Cinta Tertinggi, Cita Tertinggi, Tujuan Tertinggi dalam DERAP KEHIDUPAN

"...Berdoalah dengan memanggil Nama-nama baik-Ku"

LEARNING BY PRAYING, LEARNING BY DOING, LEARNING TO LIFE TOGETHER AND LEARNING TO BE

SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU AMANAH JUWIRING KLATEN

PENDAHULUAN

Pendidikan Sains Tehnologi yang berbasic Ketaqwaan dengan pengembangan diri, menggali potensi siswa, sehingga muncul kepribadian dari dirinya akan pentingnya Aqidah dalam era Global, Tantangan zaman dan Tuntutan Kemampuan sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak dapat dihindari. Karena pendidikan anak merupakan dasar pertama untuk pengembangan selanjutnya.

Sehingga pendidikan saat ini harus berkualitas, seimbang. Seimbang antara teori dan praktek sehingga ilmu yang telah dipelajari sebagai teori diupayakan untuk dilatih sejak dini untuk dipraktekkan. Selain itu cakupan pendidikan harus menyeluruh antar pendidikan akal (kognitif),hati (afektif),praktek (psikomotorik), sebab ketiganya merupakan bekal utama setiap manusia untuk menjalani hidup dan menghadapi segala masalah kehidupan

Latar Belakang

Yayasan Baitul Maal Amanah sebagai sebuah yayasan yang bergerak langsung ditengah masyarakat untuk membangun dan memberdayakan ummat, khususnya di Juwiring dan wilayah sekitar pada umumnya, dapat merasakan kebutuhan ummat terhadap pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat umum. Berpedoman kepada keyakinan terhadap Allah SWT maka Yayasan Baitul Maal Amanah membuka program pendidikan formal tingkat dasar yang di beri nama SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) AMANAH. Setelah sebelumnya mendirikan pendidikan prasekolah yang berupa Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT) AMANAH. Sekolah Islam Terpadu Amanah ini diharapkan dapat memenuhi dan menjawab kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualias, seimbang, mencakup dan terjangkau.

Alhamdulillah pada tahun ajaran 2009/2010 Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah telah memasuki tahun ke enam dengan tanggapan masyarakat yang terus meningkat, mohon doanya ini akan mengeluarkan alumni pertama, semoga sukses AMANAH yang tercinta


Nama dan Kedudukan

Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah berkedudukan di Tegalan, Bolopleret, Juwiring, Klaten

Jawa Tengah 57472

Kurikulum

Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah merupakan gabungan dari tiga kurikulum yang saling melengkapi

  1. Kurikulum pendidikan umum dasar dari Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
  2. Kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.
  3. Muatan local yang mencakup mata pelajaran penunjang pemantapan agama dan peningkatan keterampilan hidup.

Ekstrakurikuler

  1. Leadership : Kemampuan dalam memimpin dirinya dan sekitarnya dengan Muhadoroh (latihan pidato) bahasa Inggris, Arab, Indonesia dan Bahasa Jawa,Kepramukaan.
  2. Dokter Kecil mengenal tentang kesehatan diri dan lingkungan.
  3. Sanggar Kreatifitas, pengembangan minat bakat (Drama, melukis, seni kaligrafi).
  4. OFTA (Out Tracking Fun Adventure) aktifitas luar dalam mengeksplorasi kemampuan psikomotorik siswa.
  5. Dasar Tehnologi : Sempoa sebagai dasar hitung menghitung dan computer dasar tehnologi pada kelas 3.
  6. Lifeskill kemampuan mengenal dirinya, kemudian menumbuhkan kemandirian dalam kehidupan.

Tujuan

  1. Mampu mempelajari, memahami, menafsirkan serta mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al Hadits sebagai dasar terpenting pada Aqidah, Ibadah dan Akhlaq.
  2. Mempunyai motivasi diri lebih mengembangkan diri untuk kreatif dan prestasi.
  3. Mengenal Bahasa Asing (Arab dan Inggris)

Biaya Pendidikan

Biaya Pendidikan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah sangat terjangkau oleh masyarakat pada umumnya karena hanya terdiri dari uang pendaftaran dan uang administrasi wajib pada saat masuk serta uang SPP tiap bulan yang relatif ringan. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah tidak memberlakukan biaya daftar ulang, sehingga setelah masuk tahun pertama biaya sekolah akan terasa ringan. Bagi anak yatim di berlakukan pembiayaan khusus.

Tenaga Pendidik

Tenaga Pendidik di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Amanah terdiri dari guru-guru yang semuanya lulusan dari perguruan tinggi negeri dan swasta sehingga InsyaAllah menguasai bidang pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Senin, 30 Maret 2009

QORDHOWI TENTANG ZAKAT

Barangkali bentuk  penghasilan  yang  paling  menyolok  pada
zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan
dan profesinya.

Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama
adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung
kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan
penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor,
insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan
lain-lainnya.

Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat
pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak,
ataupun kedua- duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.

Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang
itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Bila wajib,
berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan
fikih Islam tentang masalah itu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sekali memperoleh
jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui
kewajiban dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan
bentuknya yang modern, volumenya yang besar, dan sumbernya
yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum dikenal oleh
para ulama fikih pada masa silam. Kita menguraikan jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal:

1. Pandangan fikih tentang penghasilan dan profesi, serta
pendapat para ulama fikih pada zaman dulu dan sekarang
tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang
kuat.
2. Nisab, besarnya, dan cara menetapkannya.
3. Besar zakatnya.


PANDANGAN FIKIH TENTANG PENGHASILAN DAN PROFESI

PENDAPAT MUTAKHIR

Guru-guru seperti Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah
dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan persoalan ini
dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952.
Ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan yang
teksnya sebagai berikut:

"Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah
setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada
pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab
tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup
tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di
tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan
penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas
hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang
terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua
sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat
menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena
terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih
sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."

"Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang - untuk
bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran
Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat
seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas
perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang
miskin penerima zakat.

Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah
senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja
tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu
harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil
penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang
tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang
pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut."

Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, "Penghasilan dan
profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain
masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia
dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan
rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa
orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika
menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada
hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib
dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."

Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih
dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya
tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan,
meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada
akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab
yang telah berumur setahun.

GAJI DAN UPAH ADALAH HARTA PENDAPATAN

Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, - adalah
bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan
dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah
cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.

Yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil
penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau
lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan
persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan tentang
pendapat Ahmad tentang sewa rumah diatas. Tetapi
sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan di
sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada
kekayaan penghasilan, "yaitu kekayaan yang diperoleh
seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai
dengan syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk
penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."

Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat
kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu
setahun. Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud,
Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan
juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.

Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-
pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah
berada di kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh
Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya al-Mughni oleh Ibnu
Qudamah jilid 2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir
jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129.

MENCARI PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG ZAKAT PROFESI

Yang mendesak, mengingat zaman sekarang, adalah menemukan
hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena terdapat
hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil
penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat
digolongkan kepada "harta penghasilan" tersebut. Bila
kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan
zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu,
mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan
produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan
dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan
keuntungan dengan induknya itu sangat erat.

Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu
nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan
labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun.
Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam
bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup
masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil
tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20,
begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah
dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga
barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga.
Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam
perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."

Yang kita bicarakan disini, adalah tentang "harta
penghasilan," yang berkembang bukan dari kekayaan lain,
tetapi karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi
modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis dengan
kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.

