyab dari
ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi
saw. datang kepadanya.21

Diriwayatkan juga dalam Fathul-Bari dari Ibnu Baththal bahwa
menjenguk orang nonmuslim itu disyariatkan apabila dapat
diharapkan dia akan masuk Islam, tetapi jika tidak ada harapan
untuk itu maka tidak disyariatkan.

Al-Hafizh berkata, "Tampaknya hal itu berbeda-beda hukumnya
sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang menjenguknya juga untuk
kemaslahatan lain."

Al-Mawardi berkata, "Menjenguk orang dzimmi (nonmuslim yang
tunduk pada pemerintahan Islam) itu boleh, dan nilai qurbah
(pendekatan diri kepada Allah) itu tergantung pada jenis
penghormatan yang diberikan, karena tetangga atau karena
kerabat."22

MENJENGUK AHLI MAKSIAT

Apabila menjenguk orang nonmuslim itu dibenarkan syariat,
bahkan kadang-kadang bernilai qurbah dan ibadah, maka lebih
utama pula disyariatkan menjenguk sesama muslim yang ahli
maksiat. Sebab, hadits-hadits yang menyuruh menjenguk orang
sakit dan menjadikannya hak orang muslim terhadap muslim
lainnya, tidak mengkhususkan untuk ahli taat dan kebajikan
saja tanpa yang lain, meskipun hak mereka lebih kuat.

Imam al-Baghawi mengatakan didalam Syarhus- Sunnah, setelah
menerangkan hadits Abu Hurairah mengenai enam macam hak
seorang muslim terhadap muslim lainnya dan hadits al-Barra'
bin Azib mengenai tujuh macam perkara yang diperintahkan,
"Semua yang diperintahkan ini termasuk hak Islam, yang seluruh
kaum muslim sama kedudukannya terhadapnya, yang taat ataupun
yang durjana. Hanya saja untuk orang yang taat perlu disikapi
dengan wajah yang ceria, ditanya keadaannya, dan diajak
berjabat tangan, sedangkan orang yang durjana yang secara
terang-terangan menampakkan kedurjanaannya tidak perlu
diperlakukan seperti itu."23

Dalam hal ini, sebagian ulama mengecualikan ahli-ahli bid'ah,
bahwa mereka tidak perlu dijenguk untuk menampakkan rasa
kebencian mereka karena Allah.

Tetapi, menurut pentarjihan saya, bahwa bid'ah atau
kemaksiatan mereka tidaklah mengeluarkan mereka dari daerah
Islam dan tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan hak
sebagai seorang muslim atas muslim lainnya. Dan menjenguk
mereka yang tanpa diduga-duga sebelumnya itu --lebih-lebih
oleh seorang muslim yang saleh, orang alim, atau juru dakwah--
dapat menjadi duta kebaikan dan utusan kebenaran kepada hati
mereka, sehingga hati mereka terbuka untuk menerima kebenaran
dan mendengarkan tutur kata yang bagus, karena manusia adalah
tawanan kebaikan. Sebagaimana Islam mensyariatkan agar
menjinakkan hati orang lain dengan harta, maka tidaklah
mengherankan jika Islam juga menyuruh menjinakkan hati orang
lain dengan kebajikan, kelemahlembutan, dan pergaulan yang
baik. Hal ini pernah dicoba oleh juru-juru dakwah yang benar,
lalu Allah membuka hati banyak orang yang selama ini tertutup.

Para ulama mengatakan, "Disunnahkan menjenguk orang sakit
secara umum, teman atau lawan, orang yang dikenalnya atau yang
tidak dikenalnya, mengingat keumuman hadits."24

BERAPA KALI MENJENGUK ORANG SAKIT?

Apabila menjenguk orang sakit itu wajib atau sunnah bagi
keluarganya, tetangganya, dan teman-temannya, maka sebaiknya
berapa kalikah hal itu dilakukan? Dan berapa lama waktu
menjenguk itu?

Dalam hal ini, saya yakin bahwa hal itu diserahkan kepada
kebiasaan, kondisi penjenguk, kondisi si sakit, dan seberapa
jauhnya hubungan yang bersangkutan dengan si sakit.

Orang yang lama jatuh sakit, maka dia dijenguk dari waktu ke
waktu, dalam hal ini tidak terdapat batas waktu yang tertentu.

