PARA ULAMA FIKIH LAIN DAN KALANGAN TABI'IN DAN LAINNYA
1. Mengenai pemungutan zakat dari "harta penghasilan" yang bersumber dari Zuhri dan Hasan adalah seperti yang diutarakan Ibnu Hazm. (Kita akan mengulas sedikit hal tersebut waktu membicarakan cara pengeluaran zakat "harta penghasilan"). Sebelum itu sudah terdapat pendapat serupa dari al-Auza'i. Bahkan Ahmad bin Hanbal diriwayatkan berpendapat yang mirip hal itu. Dan kita telah menerangkan dalam fasal sebelum ini pendapat tentang seseorang yang mengambil sewa dari penyewaan rumahnya bahwa ia harus mengeluarkan zakat hasil sewaan tersebut ketika menerimanya, sebagaimana disebutkan dalam al- Mughni. Ahmad berpendapat, dari sumber beberapa orang, bahwa orang itu mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya. Ibnu Mas'ud meriwayatkan dengan sanad ia sendiri apa yang telah kita terangkan diatas tentang zakat pemberian.
2. Hal tersebut juga merupakan pendapat Nashir, Shadiq dan Baqir dari kalangan ulama-ulama Makkah sebagaimana juga mazhab Daud; bahwa barangsiapa yang memperoleh sejumlah senisab, ia harus mengeluarkan zakatnya langsung.
Alasan mereka adalah keumuman nash-nash yang mewajibkan zakat, seperti sabda Rasulullah s.a.w.: "Uang perak zakatnya 1/40." (Muttafaq 'alaihi).
Berdasarkan hadis itu masa setahun tidak merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat dan tidak disyaratkan terpenuhinya nisab selain hanya pada saat harus dikeluarkan yaitu akhir tahun, sebagaimana dicontohkan Nabi yang memungut zakat pada akhir tahun, tanpa melihat keadaan harta tersebut pada awal tahun: cukup senisab atau tidak.
PERBEDAAN MAZHAB EMPAT DALAM MASALAH HARTA PENGHASILAN
Para imam mazhab empat berbeda pendapat yang cukup kisruh tentang harta penghasilan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam al- Muhalla. Ibnu Hazm berkata, bahwa Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak - meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas, perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan atau lainnya.
Tetapi Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat Tetapi bila binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun belum mencapai nisab.
Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nisab, dan bila tidak mencapai nisab maka tidak wajib zakatnya.
Ibnu Hazm tampil - dengan caranya yang menggebu-gebu - dengan pendapat bahwa pendapat-pendapat di atas adalah salah. Ia mengatakan bahwa salah satu bukti pendapat-pendapat itu salah adalah cukup dengan melihat kekisruhan semua pendapat itu, semuanya hanya dugaan-dugaan belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan, yang tidak ada landasan salah satu pun dari semuanya, baik dari Quran atau hadis shahih ataupun dari riwayat yang bercacat sekalipun, tidak perlu dari Ijmak dan Qias, dan tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima. Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah tersebut dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku bagi seluruh harta benda, uang penghasilan atau bukan, bahkan termasuk anak-anak binatang piaraan. Hal itu bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri yang keluar dari pertentangan itu dengan pendapat bahwa seluruh harta penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh orang-orang lain di atas.
BAGAIMANA CARA PENGELUARAN ZAKAT HARTA PENGHASILAN?
Ulama-ulama salaf yang berpendapat bahwa harta penghasilan wajib zakat, diriwayatkan mempunyai dua cara dalam mengeluarkan zakatnya:
1. Az-Zuhri berpendapat bahwa bila seseorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakatnya datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya, dan bila tidak ingin membelanjakannya maka hendaknya ia mengeluarkan zakatnya bersamaan dengan kekayaannya yang lain-lain.
Hal serupa atau dekat dengan pendapat tersebut adalah pendapat Auza'i tentang seseorang yang menjual hambanya atau rumahnya bahwa ia wajib mengeluarkan zakat sesudah menerima uang penjualan ditangannya, kecuali bila ia mempunyai bulan tertentu untuk mengeluarkan zakat, maka ia hendaknya mengeluarkan zakat uang penjualan tersebut bersamaan dengan hartanya yang lain tersebut.