Berlaku jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan
hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan zakat hartanya
yang sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun
harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib zakat terhitung
saat harta tersebut diperoleh dan susah terpenuhi
syarat-syarat zakat yang berlaku seperti cukup senisab,
bersih dari hutang, dan lebih dari kebutuhan-kebutuhan
pokok?

Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas adalah pendapat
ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan
para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan
syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda
perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis
mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa
hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk
harta hasil usaha.

Di bawah ini dijelaskan tingkatan kebenaran hadis-hadis
tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam
hadis membenarkannya.



PARA ULAMA FIKIH LAIN DAN KALANGAN TABI'IN DAN LAINNYA

1. Mengenai pemungutan zakat dari "harta penghasilan" yang
bersumber dari Zuhri dan Hasan adalah seperti yang
diutarakan Ibnu Hazm. (Kita akan mengulas sedikit hal
tersebut waktu membicarakan cara pengeluaran zakat "harta
penghasilan"). Sebelum itu sudah terdapat pendapat serupa
dari al-Auza'i. Bahkan Ahmad bin Hanbal diriwayatkan
berpendapat yang mirip hal itu. Dan kita telah menerangkan
dalam fasal sebelum ini pendapat tentang seseorang yang
mengambil sewa dari penyewaan rumahnya bahwa ia harus
mengeluarkan zakat hasil sewaan tersebut ketika menerimanya,
sebagaimana disebutkan dalam al- Mughni. Ahmad berpendapat,
dari sumber beberapa orang, bahwa orang itu mengeluarkan
zakatnya ketika menerimanya. Ibnu Mas'ud meriwayatkan dengan
sanad ia sendiri apa yang telah kita terangkan diatas
tentang zakat pemberian.

2. Hal tersebut juga merupakan pendapat Nashir, Shadiq dan
Baqir dari kalangan ulama-ulama Makkah sebagaimana juga
mazhab Daud; bahwa barangsiapa yang memperoleh sejumlah
senisab, ia harus mengeluarkan zakatnya langsung.

Alasan mereka adalah keumuman nash-nash yang mewajibkan
zakat, seperti sabda Rasulullah s.a.w.: "Uang perak zakatnya
1/40." (Muttafaq 'alaihi).

Berdasarkan hadis itu masa setahun tidak merupakan syarat,
tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat
dan tidak disyaratkan terpenuhinya nisab selain hanya pada
saat harus dikeluarkan yaitu akhir tahun, sebagaimana
dicontohkan Nabi yang memungut zakat pada akhir tahun, tanpa
melihat keadaan harta tersebut pada awal tahun: cukup
senisab atau tidak.

PERBEDAAN MAZHAB EMPAT DALAM MASALAH HARTA PENGHASILAN

Para imam mazhab empat berbeda pendapat yang cukup kisruh
tentang harta penghasilan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Hazm dalam al- Muhalla. Ibnu Hazm berkata, bahwa Abu Hanifah
berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya
bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali
jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus
dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan
itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah
mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh
penghasilan sedikit ataupun banyak - meski satu jam
menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia
wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan
pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas,
perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan
atau lainnya.

Tetapi Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak
dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta
tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak
sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang
yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan
anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis
dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan
pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan
miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau
belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat Tetapi bila
binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka
anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun
induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun
belum mencapai nisab.

Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan
zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki
harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak
binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya
yang sudah mencapai nisab, dan bila tidak mencapai nisab
maka tidak wajib zakatnya.

Ibnu Hazm tampil - dengan caranya yang menggebu-gebu -
dengan pendapat bahwa pendapat-pendapat di atas adalah
salah. Ia mengatakan bahwa salah satu bukti
pendapat-pendapat itu salah adalah cukup dengan melihat
kekisruhan semua pendapat itu, semuanya hanya dugaan-dugaan
belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan,
yang tidak ada landasan salah satu pun dari semuanya, baik
dari Quran atau hadis shahih ataupun dari riwayat yang
bercacat sekalipun, tidak perlu dari Ijmak dan Qias, dan
tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima.
Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah
tersebut dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku
bagi seluruh harta benda, uang penghasilan atau bukan,
bahkan termasuk anak-anak binatang piaraan. Hal itu
bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri yang keluar
dari pertentangan itu dengan pendapat bahwa seluruh harta
penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia
sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh
orang-orang lain di atas.

BAGAIMANA CARA PENGELUARAN ZAKAT HARTA PENGHASILAN?

Ulama-ulama salaf yang berpendapat bahwa harta penghasilan
wajib zakat, diriwayatkan mempunyai dua cara dalam
mengeluarkan zakatnya:

1. Az-Zuhri berpendapat bahwa bila seseorang memperoleh
penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib
zakatnya datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat
itu terlebih dahulu dari membelanjakannya, dan bila tidak
ingin membelanjakannya maka hendaknya ia mengeluarkan
zakatnya bersamaan dengan kekayaannya yang lain-lain.

Hal serupa atau dekat dengan pendapat tersebut adalah
pendapat Auza'i tentang seseorang yang menjual hambanya atau
rumahnya bahwa ia wajib mengeluarkan zakat sesudah menerima
uang penjualan ditangannya, kecuali bila ia mempunyai bulan
tertentu untuk mengeluarkan zakat, maka ia hendaknya
mengeluarkan zakat uang penjualan tersebut bersamaan dengan
hartanya yang lain tersebut.

Ini berarti bahwa bila seseorang mempunyai harta yang
sebelumnya harus dikeluarkan zakatnya dan mempunyai masa
tahun tertentu maka hendaknya ia mengundurkan pengeluaran
zakat penghasilannya itu bersamaan dengan hartanya yang
lain, kecuali bila ia kuatir penghasilannya itu
terbelanjakan sebelum datang masa tahunnya tersebut yang
dalam hal ini ia hendaknya segera mengeluarkan zakatnya.

2. Makhul berpendapat bahwa bila seseorang harus
mengeluarkan zakat ada bulan tertentu kemudian memperoleh
uang tetapi kemudian dibelanjakannya, maka uang itu tidak
wajib zakat, yang wajib zakat hanya uang yang sudah datang
bulan untuk mengeluarkan zakatnya itu. Tetapi bila ia tidak
harus mengeluarkan zakat pada bulan tertentu kemudian ia
memperoleh uang, maka ia harus mengeluarkan zakatnya pada
waktu uang tadi diperoleh.

Pendapat itu dengan demikian memberikan keistimewaan kepada
orang-orang yang mempunyai uang yang harus dikeluarkan
zakatnya pada bulan tertentu itu, dan tidak memberikan
keistimewaan kepada orang yang tidak mempunyai uang seperti
itu. Yaitu membolehkan orang-orang yang pertama tadi
membelanjakan penghasilannya tanpa mengeluarkan zakat
kecuali bila masih bersisa sampai bulan tertentu yang
dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan kekayaannya yang lain,
sedangkan mereka yang tidak mempunyai kekayaan lain harus
mengeluarkan zakat penghasilannya pada waktu menerima
penghasilan tersebut. Kesimpulannya: memberikan keringanan
kepada orang yang mempunyai kekayaan lain dan memberi beban
berat kepada orang yang tidak mempunyai kekayaan selain
penghasilannya tersebut.