Sebagian ulama mengatakan, "Hendaknya menjenguk orang sakit
itu dilakukan secara berkala, jangan setiap hari, kecuali bagi
yang sudah terbiasa." Sebagian lagi mengatakan, "Seminggu
sekali."

Imam Nawawi mengomentari hal ini sebagai berikut:

"Ini bagi orang lain. Adapun bagi kerabat si sakit atau
teman-temannya dan lainnya, yang kedatangannya
menenangkan dan menggembirakan hati si sakit, atau
menjadikan si sakit rindu kepadanya jika tidak
melihatnya setiap hari, maka hendaklah orang itu selalu
menjenguknya asalkan tidak dilarang, atau ia tahu bahwa
si sakit sudah tidak menyukai hal itu.

Selain itu, tidak disukai duduk berlama-lama ketika menjenguk
orang sakit, karena hal demikian dapat menyebabkan si sakit
merasa jenuh, merasa repot, dan merasa kurang bebas untuk
berbuat sesuatu."25

Namun begitu, hal ini tidak berlaku bagi setiap pengunjung,
karena ada kalanya si sakit menyukai orang-orang tertentu
untuk berlama-lama berada di sisinya --khususnya bagi orang
yang telah lama sakit-- dan kunjungan orang tersebut
menyenangkan dan meringankannya, apalagi jika si sakit itu
sendiri yang memintanya.

Al-Hafizh berkata, "Adab menjenguk orang sakit ada sepuluh, di
antaranya ada yang tidak khusus untuk menjenguk orang sakit;

1. Jangan meminta izin masuk dari depan pintu
(tengah-tengah).

2. Jangan mengetuk pintu terlalu pelan.

3. Jangan menyebutkan identitas diri secara tidak jelas,
misalnya dengan mengatakan "saya," tanpa menyebut
namanya.

4. Jangan berkunjung pada waktu yang tidak layak untuk
berkunjung, seperti pada waktu si sakit minum obat, atau
waktu mengganti pembalut luka, waktu tidur, atau waktu
istirahat.

5. Jangan terlalu lama (kecuali bagi orang yang
mempunyai hubungan khusus dengan si sakit seperti yang
saya sebutkan di atas).

6. Menundukkan pandangan (apabila di tempat itu terdapat
wanita yang bukan mahramnya).

7. Jangan banyak bertanya, dan hendaklah menampakkan
rasa belas kasihan.

8. Mendoakannya dengan ikhlas.

9. Menimbulkan optimisme kepada si sakit.

10. Menganjurkannya berlaku sabar, karena sabar itu
besar pahalanya, dan melarangnya berkeluh kesah, karena
berkeluh-kesah itu dosa."26

Sebagian adab-adab tersebut akan dijelaskan lebih lanjut.

Cara menjenguk orang sakit yang jauh tempatnya --yang memang
mempunyai hak untuk dijenguk-- ialah dengan menanyakan
keadaannya melalui telepon, bagi orang yang punya pesawat
telepon, maupun lewat telegram atau surat. Lebih-lebih jika si
sakit baru saja menjalani operasi dengan selamat.

Saya masih ingat ketika saya ditakdirkan menjalani operasi
tulang- rawan di Bonn, Jerman, pada musim panas tahun 1985,
dan ketika saya melewati masa perawatan sebagaimana biasanya,
betapa telepon selalu berdering dari saudara-saudara di
Dauhah, Kairo, Eropa, dan Amerika, yang menanyakan keadaan
saya dan mendoakan saya. Hal ini ternyata mempunyai pengaruh
yang baik dalam hati saya, meringankan penderitaan, dan
mempercepat kesembuhan.


MENDOAKAN SI SAKIT

Cara seorang muslim menjenguk saudaranya yang sakit berbeda
dengan cara yang dilakukan orang lain (selain Islam), karena
disertai dengan jampi dan doa. Maka diantara sunnahnya ialah
si penjenguk mendoakan si sakit dan menjampinya (membacakan
bacaan-bacaan tertentu) yang ada riwayatnya dari Rasulullah
saw..

