Cinta Tertinggi, Cita Tertinggi, Tujuan Tertinggi dalam DERAP KEHIDUPAN

"...Berdoalah dengan memanggil Nama-nama baik-Ku"

LEARNING BY PRAYING, LEARNING BY DOING, LEARNING TO LIFE TOGETHER AND LEARNING TO BE

SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU AMANAH JUWIRING KLATEN

PENDAHULUAN

Pendidikan Sains Tehnologi yang berbasic Ketaqwaan dengan pengembangan diri, menggali potensi siswa, sehingga muncul kepribadian dari dirinya akan pentingnya Aqidah dalam era Global, Tantangan zaman dan Tuntutan Kemampuan sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak dapat dihindari. Karena pendidikan anak merupakan dasar pertama untuk pengembangan selanjutnya.

Sehingga pendidikan saat ini harus berkualitas, seimbang. Seimbang antara teori dan praktek sehingga ilmu yang telah dipelajari sebagai teori diupayakan untuk dilatih sejak dini untuk dipraktekkan. Selain itu cakupan pendidikan harus menyeluruh antar pendidikan akal (kognitif),hati (afektif),praktek (psikomotorik), sebab ketiganya merupakan bekal utama setiap manusia untuk menjalani hidup dan menghadapi segala masalah kehidupan

Latar Belakang

Yayasan Baitul Maal Amanah sebagai sebuah yayasan yang bergerak langsung ditengah masyarakat untuk membangun dan memberdayakan ummat, khususnya di Juwiring dan wilayah sekitar pada umumnya, dapat merasakan kebutuhan ummat terhadap pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat umum. Berpedoman kepada keyakinan terhadap Allah SWT maka Yayasan Baitul Maal Amanah membuka program pendidikan formal tingkat dasar yang di beri nama SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) AMANAH. Setelah sebelumnya mendirikan pendidikan prasekolah yang berupa Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT) AMANAH. Sekolah Islam Terpadu Amanah ini diharapkan dapat memenuhi dan menjawab kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualias, seimbang, mencakup dan terjangkau.

Alhamdulillah pada tahun ajaran 2009/2010 Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah telah memasuki tahun ke enam dengan tanggapan masyarakat yang terus meningkat, mohon doanya ini akan mengeluarkan alumni pertama, semoga sukses AMANAH yang tercinta


Nama dan Kedudukan

Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah berkedudukan di Tegalan, Bolopleret, Juwiring, Klaten

Jawa Tengah 57472

Kurikulum

Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah merupakan gabungan dari tiga kurikulum yang saling melengkapi

  1. Kurikulum pendidikan umum dasar dari Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
  2. Kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.
  3. Muatan local yang mencakup mata pelajaran penunjang pemantapan agama dan peningkatan keterampilan hidup.

Ekstrakurikuler

  1. Leadership : Kemampuan dalam memimpin dirinya dan sekitarnya dengan Muhadoroh (latihan pidato) bahasa Inggris, Arab, Indonesia dan Bahasa Jawa,Kepramukaan.
  2. Dokter Kecil mengenal tentang kesehatan diri dan lingkungan.
  3. Sanggar Kreatifitas, pengembangan minat bakat (Drama, melukis, seni kaligrafi).
  4. OFTA (Out Tracking Fun Adventure) aktifitas luar dalam mengeksplorasi kemampuan psikomotorik siswa.
  5. Dasar Tehnologi : Sempoa sebagai dasar hitung menghitung dan computer dasar tehnologi pada kelas 3.
  6. Lifeskill kemampuan mengenal dirinya, kemudian menumbuhkan kemandirian dalam kehidupan.

Tujuan

  1. Mampu mempelajari, memahami, menafsirkan serta mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al Hadits sebagai dasar terpenting pada Aqidah, Ibadah dan Akhlaq.
  2. Mempunyai motivasi diri lebih mengembangkan diri untuk kreatif dan prestasi.
  3. Mengenal Bahasa Asing (Arab dan Inggris)

Biaya Pendidikan

Biaya Pendidikan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah sangat terjangkau oleh masyarakat pada umumnya karena hanya terdiri dari uang pendaftaran dan uang administrasi wajib pada saat masuk serta uang SPP tiap bulan yang relatif ringan. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah tidak memberlakukan biaya daftar ulang, sehingga setelah masuk tahun pertama biaya sekolah akan terasa ringan. Bagi anak yatim di berlakukan pembiayaan khusus.

Tenaga Pendidik

Tenaga Pendidik di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah terdiri dari guru-guru yang semuanya lulusan dari perguruan tinggi negeri dan swasta sehingga InsyaAllah menguasai bidang pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Senin, 20 April 2009

BAGAIMANA BANK SUSU (2)

Saya  kutipkan  di  sini  beberapa poin dari perkataan beliau,
karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata:

"Adapun sifat penyusuan yang mengharamkan (perkawinan)
hanyalah yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang
menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum
susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan
ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau
dicampur dengan makanan lain, dituangkan kedalam mulut,
hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang
demikian itu sama sekali tidak mengharamkan (perkawinan),
meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.

Alasannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: 'Dan ibu-ibumu
yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ...'
(an-Nisa':23)

Dan sabda Rasulullah saw.:

"Haram karena susuan apa yang haram karena nasab."

Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan
nikah kecuali karena irdha' (menyusui), kecuali jika wanita
itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan
(dalam qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang
berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha
(menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek
wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya.
Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a
- yardha'u/yardhi'u radha'an/ridha'an wa
radha'atan/ridha'atan. Adapun selain cara seperti itu,
sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak
dinamakan irdha', radha'ah, dan radha', melainkan hanya air
susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan,
menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa
Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang
disebabkan hal-hal seperti ini.

Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai
hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata, 'Memasukkan air susu
perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan
(antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya
tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak
diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat,
karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu
ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat
al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman
--yakni Daud, imam Ahli Zhahir-- dan sahabat-sahabat kami,
yakni Ahli Zhahir."'

Sedangkan pada waktu menyanggah orang-orang yang berdalil
dengan hadits: "Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah karena
lapar," Ibnu Hazm berkata:

"Sesungguhnya hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi
saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan penyusuan yang
berfungsi untuk menghilangkan kelaparan, dan beliau tidak
mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu tidak
ada pengharaman (perkawinan) karena cara-cara lain untuk
menghilangkan kelaparan, seperti dengan makan, minum,
menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan
jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari tetek
dengan mulut dan menelannya), sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah saw. (firman Allah):

"... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah:
229)2

Dengan demikian, saya melihat bahwa pendapat yang
menenteramkan hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir
nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha' (menyusui)
dan radha'/ridha' (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah
pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan
yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan
rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan
kekerabatan-kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa
tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui
bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut
--bukan menghisap dari tetek-- dan menelannya), sebagaimana
yang dikemukakan oleh para fuqaha.

Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan
penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang
menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak
mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum)
oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak
tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali
susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits
dan dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan daging, dan
mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan
Hambali?

Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air
susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut
mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf,
bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air
susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang
dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak
dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.

Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan
tidaklah menyebabkan pengharaman.

Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:

"Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau
mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah
sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan
pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita
tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan
sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi
keraguan tentang adanya talak dan bilangannya."3

Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu
kitab mazhab Hanafi, disebutkan:

"Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya kedalam
mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya
masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu
tidak mengharamkan pernikahan.

Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa
penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu,
lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung
(desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena
kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat
dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.

Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak
kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka
hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap
hati-hati."4

Tidaklah samar, bahwa apa yang terjadi dalam persoalan kita
ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita terima
bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah
karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya
tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang
tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.

Arahan yang perlu dikukuhkan menurut pandangan saya dalam
masalah penyusuan ini ialah mempersempit pengharaman seperti
mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan kedua
masalah ini juga ada pendukungnya.

Khulashah

Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam
"bank susu" selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat
syar'iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi
kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para
fuqaha yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan
dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di
atas.

Kadang-kadang ada orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak
mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan
pendapat, padahal mengambil sikap hati-hati itu lebih
terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?"

Saya jawab, bahwa apabila seseorang melakukan sesuatu untuk
dirinya sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang
lebih hati-hati dan lebih wara' (lebih jauh dari syubhat),
bahkan lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang
tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang
terlarang.

Akan tetapi, apabila masalah itu bersangkut paut dengan
masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang lebih utama
bagi ahli fatwa ialah memberi kemudahan, bukan memberi
kesulitan, tanpa melampaui nash yang teguh dan kaidah yang
telah mantap.

Karena itu, menjadikan pemerataan ujian sebagai upaya
meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan karena
kasihan kepada mereka. Jikalau kita bandingkan dengan
masyarakat kita sekarang khususnya, maka masyarakat sekarang
ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.

Hanya saja yang perlu diingat disini, bahwa memberikan
pengarahan dalam segala hal untuk mengambil yang lebih
hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah
lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita menjadikan
hukum-hukum agama itu sebagai himpunan "kehati-hatian" dan
jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat
berpijaknya agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda:

"Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.
"(HR al-Kharaithi)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan,
tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi)

Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini
ialah pertengahan dan seimbang antara golongan yang
memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan:

"Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat
yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143)

Allah memfirmankan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi
petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:

1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk
mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.).

2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11.

3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.

4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120;
dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him.
2-3.