Dalam masalah ini yang lebih kuat menurut saya adalah
pendapat bahwa penghasilan yang mencapai nisab wajib diambil
zakatnya, sebagaimana yang dikatakan Zuhri dan Auza'i, baik
dengan mengeluarkan zakatnya begitu diterima ini khususnya
bagi mereka yang tidak mempunyai kekayaan lain yang bermasa
wajib zakat tertentu ataupun dengan mengundurkan pengeluaran
zakat sampai batas setahun bersamaan dengan kekayaannya yang
lain bila ia tidak kuatir akan membelanjakannya, tetapi bila
ia kuatir penghasilan itu akan terbelanjakan olehnya, maka
ia harus mengeluarkan zakatnya segera. Dan juga sekalipun ia
membelanjakan penghasilannya itu, maka zakatnya tetap
menjadi tanggungjawabnya, dan bila tidak mencapai nisab,
zakatnya dipungut berdasar pendapat Makhul yaitu bahwa
kekayaan yang sudah sampai bulan pengeluaran zakat harus
dikeluarkan zakatnya, kekayaan yang harus dibelanjakan untuk
nafkah sendiri dan tanggungannya tidak diambil zakatnya, dan
bila ia tidak mempunyai harta lain, ia harus mengeluarkan
zakatnya pada waktu tertentu, sedangkan penghasilan yang
tidak mencapai nisab, tidak wajib zakat sampai mencapai
nisab bersama dengan kekayaan lain yang harus dikeluarkan
zakatnya pada waktu itu dan masa sampainya dimulai dari saat
tersebut.

Pemilihan pendapat yang lebih kuat diatas berarti memberikan
keringanann kepada orang-orang yang mempunyai gaji kecil
yang tidak cukup senisab dan kepada mereka yang menerima
gaji kecil pada waktu-waktu tertentu yang per satu kali
waktu tidak cukup senisab.

Pengeluaran Zakat Pendapatan dan Gaji Bersih

Setelah kita menegaskan pendapat yang terpilih tentang
kewajiban zakat atas gaji, upah, dan sejenisnya, maka kita
menegaskan pula bahwa zakat tersebut hanya diambil dari
pendapatan bersih.

Pengambilan dari pendapatan atau gaji bersih dimaksudkan
supaya hutang bisa dibayar bila ada dan biaya hidup terendah
seseorang dan yang menjadi tanggungannya bisa dikeluarkan
karena biaya terendah kehidupan seseorang merupakan
kebutuhan pokok seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas
jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan pokok
sebagaimana telah kita tegaskan di atas. Juga harus
dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk melakukan
pekerjaan tersebut, berdasarkan pada pengqiasannya kepada
hasil bumi dan kurma serta sejenisnya, bahwa biaya harus
dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan zakatnya
dari sisa. Itu adalah pendapat 'Atha dan lain-lain.

Berdasarkan hal itu maka sisa gaji dan pendapatan setahun
wajib zakat bila mencapai nisab uang, sedangkan gaji dan
upah setahun yang tidak mencapai nisab uang - setelah
biaya-biaya diatas dikeluarkan misalnya gaji pekerja-pekerja
dan pegawai-pegawai kecil, tidak wajib zakat.

PERHATIAN

Bila seseorang sudah mengeluarkan zakat gaji, penghasilan,
atau sejenisnya pada waktu menerimanya, maka tidak wajib
zakat lagi pada waktu masa tempo tahunnya sampai, sehingga
tidak terjadi kewajiban mengeluarkan zakat dua kali pada
satu kekayaan dalam satu tahun. Karena itulah kita
menegaskan dalam pembahasan mengenai harta penghasilan bahwa
bila seseorang mempunyai penghasilan itu maka ia harus
menangguhkan pengeluaran zakatnya sampai bersamaan dengan
pengeluaran zakat kekayaannya yang lain yang sudah jatuh
tempo zakatnya, bila ia tidak kuatir penghasilannya itu akan
terbelanjakan olehnya sebelum temponya sendiri jatuh.

Kita berikan contoh tentang itu bahwa seseorang mempunyai
kekayaan yang dikeluarkan zakatnya setiap tahun pada awal
bulan Muharram, bila ia memperoleh penghasilan, gajinya
umpamanya pada bulan Safar atau Rabiul Awal atau bulan-bulan
sesudahnya dan ia sudah mengeluarkan zakatnya pada waktu
menerimanya, maka ia tidak waJib lagi mengeluarkan zakatnya
sekali lagi pada akhir tempo bersama dengan kekayaannya yang
lain itu, tetapi mengeluarkan zakat dari penghasilan
tersebut atau sisanya pada masa tempo kedua, sehingga kita
tidak mempersukar diri sendiri sedangkan Allah telah
menegakkan syariat-Nya atas dasar kemudahan.


HARTA PENGHASILAN MENURUT PARA SAHABAT DAN TABI'IN

1. IBNU ABBAS

Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang
laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan
zakatnya pada hari ia memperolehnya."

Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu
Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana
ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan
ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang
difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda
pendapat mengenai itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas
memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak sedangkan
saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama
sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan
pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat
tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda.
Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak
tahu apa maksud hadis tersebut.

Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta
benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa
ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip,
namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah;
karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta
merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama
sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka
ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang
banyak meriwayatkan darinya.

Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya
tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang
menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi
penghambat itu tidak ada.

Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk
menerima pengertian zahir hadis tersebut tidak dapat
diterima karena:

1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat.
Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah,
yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar
bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.

2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang
mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk
menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan
pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya
bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian,
maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan
pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus
mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang
lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi
kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak
terjadi.

3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal
yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang
terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya
mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging
himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas
tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari
zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.

Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut
mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya
mengira, dan dalam penutup ia mengatakan; "Bila ia (Ibnu
Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud
hadis tersebut?"

2. IBNU MAS'UD

Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam,
Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang
kecil kemudian menarik zakatnya. Abu Ubaid menafsirkan lain
hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah
wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena
diberikan.

Penafsiran lain itu kadang-kadang dilakukan takwil
serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna yang dapat
langsung difahami, dan berbeda pula dengan pendapat yang
berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas
adalah penarikan zakat atas pemberian Hubairah mengatakan
bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia
terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah,
dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah
sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan
oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama
dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang
dengan Pengurangan Sumber, bukan diambil karena kekayaan
asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa
setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian
lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian
yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima
dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih
banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum
mengetahui riwayat itu, sehingga dia memberikan takwil
tersebut.

3. MU'AWIYAH

Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa orang yang
pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah
Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan
adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian
dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan
zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah
kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan
Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah,
sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.

Yang jelas adalah bahwa Mu'awiyah mengenakan zakat atas
pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam,
karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan yang
jelas adalah bahwa zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan
para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah
melanggar hadis Nabi atau ijmak yang dapat
dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan
mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah
tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah
sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan
gandum, seperti diberitakan hadis Abu Said al-Khudri
sedangkan Mu'awiyah sendiri - meski dikatakan bahwa
ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah- tidak
bermaksud menyanggah sunnah yang tegas dari Rasulullah
s.a.w.

4. UMAR BIN ABDUL AZIZ

Empat periode Mu'awiyah, datanglah pembaru seratus tahun
pertama yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru
yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian,
hadiah, barang sitaan, dan lain

Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji
seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia
mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari
pemberian bila telah berada di tangan penerima.

Dengan demikian ucapan ('Umalah) adalah sesuatu yang
diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan
karyawan pada masa sekarang. Harta sitaan (mazalim) ialah
harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak
benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya
menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila
barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan
penghasilan baru bagi pemilik itu. Pemberian (u'tiyat)
adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang
dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan
orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz
memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat
Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan
kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado,
ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan
oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas
hadiah-hadiah tersebut.