Imam Bukhari menulis "Bab Du'a al-'Aa'id lil-Maridh" (Bab Doa
Pengunjung untuk Orang Sakit), dan menyebutkan hadits Aisyah
r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menjenguk orang sakit atau
si sakit yang dibawa kepada beliau, beliau mengucapkan:

"Hilangkanlah penyakit ini, wahai Tuhan bagi manusia,
sembuhkanlah, Engkau adalah Maha Penyembuh. Tidak ada
kesembuhan selain kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit."27

Dan Nabi saw. pernah menjenguk Sa'ad bin Abi Waqash kemudian
mendoakannya:

"Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah
hijrahnya."28

Ada suatu keanehan sebagaimana dikemukakan dalam al-Fath
(Fathul-Bari), yaitu adanya sebagian orang yang menganggap
musykil mendoakan kesembuhan si sakit. Mereka beralasan bahwa
sakit dapat menghapuskan dosa dan mendatangkan pahala,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Maka terhadap
kemusykilan ini al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan jawaban
demikian, "Sesungguhnya doa itu adalah ibadah, dan tidaklah
saling meniadakan antara pahala dan kafarat, sebab keduanya
diperoleh pada permulaan sakit dan dengan sikap sabar
terhadapnya. Adapun orangyang mendoakan akan mendapat dua
macam kebaikan, yaitu mungkin berhasil apa yang dimaksud
--atau diganti dengan mendapatkan kemanfaatan lain-- atau
ditolaknya suatu bahaya, dan semua itu merupakan karunia Allah
Ta'ala."29

Memang, seorang muslim harus bersabar ketika menderita sakit
atau ditimpa musibah, tetapi hendaklah ia meminta keselamatan
kepada Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Janganlah kamu mengharapkan bertemu musuh, dan mintalah
keselamatan kepada Allah. Tetapi apabila kamu bertemu
musuh, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwasanya surga
itu di bawah bayang-bayang pedang."30

Di dalam hadits lain beliau bersabda:

"Mintalah ampunan dan keselamatan kepada Allah, sebab
tidaklah seseorang diberi sesuatu setelah keyakinan,
yang lebih baik daripada keselamatan."31

Juga dalam hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersabda:

"Perbanyaklah berdoa memohon keselamatan."32

Salah satu doa beliau saw. adalah:

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu penjagaan dari yang
terlarang dan keselamatan dalam urusan dunia dan agamaku,
keluarga dan hartaku."33

Di antara doa yang ma'tsur lainnya ialah yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Apabila seseorang menjenguk orang sakit, maka hendaklah
ia mendoakannya dengan mengucapkan, "Ya Allah,
sembuhkanlah hamba-Mu, agar dia dapat membunuh musuh-Mu,
atau berjalan kepada-Mu untuk melakukan shalat."34

Artinya, dalam kesembuhan orang mukmin itu terdapat kebaikan
untuk dirinya dengan dapatnya ia melaksanakan shalat, atau
kebaikan untuk umatnya karena mampu menunaikan jihad.

Sedangkan yang dimaksud dengan "musuh" di sini mungkin
orang-orang kafir yang memerangi umat Islam, atau iblis dan
tentaranya. Maka dengan kesehatannya seorang muslim dapat
menumpas mereka dengan serangan-serangannya, dan dapat
mematahkan argumentasi mereka dengan hujjah yang dapat
dipercaya.35

Selain itu, ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:

"Barangsiapa yang menjenguk orang sakit yang belum tiba
ajalnya, lalu ia mengucapkan doa ini disampingnya
sebanyak tujuh kali: (Aku mohon kepada Allah Yang Maha
Agung Tuhan bagõ 'arsy yang agung, semoga la berkenan
menyembuhkanmu), niscaya Allah akan menyembuhkannya dari
penyakit tersebut."36