Ini berarti bahwa bila seseorang mempunyai harta yang sebelumnya harus dikeluarkan zakatnya dan mempunyai masa tahun tertentu maka hendaknya ia mengundurkan pengeluaran zakat penghasilannya itu bersamaan dengan hartanya yang lain, kecuali bila ia kuatir penghasilannya itu terbelanjakan sebelum datang masa tahunnya tersebut yang dalam hal ini ia hendaknya segera mengeluarkan zakatnya.
2. Makhul berpendapat bahwa bila seseorang harus mengeluarkan zakat ada bulan tertentu kemudian memperoleh uang tetapi kemudian dibelanjakannya, maka uang itu tidak wajib zakat, yang wajib zakat hanya uang yang sudah datang bulan untuk mengeluarkan zakatnya itu. Tetapi bila ia tidak harus mengeluarkan zakat pada bulan tertentu kemudian ia memperoleh uang, maka ia harus mengeluarkan zakatnya pada waktu uang tadi diperoleh.
Pendapat itu dengan demikian memberikan keistimewaan kepada orang-orang yang mempunyai uang yang harus dikeluarkan zakatnya pada bulan tertentu itu, dan tidak memberikan keistimewaan kepada orang yang tidak mempunyai uang seperti itu. Yaitu membolehkan orang-orang yang pertama tadi membelanjakan penghasilannya tanpa mengeluarkan zakat kecuali bila masih bersisa sampai bulan tertentu yang dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan kekayaannya yang lain, sedangkan mereka yang tidak mempunyai kekayaan lain harus mengeluarkan zakat penghasilannya pada waktu menerima penghasilan tersebut. Kesimpulannya: memberikan keringanan kepada orang yang mempunyai kekayaan lain dan memberi beban berat kepada orang yang tidak mempunyai kekayaan selain penghasilannya tersebut.
Dalam masalah ini yang lebih kuat menurut saya adalah pendapat bahwa penghasilan yang mencapai nisab wajib diambil zakatnya, sebagaimana yang dikatakan Zuhri dan Auza'i, baik dengan mengeluarkan zakatnya begitu diterima ini khususnya bagi mereka yang tidak mempunyai kekayaan lain yang bermasa wajib zakat tertentu ataupun dengan mengundurkan pengeluaran zakat sampai batas setahun bersamaan dengan kekayaannya yang lain bila ia tidak kuatir akan membelanjakannya, tetapi bila ia kuatir penghasilan itu akan terbelanjakan olehnya, maka ia harus mengeluarkan zakatnya segera. Dan juga sekalipun ia membelanjakan penghasilannya itu, maka zakatnya tetap menjadi tanggungjawabnya, dan bila tidak mencapai nisab, zakatnya dipungut berdasar pendapat Makhul yaitu bahwa kekayaan yang sudah sampai bulan pengeluaran zakat harus dikeluarkan zakatnya, kekayaan yang harus dibelanjakan untuk nafkah sendiri dan tanggungannya tidak diambil zakatnya, dan bila ia tidak mempunyai harta lain, ia harus mengeluarkan zakatnya pada waktu tertentu, sedangkan penghasilan yang tidak mencapai nisab, tidak wajib zakat sampai mencapai nisab bersama dengan kekayaan lain yang harus dikeluarkan zakatnya pada waktu itu dan masa sampainya dimulai dari saat tersebut.
Pemilihan pendapat yang lebih kuat diatas berarti memberikan keringanann kepada orang-orang yang mempunyai gaji kecil yang tidak cukup senisab dan kepada mereka yang menerima gaji kecil pada waktu-waktu tertentu yang per satu kali waktu tidak cukup senisab.
Pengeluaran Zakat Pendapatan dan Gaji Bersih
Setelah kita menegaskan pendapat yang terpilih tentang kewajiban zakat atas gaji, upah, dan sejenisnya, maka kita menegaskan pula bahwa zakat tersebut hanya diambil dari pendapatan bersih.
Pengambilan dari pendapatan atau gaji bersih dimaksudkan supaya hutang bisa dibayar bila ada dan biaya hidup terendah seseorang dan yang menjadi tanggungannya bisa dikeluarkan karena biaya terendah kehidupan seseorang merupakan kebutuhan pokok seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan pokok sebagaimana telah kita tegaskan di atas. Juga harus dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk melakukan pekerjaan tersebut, berdasarkan pada pengqiasannya kepada hasil bumi dan kurma serta sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan zakatnya dari sisa. Itu adalah pendapat 'Atha dan lain-lain.