MEMILIH PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG  PENGELUARAN  ZAKAT
PENGHASILAN PADA WAKTU DITERIMA

Setelah diperbandingkan pendapat-pendapat di atas dengan
alasan masing-masing, diteliti nash-nash yang berhubungan
dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan,
diperhatikan hikmah dan maksud pembuat syariat mewajibkan
zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan umat Islam
pada masa sekarang ini, maka saya berpendapat harta hasil
usaha seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan
dokter, insinyur, advokat dan yang lain yang mengerjakan
profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh
dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan,
seperti pada mobil, kapal, kapal terbang, percetakan,
tempat- tempat hiburan, dan lain-lainnya, wajib terkena
zakat persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu
diterima.

Sebagai penjelasan dari pendapat kami dalam masalah yang
sensitif itu, kami mengemukakan beberapa butir alasan di
bawah ini, supaya kebenaran dapat jelas yang dikuatkan
dengan dalil:

1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta
penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih
atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum Syara'
yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan
para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang
diakui kebenarannya sebagaimana telah kita terangkan.

2. Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam
harta penghasilan: sebagian mempersyaratkan adanya masa
setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkan satu
tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu
harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang Muslim.
Perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih
baik daripada yang lain, oleh karena itu maka persoalannya
dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaedah- kaedah
yang lebih umum, misalnya firman Allah: "Bila kalian berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Quran) dan kepada Rasul (hadis)." (An-Nisa,: 59).

3. Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat
harta penghasilan membuat mazhab-mazhab yang ada berselisih
pendapat tajam sekali, yang mengakibatkan Ibnu Hazm sampai
menilainya sebagai dugaan-dugaan saja, merupakan
pertentangan-pertentangan dan bagian- bagian yang saling
bertentangan yang tidak ada dasar kebenarannya, tidak dari
Quran atau hadis shahih atau riwayat yang ada cela
sekalipun, maupun dari Ijmak dan Qias, dan dari pemikiran
dan pendapat yang kira-kira dapat diterima. Saya sudah
melakukan penjajagan atas perbedaan-perbedaan pendapat
antara mazhab-mazhab, metode dan perbedaan pentashihan dan
pentarjihan masing-masing mazhab. Saya menemukan pula
berpuluh-puluh persoalan dan persoalan lebih jauh yang
ditimbulkannya mengenai harta penghasilan itu,
digabungkankah penghasilan itu dengan harta induknya atau
tidak, ataukah sebagian digabungkan dan sebagian lagi tidak.
Penggabungan tersebut dalam hal nisab, tahun, ataukah dalam
keduanya. Beberapa diskusi berkisar mengenai masalah itu
dalam hal zakat binatang, zakat uang, zakat perdagangan, dan
persoalan-persoalan kecil lainnya Semuanya itu membuat saya
menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana
dan berbicara untuk seluruh umat manusia membawa
persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai
kewajiban bagi seluruh umat.

4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat
harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang
berlaku umum dan tegas di atas daripada mereka yang
mempersyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan zakat
baik dalam Quran maupun dalam sunnah datang secara umum dan
tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun.
Misalnya, "Berikanlah seperempat puluh harta benda kalian,"
Harta tunai mengandung kewajiban seperempat puluh dan
dikuatkan oleh keumuman firman Allah "Hai orang-orang yang
beriman keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian."
(al-Baqarah: 267) Kata ma Kasabtum merupakan kata umum yang
artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan, atau
pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang kepada
keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat
perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu
memakainya sebagai landasan zakat penghasilan dan profesi.
Bila para ulama fikih telah menetapkan setahun sebagai
syarat wajib zakat perdagangan, maka itu berarti bahwa
antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak boleh
dipisahkan karena laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan
dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya
yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.

5. Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan
landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu
tahun sebagai syarat harta penghasilan wajib zakat, qias
yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau
sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan
dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada
waktu panen. Maka bila kita memungut dari petani meskipun
sebagai penyewa, sebanyak sepersepuluh atau seperdua puluh
hasil tanaman atau buah-buahannya, mengapakah kita tidak
boleh memungut dari seorang pegawai atau seorang dokter,
umpamanya, sebanyak seperempat puluh penghasilannya? Bila
Allah menyatukan penghasilan yang diterima seseorang Muslim
dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu
ayat, yaitu "Hai orang- orang yang beriman keluarkanlah
sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami keluarkan
untuk kalian dari tanah," mengapakah kita membeda-bedakan
dua masalah yang di atur Allah dalam satu aturan sedangkan
kedua-duanya adalah rezeki dan nikmat dari Allah?

Benar, bahwa nikmat Allah dalam hasil tanaman dan
buah-buahan lebih kentara dan mensyukurinya lebih wajib,
namun demikian tidak berarti bahwa salah satu pendapatan
tersebut tegas wajib zakat sedangkan yang satu lagi tidak.
Perbedaannya cukup dengan bahwa pembuat syariat mewajibkan
zakat dari hasil tanah sebesar sepersepuluh atau seperdua
puluh sedangkan pada harta penghasilan berupa uang atau yang
senilai dengan uang-sebanyak seperempat puluh.

6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta
penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan
pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas
pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi
dua golongan saja: menginvestasikan pendapatan mereka
terlebih dahulu dalam berbagai sektor, atau berfoya-foya
bahkan menghamburkan semua penghasilannya itu kesana-sini
sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya. Itu berarti
hanya membebankan zakat pada orang-orang yang hemat dan
ekonomis saja, yang membelanjakan kekayaannya seperlunya,
tidak berlebih-lebihan tetapi tidak pula kikir, yang berarti
mereka menyimpan penghasilan mereka sehingga mencapai masa
zakatnya. Hal itu jauh sekali dari maksud kedatangan syariat
yang adil dan bijak, yaitu memperingan beban orang-orang
pemboros dan memperbuat beban orang-orang yang hemat.

7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta
penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak
bisa diterima oleh keadilan dan hikmat Islam mewajibkan
zakat Misalnya: Seorang petani yang menanam tanaman pada
tanah sewaan, hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5%
bila sudah mencapai 50 kila Mesir, berdasarkan fatwa-fatwa
dalam mazhab-mazhab yang ada, sedangkan pemilik tanah yang
dalam sejam kadang-kadang memperoleh beratus-ratus atau
beribu- ribu dinar berupa uang sewa tanah tersebut, tidak
dikenakan zakat, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab
yang ada, karena adanya persyaratan setahun bagi penghasilan
tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir
tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur,
advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dan
lain-lainnya. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang
terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak
terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para
ulama. Kita tidak yakin, bila mereka hidup pada zaman
sekarang dan menyaksikan apa yang kita saksikan, apakah
mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah,
seperti yang hanyak kita temukan dalam riwayat para imam .

8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima,
diantaranya gaji, upah, penghasilan dari modal yang
ditanamkan pada sektor selain perdagangan, dan pendapatan
para ahli, akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang
yang berhak lainnya, menambah besar perbendaharaan zakat,
disamping menambah perbendaharaan negara dan pemiliknya
dapat dengan mudah mengeluarkan zakatnya. Hal itu dengan
pemungutan zakat gaji para pegawai dan karyawan tersebut
oleh pemerintah atau yayasan-yayasan melalui cara yang
dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan "Penahanan pada
Sumber," seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud dan
Mu'awiyah serta Umar bin Abdul Aziz dalam, memotong
pemberian yang mereka berikan. Maksud kata "pemberian"
disini adalah gaji para tentara dan orang-orang yang di
bawah kekuasaan negara pada masa itu. Abu Walid Baji
mengatakan bahwa "Pemberian menurut syara' adalah pemberian
dari kepala negara kepada seseorang dari Baitul-mal
berbentuk nafkah hidup (gaji). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
dari Hubaira bahwa Ibnu Mas'ud memotong pemberian yang
mereka terima sebesar dua puluh lima dari tiap seribu. Hal
itu diriwayatkan pula oleh at-Tabrani darinya juga. Dari
'Aun dari Muhammad, "Saya melihat para penguasa bila
memberikan gaji, memotong zakatnya. Dari Umar bin Abdul
Aziz, bahwa ia mengeluarkan zakat pemberian dan hadiah.
Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab,
bahwa: Orang yang pertama kali memungut zakat dari pemberian
adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Tampaknya yang ia
maksudkan adalah khalifah pertama yang memungut zakat
pemberian, sedangkan sebenarnya sudah ada orang yang
mengambil zakat pemberian sebelum itu, yaitu Abdullah bin
Mas'ud sebagaimana kita jelaskan.

9. Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai
dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan,
kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa
seorang Muslim, sesuai pula dengan kemanusiaan yang harus
ada dalam masyarakat, ikut merasakan beban orang lain, dan
menanamkan agama tersebut menjadi sifat pribadi unsur pokok
kepribadiannya. Allah berfirman tentang sifat-sifat orang
yang bertakwa, "Dan sebagian apa yang kami berikan kepada
mereka, mereka nafkahkan." Allah juga berfirman, "Hai
orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian apa-apa yang
kami berikan kepada kalian." Untuk itu Nabi s.a.w.
mewajibkan kepada setiap orang Muslim mengorbankan sebagian
hartanya, penghasilannya, atau apa saja yang ia korbankan.

Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Asyari dari Nabi s.a.w.:

"Setiap orang Muslim wajib bersedekah." Mereka bertanya,
"Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya? Beliau
menjawab, "Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya,
lalu bersedekah." Mereka bertanya, "Kalau tidak punya
pekerjaan?" Beliau bersabda, "Tolong orang yang meminta
pertolongan." Mereka bertanya, "Bagaimana bila tidak bisa?"
Beliau menjawab, "Kerjakan kebaikan dan tinggalkan
kejelekan, hal itu merupakan sedekahnya."

Pembebasan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang
tersebut dari sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa
setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja,
berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan
rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang
yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan
berusaha.

10. Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan
lebih menguntungkan pemasukan zakat secara pasti dan
pengelolaannya dilihat dari pihak orang yang wajib
mengeluarkan zakat dan dari segi administrasi pemungutan
zakat. Hal itu oleh karena bagi yang berpendapat satu tahun
sebagai syarat zakat, menyebabkan setiap orang yang
mendapatkan penghasilan sedikit atau banyak berupa gaji,
honorarium atau penghasilan kekayaan tak bergerak, atau
jenis pendapatan yang lain-harus menentukan masa jatuh
tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya lalu bila sampai
masa tempo setahunnya itu dikeluarkanlah zakatnya. Ini
berarti, bahwa seorang Muslim kadang-kadang bisa mempunyai
berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang
diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali
dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan
mengatur zakat yang dengan demikian zakat tidak bisa
terpungut dan sulit dilaksanakan


PENDAPAT MASA KINI

Adalah bijaksana bila kita menyebutkan disini, bahwa seorang
penulis Islam yang terkenal, Muhammad Ghazali, telah
membahas masalah ini dalam bukunya Islam wa al-Audza'
al-Iqtishadiya. Lebih daripada dua puluh tahun yang lalu.
Setelah menyebutkan bahwa dasar penetapan wajib zakat dalam
Islam hanyalah modal, bertambah, berkurang atau tetap,
setelah lewat setahun, seperti zakat uang, dan perdagangan
yang zakatnya seperempat puluh, atau atas dasar ukuran
penghasilan tanpa melihat modalnya seperti zakat pertanian
dan buah buahan yang zakatnya sepersepuluh atau seperdua
puluh, maka beliau mengatakan; "Dari sini kita mengambil
kesimpulan, bahwa siapa yang mempunyai pendapatan tidak
kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka
ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani
tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali keadaan modal
dan persyaratan- persyaratannya." Berdasarkan hal itu,
seorang dokter, advokat, insinyur, pengusaha, pekerja,
karyawan, pegawai, dan sebangsanya wajib mengeluarkan zakat
dari pendapatannya yang besar. Hal itu berdasarkan atas
dalil:

1. Keumuman nash Quran: "Hai orang-orang yang beriman
keluarkanlah sebagian hasil yang kalian peroleh."
(al-Baqarah: 267)

Tidak perlu diragukan lagi bahwa jenis-jenis pendapatan di
atas termasuk hasil yang wajib dikeluarkan zakatnya, yang
dengan demikian mereka masuk dalam hitungan orang-orang
Mu'min yang disebutkan Quran: "Yaitu orang-orang yang
percaya kepada yang ghaib, mendirikan salat, serta
mengeluarkan sebagian yang kami berikan." (al-Baqarah: 3).

2. Islam tidak memiliki konsepsi mewajibkan zakat atas
petani yang memiliki lima faddan (1 faddan = 1/2 ha).
Sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima
puluh faddan tidak mewajibkannya, atau tidak mewajibkan
seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan
penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya yang
atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika mencapai
nisab.

Untuk itu, harus ada ukuran wajib zakat atas semua kaum
profesi, dan pekerja tersebut, dan selama sebab (illat) dari
dua hal memungkinkan diambil hukum qias, maka tidak benar
untuk tidak memberlakukan qias tersebut dan tidak meneriina
hasilnya.

Dan kadang-kadang dipertanyakan, bagaimana kita menentukan
besar zakatnya? Jawabnya mudah, karena Islam telah
menentukan besar zakat buah-buahan antara sepersepuluh dan
seperdua puluh sesuai dengan ukuran beban petani dalam
mengairi tanahnya. Maka berarti ukuran beban zakat setiap
pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau
pengusahaannya.

Persoalan tersebut sebenarnya dapat diterangkan
sejelas-jelasnya, bila pokok persoalan yang sensitif
tersebut sudah duduk. Tetapi persoalan tersebut tidak bisa
dijelaskan dengan pemikiran seseorang, tetapi membutuhkan
kerja sama para ulama dan ilmuwan.

Diskusi-diskusi tentang hal itu menarik sekali, yang
menunjukkan bahwa mereka memiliki pemahaman yang tajam
terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Dua landasan yang
dikemukakan oleh Muhammad Ghazali tidak ada kelemahannya,
karena beliau telah menggunakan landasan keumuman nash Quran
dan qias. Tetapi pendekatan yang kita pergunakan dalam
memakai landasan-landasan itu disini lebih mendasar ke
sumbernya dari pendekatan Muhammad Ghazali, yaitu memakai
pendapat para sahabat, tabiiin dan para ahli fikih sesudah
mereka.

Dan bila hal itu berlainan dari pendapat empat mazhab yang
ada, maka tidak satu pun nash dari Allah atau dari Rasul
s.a.w. tidak pula dari imam- imam mazhab tersebut yang
mewajibkan pendapat mereka diikuti sepenuhnya, mengekor
kepada mereka, dan melarang orang berlainan pendapat dari
ijtihad mereka. Tetapi mereka sebaliknya, melarang orang
mengekor mereka, sebagaimana telah kita sebutkan dalam
pendahuluan buku ini


NISAB MATA PENGHASILAN DAN PROFESI

Kita sudah mengetahui, bahwa Islam tidak mewajibkan zakat
atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi
mewajibkan zakat atas harta benda yang mencapai nisab,
bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok
pemiliknya. Hal itu untuk menetapkan siapa yang tergolong
seorang kaya yang wajib zakat karena zakat hanya dipungut
dari orang-orang kaya tersebut, dan untuk menetapkan arti
"lebih" ('afw) yang dijadikan Quran sebagai sasaran zakat
tersebut. Allah berfirman "Mereka bertanya kepadamu tentang
apa yang mereka nafkahkan Katakanlah, "Yang lebih dari
keperluan." (al-Baqarah: 219). Dan Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Kewajiban zakat hanya bagi orang kaya." "Mulailah
dari orang yang menjadi tanggunganmu." Hal itu sudah
ditegaskan dalam syarat-syarat kekayaan yang wajib zakat.
Bila zakat wajib dikeluarkan bila cukup batas nisab, maka
berapakah besar nisab dalam kasus ini?