BARANG SIAPA YANG SENANG UNTUK BERTEMU DENGAN ALLAH MAKA ALLAH SENANG UNTUK BERTEMU DENGANNYA

bersabda : "Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang untuk bertemu dengan-Nya, apabila ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Ubaidah bin Ash Shamit ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah senang untuk bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan-Nya (Allah), maka Allah benci untuk bertemu dengannya". Aisyah atau sebagian isteri beliau berkata : "Sesungguhnya kami tidak senang kematian". Beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi seorang Mu'min apabila kedatangan maut (mati) diberi khabar gembira dengan keridhaan dan kemurahan Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih disukai dari pada apa yang dihadapinya, maka ia senang bertemu dengan Allah dan Allah senang bertemu dengannya. Dan sesungguhnya orang-orang katir, apabila kedatangan maut diberi khabar gembira dengan azab dan siksaan Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih dibenci dari pada apa yang dihadapinya. Ia tidak senang bertemu dengan Allah dan Allah tidak senang bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannva, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya . Sedang mati adalah sebelum bertemu dengan Allah". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya. Saya berkata : "Wahai Nabi Allah, apakah benci mati itu ? "Masing-masing dari kami membenci mati". Beliau bersabda : "Bukanlah demikian, tetapi orang Mu'min apabila diberi khabar gembira dengan rahmat dan keridhaan Allah serta surga-Nya, maka ia senang bertemu dengan Allah, dan A'lah senang bertemu dengannya, dan sesungguhnya orang kafir apabila diberi khabar gembira dengan siksa Allah dan kemurkaan-Nya, maka ia benci bertemu dengan Allah dan Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". Syuraih berkata : Saya datang kepada Aisyah ra. saya berkata : "Wahai Ummul Mu'minin, saya mendengar Abu Hurairah menyebutkan sebuah hadits dari Rasulullah saw., jika demikian, kami telah binasa". Aisyah berkata : "Sesungguhnya orang yang binasa adalah orang yang binasa dengan sabda Rasulullah saw Apakah itu ?". Ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya. Tidak seorang pun diantara kami melainkan ia benci kematian". Aisyah bekata : Rasulullah saw telah menyabadakannya ; Bukan seperti pendapatmu tetapi apabila penglihatan telah membalik, dada telah kembang kempis, kulit telah menggigil, dan jari-jari telah menggenggam, ketika itulah .... "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



%%%%%%%%%%%%%%

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang bertemu dengan-Nya, dan jika ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Malik).

BELAS KASIH DAN DO'A NABI BAGI UMAT BELIAU

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya Nabi saw membaca firman Allah tentang Ibrahim saw. :

"RABBI INNAHUNNA ADL-LALNA KATSIRAN MINAN NAASI FAMAN TABIANII FA INNAHU MINNI"

(Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan Ku). (Ibrahim : 36).

Dan 'Isa saw berkata :

“IN TU’ADZDZIBHUM FA INNAHUM IBAADUKA WA IN TAGHFIR LAHUM FA INNAKA ANTAL ‘AZIIZUL HAKIIM"

(Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana). (Al Maidah : 118).

Beliau mengangkat kedua tangan seraya bersabda : "Wahai Umatku, ... umatku", dan beliau menangis, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad - sedang Tuhanmu lebih mengetahui - tanyalah kepadanya : "Apakah yang menyebabkan kamu menangis ?". Jibril as datang kepada beliau lalu bertanya kepada beliau, maka utusan Allah itu memberitahukan kepadaNya akan apa yang disabdakan beliau, - padahal Allah lebih mengetahui, - lalu Allah Ta'ala berfirman kepada Jibril : "Pergilah kepada Muhammad dan katakan : "Sesungguhnya Kami akan ridha terhadap umatmu dan Kami tidak berbuat buruk kepadamu". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Tsauban, ia berkata : Rasulullah saw: bersabda : "Sesungguhnya Allah memperlihatkan bumi kepadaku, lalu aku melihat timur dan baratnya, dan sungguh kerajaan umatku akan sampai kepada bumi yang ditampakkan kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan yaitu merah dar putih. Sungguh aku mohon kepada Tuhanku bagi umatku agar tidak dihancurkan dengan tahun yang umum, dan tidak dikuasai oleh musuh selain diri mereka sendiri, lalu ia memusnahkan golongan mereka". Sesungguhnya Tuhanku berfirman : "Wahai Muhammad, sesungguhnya apabila saya menetapkan suatu ketetapan maka ketetapan itu tidaklah tertolak. Dan sesungguhnya Aku memberi kamu akan umatmu tidak Aku hancurkan dengan tahun yang umum, dan Aku tidak menguasakan musuh atas mereka selain diri mereka sendiri yang memusnahkan golongan mereka, walaupun berkumpul atas mereka dari seluruh penjuru" - atau Dia berfirman : "Dari seluruh penjuru bumi - sehingga sebagian dari mereka menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian dari mereka menawan terhadap sebagian yang lain". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).

MENGENAL TOKOH IMAM SYAFI'I ( Masa Tabiun Tabi'in)

Nama Dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga

Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.

Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Gelarnya

Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

Tempat Kelahirannya

Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.

Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”

Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu

Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.

Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.

Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.

Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya

Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.

Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.

Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.

Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.

Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.

Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).

Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.

Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

Aqidahnya

Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.

Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

Sya’ir-Sya’irnya

Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”

Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.

Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?


- Sya’ir Akhaq

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang


Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya

Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.

Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”

Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”

Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”

Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”

Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.

Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.

Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.

Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan


REFERENSI:

- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i