Tidak ada komentar:

BARANG SIAPA YANG SENANG UNTUK BERTEMU DENGAN ALLAH MAKA ALLAH SENANG UNTUK BERTEMU DENGANNYA

bersabda : "Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang untuk bertemu dengan-Nya, apabila ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Ubaidah bin Ash Shamit ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah senang untuk bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan-Nya (Allah), maka Allah benci untuk bertemu dengannya". Aisyah atau sebagian isteri beliau berkata : "Sesungguhnya kami tidak senang kematian". Beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi seorang Mu'min apabila kedatangan maut (mati) diberi khabar gembira dengan keridhaan dan kemurahan Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih disukai dari pada apa yang dihadapinya, maka ia senang bertemu dengan Allah dan Allah senang bertemu dengannya. Dan sesungguhnya orang-orang katir, apabila kedatangan maut diberi khabar gembira dengan azab dan siksaan Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih dibenci dari pada apa yang dihadapinya. Ia tidak senang bertemu dengan Allah dan Allah tidak senang bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannva, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya . Sedang mati adalah sebelum bertemu dengan Allah". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya. Saya berkata : "Wahai Nabi Allah, apakah benci mati itu ? "Masing-masing dari kami membenci mati". Beliau bersabda : "Bukanlah demikian, tetapi orang Mu'min apabila diberi khabar gembira dengan rahmat dan keridhaan Allah serta surga-Nya, maka ia senang bertemu dengan Allah, dan A'lah senang bertemu dengannya, dan sesungguhnya orang kafir apabila diberi khabar gembira dengan siksa Allah dan kemurkaan-Nya, maka ia benci bertemu dengan Allah dan Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". Syuraih berkata : Saya datang kepada Aisyah ra. saya berkata : "Wahai Ummul Mu'minin, saya mendengar Abu Hurairah menyebutkan sebuah hadits dari Rasulullah saw., jika demikian, kami telah binasa". Aisyah berkata : "Sesungguhnya orang yang binasa adalah orang yang binasa dengan sabda Rasulullah saw Apakah itu ?". Ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya. Tidak seorang pun diantara kami melainkan ia benci kematian". Aisyah bekata : Rasulullah saw telah menyabadakannya ; Bukan seperti pendapatmu tetapi apabila penglihatan telah membalik, dada telah kembang kempis, kulit telah menggigil, dan jari-jari telah menggenggam, ketika itulah .... "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



%%%%%%%%%%%%%%

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang bertemu dengan-Nya, dan jika ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Malik).

BELAS KASIH DAN DO'A NABI BAGI UMAT BELIAU

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya Nabi saw membaca firman Allah tentang Ibrahim saw. :

"RABBI INNAHUNNA ADL-LALNA KATSIRAN MINAN NAASI FAMAN TABIANII FA INNAHU MINNI"

(Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan Ku). (Ibrahim : 36).

Dan 'Isa saw berkata :

“IN TU’ADZDZIBHUM FA INNAHUM IBAADUKA WA IN TAGHFIR LAHUM FA INNAKA ANTAL ‘AZIIZUL HAKIIM"

(Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana). (Al Maidah : 118).

Beliau mengangkat kedua tangan seraya bersabda : "Wahai Umatku, ... umatku", dan beliau menangis, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad - sedang Tuhanmu lebih mengetahui - tanyalah kepadanya : "Apakah yang menyebabkan kamu menangis ?". Jibril as datang kepada beliau lalu bertanya kepada beliau, maka utusan Allah itu memberitahukan kepadaNya akan apa yang disabdakan beliau, - padahal Allah lebih mengetahui, - lalu Allah Ta'ala berfirman kepada Jibril : "Pergilah kepada Muhammad dan katakan : "Sesungguhnya Kami akan ridha terhadap umatmu dan Kami tidak berbuat buruk kepadamu". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Tsauban, ia berkata : Rasulullah saw: bersabda : "Sesungguhnya Allah memperlihatkan bumi kepadaku, lalu aku melihat timur dan baratnya, dan sungguh kerajaan umatku akan sampai kepada bumi yang ditampakkan kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan yaitu merah dar putih. Sungguh aku mohon kepada Tuhanku bagi umatku agar tidak dihancurkan dengan tahun yang umum, dan tidak dikuasai oleh musuh selain diri mereka sendiri, lalu ia memusnahkan golongan mereka". Sesungguhnya Tuhanku berfirman : "Wahai Muhammad, sesungguhnya apabila saya menetapkan suatu ketetapan maka ketetapan itu tidaklah tertolak. Dan sesungguhnya Aku memberi kamu akan umatmu tidak Aku hancurkan dengan tahun yang umum, dan Aku tidak menguasakan musuh atas mereka selain diri mereka sendiri yang memusnahkan golongan mereka, walaupun berkumpul atas mereka dari seluruh penjuru" - atau Dia berfirman : "Dari seluruh penjuru bumi - sehingga sebagian dari mereka menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian dari mereka menawan terhadap sebagian yang lain". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).

MENGENAL TOKOH IMAM SYAFI'I ( Masa Tabiun Tabi'in)

Nama Dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga

Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.

Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Gelarnya

Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

Tempat Kelahirannya

Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.

Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”

Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu

Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.

Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.

Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.

Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya

Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.

Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.

Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.

Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.

Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.

Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).

Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.

Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

Aqidahnya

Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.

Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

Sya’ir-Sya’irnya

Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”

Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.

Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?


- Sya’ir Akhaq

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang


Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya

Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.

Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”

Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”

Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”

Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”

Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.

Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.

Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.

Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan


REFERENSI:

- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i