Muhammad Ghazali dalam diskusi diatas cenderung untuk
mengukurnya menurut ukuran tanaman dan buah-buahan. Siapa
yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan
seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat maka orang itu
wajib mengeluarkan zakatnya. Artinya, siapa yang mempunyai
pendapatan yang mencapai lima wasaq (50 kail Mesir) atau 653
kg, dari yang terendah nilainya yang dihasilkan tanah
seperti gandum, wajib berzakat. Ini adalah pendapat yang
benar. Tetapi barangkali pembuat syariat mempunyai maksud
tertentu dalam menentukan nisab tanaman kecil, karena
tanaman merupakan penentu kehidupan manusia. Yang paling
penting dari besar nisab tersebut adalah bahwa nisab uang
diukur dari nisab tersebut yang telah kita tetapkan sebesar
nilai 85 gram emas. Besar itu sama dengan dua puluh misqal
hasil pertanian yang disebutkan oleh banyak hadis. Banyak
orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka
yang paling baik adalah menetapkan nisab gaji itu
berdasarkan nisab uang.

TINGGAL SATU PERSOALAN LAGI

Orang-orang yang memiliki profesi itu memperoleh dan
menerima pendapatan mereka tidak teratur, kadang-kadang
setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang
pada saat-saat tertentu seperti advokat dan kontraktor serta
penjahit atau sebangsanya, sebagian pekerja menerima upah
mereka setiap minggu atau dua minggu, dan kebanyakan pegawai
menerlma gaji mereka setiap bulan, lalu bagaimana kita
menentukan penghasilan mereka itu?

Disini kita bertemu dengan dua kemungkinan:

1. Memberlakukan nisab dalam setiap jumlah pendapatan atau
penghasilan yang diterima. Dengan demikian penghasilan yang
mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang
besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran
yang besar kepada para golongan profesi, wajib dikenakan
zakat, sedangkan yang tidak mencapai nisab tidak terkena.

Kemungkinan ini dapat dibenarkan, karena membebaskan
orang-orang yang mempunyai gaji yang kecil dari kewajiban
zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya atas
pegawai-pegawai tinggi dan tergolong tinggi saja. Ini lebih
mendekati kesamaan dan keadilan sosial. Disamping itu juga
merupakan realisasi pendapat sahabat dan para ulama fikih
yang mengatakan bahwa penghasilan wajib zakatnya pada saat
diterima bila mencapai nisab. Tetapi menurut ketentuan wajib
zakat atau penghasilan itu bila masih bersisa di akhir tahun
dan cukup senisab. Tetapi bila kita harus menetapkan nisab
untuk setiap kali upah, gaji, atau pendapatan yang diterima,
berarti kita membebaskan kebanyakan golongan profesi yang
menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali
cukup nisab dari kewajiban zakat, sedangkan bila seluruh
gaji itu dari satu waktu itu dikumpulkan akan cukup senisab
bahkan akan mencapai beberapa nisab. Begitu juga halnya
kebanyakan para pegawai dan pekerja.

2. Disini timbul kemungkinan yang kedua, yaitu mengumpulkan
gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali itu dalam
waktu tertentu. Kita menemukan ulama-ulama fikih yang
berpendapat seperti itu dalam kasus nisab pertambangan,
bahwa hasil yang diperoleh dari waktu ke waktu yang tidak
pernah terputus ditengah akan lengkap-melengkapi untuk
mencapai nisab. Para ulama fikih itu juga berbeda pendapat
tentang penyatuan hasil tanaman dan buah-buahan antara satu
dengan yang lain dalam satu tahun. Mazhab Hanbali
berpendapat bahwa hasil bermacam-macam jenis tanaman dan
buah-buahan selama satu tahun penuh dikumpulkan jadi satu
untuk mencapai nisab, sekalipun tempat tanaman tidak satu
dan menghasilkan dua kali dalam satu tahun. Jika buah-buahan
tersebut menghasilkan dua kali dalam setahun, maka hasil
seluruhnya dikumpulkan untuk mencapai satu nisab, karena
kedua penghasilan tersebut adalah buah-buahan yang
dihasilkan dalam satu tahun, sama halnya dengan jagung yang
berbuah dua kali.

Atas dasar ini dapat kita katakan bahwa satu tahun merupakan
satu kesatuan menurut pandangan pembuat syariat, begitu juga
menurut pandangan ahli perpajakan modern. Oleh karena itulah
ketentuan setahun diberlakukan dalam zakat.

Fakta adalah bahwa para pemerintahan mengatur gaji
pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan
perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.

Berdasarkan hal itulah zakat penghasilan bersih seorang
pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari dalam
setahun penuh, jika pendapatan bersih setahun itu mencapai
satu nisab. Semoga pendapat-pendapat sebagian ulama fikih
yang menegaskan bahwa harta penghasilan wajib zakat dan cara
mengeluarkan zakatnya seperti yang diterangkan mereka, dapat
membantu kita dalam menetapkan kebijaksanaan wajib zakat
atas penghasilan pegawai dan golongan profesi tersebut

BESAR ZAKAT PENGHASILAN DAN SEJENISNYA

Berapakah besar zakat yang ditetapkan atas berbagai macam
penghasilan dan pendapatan? Masalah yang diundang oleh
Muhammad Ghazali agar para ulama dan ilmuwan bekerjasama
membahasnya, maka kita setelah mengadakan penelitian dan
pengkajian, sampai pada satu pendapat yang kita paparkan
sebagai berikut:

Penghasilan yang diperoleh dari modal saja atau dari modal
kerja seperti penghasilan pabrik, gedung, percetakan, hotel,
mobil, kapal terbang dan sebangsanya-besar zakatnya adalah
sepersepuluh dari pendapatan bersih setelah biaya, hutang,
kebutuhan-kebutuhan pokok dan lain-lainnya dikeluarkan,
berdasarkan qias kepada penghasilan dari hasil pertanian
yang diairi tanpa ongkos tambahan.

Diatas kita sudah bertemu dengan pendapat Abu Zahrah dan
teman-temannya mengenai zakat gedung dan pabrik bahwa bila
mungkin diketahui pendapatan bersih setelah dikeluarkan
ongkos-ongkos dan biaya-biaya, seperti keadaan dalam
perusahaan industri, maka zakatnya diambil dari pendapatan
bersih sebesar sepersepuluh, dan jika tidak mungkin
diketahui pendapatan bersih seperti berbagai macam gedung
dan sejenisnya, maka zakatnya diambil dari pendapatan
tersebut sebesar sepersepuluh. Klasifikasinya itu dapat
diterima.

Yang kita maksudkan dengan modal disini adalah modal yang
dikembangkan di luar sektor perdagangan. Sedangkan modal
yang tersebar dalam sektor perdagangan maka zakatnya diambil
dari modal beserta keuntungannya sebesar seperempat puluh,
sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan mengenai hal
itu.

Tetapi pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan saja seperti
pendapatan pegawai dan golongan profesi yang mereka peroleh
dari pekerjaan mereka, maka besar zakat yang wajib
dikeluarkan adalah seperempat puluh, sesuai dengan keumuman
nash yang mewajibkan zakat uang sebanyak seperempat puluh,
baik harta penghasilan maupun yang harta yang bermasa tempo,
dan sesuai dengan kaedah Islam yang menegaskan bahwa
kesukaran dapat meringankan besar kewajiban serta mengikuti
tindakan Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah yang telah memotong
sebesar tertentu, berupa zakat, dari gaji para tentara dan
para penerima gaji lainnya langsung di dalam kantor
pembayaran gaji, juga sesuai dengan apa yang diterapkan oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pengqiasan penghasilan kepada
pemberian atau gaji yang diberikan oleh khalifah kepada
tentara itu lebih kuat dari pengqiasannya kepada hasil
pertanian. Sedang yang lebih tepat diqiaskan kepada
pendapatan hasil pertanian adalah pendapatan dari
gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan sejenisnya berupa
modal-modal yang memberikan penghasilan sedangkan modal
tersebut tetap utuh.

Ini berarti bahwa besar zakat pendapatan kerja lebih ringan
dari besar zakat pendapatan modal atau modal kerja. Inilah
yang diterapkan oleh sistem perpajakan modern yang oleh para
ahli moneter dihimbau agar keadilan diterapkan melalui
penetapan pajak berdasarkan kuat atau lemahnya sumber
pendapatan tersebut sehingga salah satu ciri penting
kepribadian pajak pendapatan adalah perhitungan atas sumber
pendapatan tersebut. Dan karena sumber pendapatan pada
pokoknya tidak keluar dari tiga hal, yaitu modal, kerja, dan
gabungan antara modal dan kerja, maka ketentuan dalam dunia
perpajakan adalah bahwa besar pajak pendapatan atas modal
tetap atau yang berkembang mempunyai urutan lebih tinggi
daripada besar pajak yang dikenakan atas penghasilan dari
kerja. Karena modal merupakan sumber yang lebih stabil dan
mantap, sedangkan kerja merupakan sumber yang paling tidak
stabil. Mereka menegaskan bahwa perhatian terhadap sumber
pendapatan seharusnya menyebabkan pajak yang ditetapkan
dapat mengurangi beban pajak, orang-orang yang memperoleh
pendapatan dari sumber yang lemah, dan itu berarti berperan
aktif mewujudkan keadilan dalam distribusi pendapatan.

Bahkan sebagian orang-orang sosialis lebih ekstrim lagi,
yang menghimbau agar penghasilan dari kerja dapat dibebaskan
dari segala macam pajak untuk mendorong kerja tersebut.

Namun pandangan Islam mengenai zakat adalah bahwa zakat
merupakan lambang pensyukuran nikmat, pembersihan jiwa,
pembersihan harta, dan pemberian hak Allah, hak masyarakat,
dan hak orang yang lemah. Pandangan itu menegaskan bahwa
zakat wajib dipungut dari hasil kerja sebagaimana juga wujud
dipungut dari pendapatan-pendapatan yang lain, meskipun
besar zakat masing-masing berbeda-beda.

Catatan kaki:

1 Halqa ad-Dirasa al-Ijtima'iyya: 248.
2 Ibid.
3 Penentangan yang paling jelas adalah keluhan kebanyakan
pegawai bahwa mereka sudah membelanjakan gaji mereka
beberapa hari setelah diterima sampai meminjam lagi. Dalam
hal ini secara ijmak waktu setahun tidak terpenuhi.
4 Lihat Ibnu Hazm, al-Mahalla, jilid 4:3
dan Nashb ar-Rayah, jilid 2: 28-329.
5 Sunan Turmizi, kitab zakat, bab zakat emas dan uang.
6 Mukhtashar as-Sunan, jilid 2: 191.
7 Mizan al-I'tidal, jilid 2: 352-353. Terjemah no. 4052.
8 Ibid: 182.
9 Lihat riwayatnya dalam al-Mizan, no. 1918, jilid 1: 513-515.
10 At-Talkhish: 175.
11 Ibid, 175.
12 Nushbu ar-Riwayah, jilid 2: 330.
13 At-Talkhis, 175.
14 Tahdhib Sunan Abi Daud, jilid 2: 189.
15 Al-Mizan, jilid 1: 445-446, terjemah no. 1659.
16 Turmizi bisyarhi Ibni al-Arabi, jilid 3: 125-126.
17 Lihat as-Sunan al-Kubra. jilid 4: 95 dan at-Takhsish; 175.
18 Ibnu Hazm meriwayatkan hadis-hadis tersebut dengan sanadnya
di dalam al-Muhalla, jilid 5: 276.
19 Al-Muhalla, jilid 4: 83; diriwayatkan oleh Abu Ubaid
dalam al-Amwal: 413-414 dan menafsirkannya terlalu jauh.
20 Ibid, hal 84-85 dan terdapat perbedaan riwayat dari
Umar bin Abdul Aziz dan Hasan.
21 Al-Amwal; 413 dan diriwayatkan dari sumber.
22 Al-Mushannif, jilid 3: 160, cetakan Hyderabad.
23 Al-Amwal, hal. 412.
24 Al-Mushannif, jilid 3: 114, cetakan Hyderabad.
25 Ia berbicara dalam Mujma' az-Zawaid, jilid 3: 68 dan
orang-orangnya adalah shahih kecuali Hubairah yang adalah
thiqah.
26 Ia juga telah membantu Abu Ubaid dalam penafsiran versi
lain dari yang telah ditafsirkan oleh orang lain. Ia
berkata, bahwa mereka meriwayatkan dari Sufyan dari Khushaif
dari Abu Ubaidah dari Abdullah, "Barangsiapa memperoleh
harta benda, maka tidak ada zakat didalamnya sehingga lewat
setahun." Tetapi hadis tersebut lemah karena dua sebab:
a. Bahwa Abu Ubaid berkata: "Mereka meriwayatkan dari
Sufyan. Sedang dia sendiri tidak menyebutkan penyambung
dia dan Sufyan.
b. Bahwa Khushaif-meskipun ia banyak benarnya dituduh
salah, hafalan jelek dan banyak dugaan serta banyak ragu,
yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. Barangkali yang
paling benar adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Hiban.
"Ia adalah seorang tua yang shaleh, ahli fikih, selalu
tekun beribadah, tapi dia sering salah meriwayatkan hadis,
selalu lain daripada hadis-hadis masyhur. Dia banyak
benarnya dalam riwayatnya tetapi yang diragukan adalah
untuk menerima ia benar dan mau menghindari yang tidak
sesuai dengannya, tetapi ia adalah di antara orang yang
dipilih Allah tentang hal tersebut (lihat Tahdhib
at-Tahdhib, jilid 3: 143-144). Di sini kita melihat
riwayat-riwayat yang shahih dari Ibnu Mas'ud bertentangan
dengan riwayat Khushaif, yang membuat kita tidak boleh
menganggap tidak benar.
27 Al-Muwaththa ma'a al-Muntaqa, jilid 2: 95.
28 Al-Amwal; 432.
29 Al-Mushannif; 85.
30 Lihat al-Mughni jilid 2: 626 dan jilid 3: 29 dan 47.
31 Ar-Raudh an-Nadhir, jilid 2: 411 dan Nail al-Authar,
jilid 4: 148.
32 Ar-Raudh an-Nadhir, jilid 2: 411.
33 Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 4: 84.
34 Ibid.
35 Ibid.
36 Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 6: 84.
37 Ia berkata dalam Majma' az-Zawaid "orang-orangnya adalah
orang-orang shahih kecuali Hubairah yang tidak dipercaya"
(jilid 3: 68).
38 Ibnu Syaibah, Mushannif, jilid 4: 42-44, penerbit Maltan.
39 Ibid.
40 Lihat Syarh al-Muntwqa 'ala al-Muwaththa, jilid 2: 95.
penerbit as-Sa'adah.
41 Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab zakat dalam bab "Setiap
Muslim Wajib Sedekah," jilid 2: 143, penerbit asy-Syaib.
42 Menurut saya bahkan juga atas petani penyewa yang tidak
memiliki kurang satu qirat tanah pun jika tanahnya
menghasilkan lima puluh kail jagung atau gandum sebagaimana
pendapat Jumhur.
43 Muhammad Ghazali. al-Islam wa al-Audza al-Iqtishadiyyah;
166-168. cet. kelima.
44 Perhatikan kembali apa yang kami tulis dalam pendahuluan
tentang kaidah-kaidah yang kita pergunakan dalam memilih dan
mentarjih pendapat-pendapat.
45 Ini berdasarkan ukuran nisab dua puluh misqal emas.
Adapun jika berdasarkan ukuran perak, jarang sekali terjadi
bahwa gaji tidak mencapai nisab.
46 Lihat Syarh Ghayah al-Muntaha, jilid 2: 59.
47 Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannif; jilid 4: 30.
48 Al-Mughni, jilid 2: 626, cet. al-Mannar ketiga.
49 Al-Mushannif; jilid 4: 30.
50 Lihat ketentuan "Lebih dari Kebutuhan Pokok" dalam fasal
pertama bab ini, dan didalam fasal dari bab ini juga.
51 Lihat Dr. Muhammad Fuad Ibrahim, Mabadi' 'ilm al-Maliyah
al-'Ammah, jilid 1: 284.



Tidak ada komentar:

BARANG SIAPA YANG SENANG UNTUK BERTEMU DENGAN ALLAH MAKA ALLAH SENANG UNTUK BERTEMU DENGANNYA

bersabda : "Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang untuk bertemu dengan-Nya, apabila ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Ubaidah bin Ash Shamit ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah senang untuk bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan-Nya (Allah), maka Allah benci untuk bertemu dengannya". Aisyah atau sebagian isteri beliau berkata : "Sesungguhnya kami tidak senang kematian". Beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi seorang Mu'min apabila kedatangan maut (mati) diberi khabar gembira dengan keridhaan dan kemurahan Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih disukai dari pada apa yang dihadapinya, maka ia senang bertemu dengan Allah dan Allah senang bertemu dengannya. Dan sesungguhnya orang-orang katir, apabila kedatangan maut diberi khabar gembira dengan azab dan siksaan Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih dibenci dari pada apa yang dihadapinya. Ia tidak senang bertemu dengan Allah dan Allah tidak senang bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannva, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya . Sedang mati adalah sebelum bertemu dengan Allah". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya. Saya berkata : "Wahai Nabi Allah, apakah benci mati itu ? "Masing-masing dari kami membenci mati". Beliau bersabda : "Bukanlah demikian, tetapi orang Mu'min apabila diberi khabar gembira dengan rahmat dan keridhaan Allah serta surga-Nya, maka ia senang bertemu dengan Allah, dan A'lah senang bertemu dengannya, dan sesungguhnya orang kafir apabila diberi khabar gembira dengan siksa Allah dan kemurkaan-Nya, maka ia benci bertemu dengan Allah dan Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya". Syuraih berkata : Saya datang kepada Aisyah ra. saya berkata : "Wahai Ummul Mu'minin, saya mendengar Abu Hurairah menyebutkan sebuah hadits dari Rasulullah saw., jika demikian, kami telah binasa". Aisyah berkata : "Sesungguhnya orang yang binasa adalah orang yang binasa dengan sabda Rasulullah saw Apakah itu ?". Ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya. Tidak seorang pun diantara kami melainkan ia benci kematian". Aisyah bekata : Rasulullah saw telah menyabadakannya ; Bukan seperti pendapatmu tetapi apabila penglihatan telah membalik, dada telah kembang kempis, kulit telah menggigil, dan jari-jari telah menggenggam, ketika itulah .... "Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah maka Allah senang bertemu dengannya. Dan barang siapa benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



%%%%%%%%%%%%%%

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : "Apabila hamba-Ku senang bertemu dengan Ku, maka Aku senang bertemu dengan-Nya, dan jika ia benci bertemu dengan-Ku, maka Aku benci bertemu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Malik).

BELAS KASIH DAN DO'A NABI BAGI UMAT BELIAU

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya Nabi saw membaca firman Allah tentang Ibrahim saw. :

"RABBI INNAHUNNA ADL-LALNA KATSIRAN MINAN NAASI FAMAN TABIANII FA INNAHU MINNI"

(Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan Ku). (Ibrahim : 36).

Dan 'Isa saw berkata :

“IN TU’ADZDZIBHUM FA INNAHUM IBAADUKA WA IN TAGHFIR LAHUM FA INNAKA ANTAL ‘AZIIZUL HAKIIM"

(Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana). (Al Maidah : 118).

Beliau mengangkat kedua tangan seraya bersabda : "Wahai Umatku, ... umatku", dan beliau menangis, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad - sedang Tuhanmu lebih mengetahui - tanyalah kepadanya : "Apakah yang menyebabkan kamu menangis ?". Jibril as datang kepada beliau lalu bertanya kepada beliau, maka utusan Allah itu memberitahukan kepadaNya akan apa yang disabdakan beliau, - padahal Allah lebih mengetahui, - lalu Allah Ta'ala berfirman kepada Jibril : "Pergilah kepada Muhammad dan katakan : "Sesungguhnya Kami akan ridha terhadap umatmu dan Kami tidak berbuat buruk kepadamu". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).


Dari Tsauban, ia berkata : Rasulullah saw: bersabda : "Sesungguhnya Allah memperlihatkan bumi kepadaku, lalu aku melihat timur dan baratnya, dan sungguh kerajaan umatku akan sampai kepada bumi yang ditampakkan kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan yaitu merah dar putih. Sungguh aku mohon kepada Tuhanku bagi umatku agar tidak dihancurkan dengan tahun yang umum, dan tidak dikuasai oleh musuh selain diri mereka sendiri, lalu ia memusnahkan golongan mereka". Sesungguhnya Tuhanku berfirman : "Wahai Muhammad, sesungguhnya apabila saya menetapkan suatu ketetapan maka ketetapan itu tidaklah tertolak. Dan sesungguhnya Aku memberi kamu akan umatmu tidak Aku hancurkan dengan tahun yang umum, dan Aku tidak menguasakan musuh atas mereka selain diri mereka sendiri yang memusnahkan golongan mereka, walaupun berkumpul atas mereka dari seluruh penjuru" - atau Dia berfirman : "Dari seluruh penjuru bumi - sehingga sebagian dari mereka menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian dari mereka menawan terhadap sebagian yang lain". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).

MENGENAL TOKOH IMAM SYAFI'I ( Masa Tabiun Tabi'in)

Nama Dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga

Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.

Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Gelarnya

Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

Tempat Kelahirannya

Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.

Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”

Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu

Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.

Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.

Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.

Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya

Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.

Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.

Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.

Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.

Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.

Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).

Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.

Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

Aqidahnya

Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.

Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

Sya’ir-Sya’irnya

Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”

Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.

Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?


- Sya’ir Akhaq

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang


Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya

Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.

Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”

Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”

Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”

Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”

Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.

Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.

Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.

Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan


REFERENSI:

- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i