Berdasarkan hal itu maka sisa gaji dan pendapatan setahun wajib zakat bila mencapai nisab uang, sedangkan gaji dan upah setahun yang tidak mencapai nisab uang - setelah biaya-biaya diatas dikeluarkan misalnya gaji pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai kecil, tidak wajib zakat.
PERHATIAN
Bila seseorang sudah mengeluarkan zakat gaji, penghasilan, atau sejenisnya pada waktu menerimanya, maka tidak wajib zakat lagi pada waktu masa tempo tahunnya sampai, sehingga tidak terjadi kewajiban mengeluarkan zakat dua kali pada satu kekayaan dalam satu tahun. Karena itulah kita menegaskan dalam pembahasan mengenai harta penghasilan bahwa bila seseorang mempunyai penghasilan itu maka ia harus menangguhkan pengeluaran zakatnya sampai bersamaan dengan pengeluaran zakat kekayaannya yang lain yang sudah jatuh tempo zakatnya, bila ia tidak kuatir penghasilannya itu akan terbelanjakan olehnya sebelum temponya sendiri jatuh.
Kita berikan contoh tentang itu bahwa seseorang mempunyai kekayaan yang dikeluarkan zakatnya setiap tahun pada awal bulan Muharram, bila ia memperoleh penghasilan, gajinya umpamanya pada bulan Safar atau Rabiul Awal atau bulan-bulan sesudahnya dan ia sudah mengeluarkan zakatnya pada waktu menerimanya, maka ia tidak waJib lagi mengeluarkan zakatnya sekali lagi pada akhir tempo bersama dengan kekayaannya yang lain itu, tetapi mengeluarkan zakat dari penghasilan tersebut atau sisanya pada masa tempo kedua, sehingga kita tidak mempersukar diri sendiri sedangkan Allah telah menegakkan syariat-Nya atas dasar kemudahan.
HARTA PENGHASILAN MENURUT PARA SAHABAT DAN TABI'IN
1. IBNU ABBAS
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya."
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda pendapat mengenai itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak sedangkan saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda. Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut.
Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip, namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah; karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang banyak meriwayatkan darinya.
Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi penghambat itu tidak ada.
Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk menerima pengertian zahir hadis tersebut tidak dapat diterima karena:
1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat. Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.
2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian, maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak terjadi.
3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.
Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya mengira, dan dalam penutup ia mengatakan; "Bila ia (Ibnu Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut?"
2. IBNU MAS'UD
Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam, Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya. Abu Ubaid menafsirkan lain hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena diberikan.
Penafsiran lain itu kadang-kadang dilakukan takwil serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna yang dapat langsung difahami, dan berbeda pula dengan pendapat yang berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas adalah penarikan zakat atas pemberian Hubairah mengatakan bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah, dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan Pengurangan Sumber, bukan diambil karena kekayaan asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum mengetahui riwayat itu, sehingga dia memberikan takwil tersebut.
3. MU'AWIYAH
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
Yang jelas adalah bahwa Mu'awiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan yang jelas adalah bahwa zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah melanggar hadis Nabi atau ijmak yang dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan gandum, seperti diberitakan hadis Abu Said al-Khudri sedangkan Mu'awiyah sendiri - meski dikatakan bahwa ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah- tidak bermaksud menyanggah sunnah yang tegas dari Rasulullah s.a.w.
4. UMAR BIN ABDUL AZIZ
Empat periode Mu'awiyah, datanglah pembaru seratus tahun pertama yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian, hadiah, barang sitaan, dan lain
Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima.
Dengan demikian ucapan ('Umalah) adalah sesuatu yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang. Harta sitaan (mazalim) ialah harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan penghasilan baru bagi pemilik itu. Pemberian (u'tiyat) adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas hadiah-hadiah tersebut.
|
MEMILIH PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG PENGELUARAN ZAKAT PENGHASILAN PADA WAKTU DITERIMA
Setelah diperbandingkan pendapat-pendapat di atas dengan alasan masing-masing, diteliti nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, diperhatikan hikmah dan maksud pembuat syariat mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan umat Islam pada masa sekarang ini, maka saya berpendapat harta hasil usaha seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan yang lain yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, kapal terbang, percetakan, tempat- tempat hiburan, dan lain-lainnya, wajib terkena zakat persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima.
Sebagai penjelasan dari pendapat kami dalam masalah yang sensitif itu, kami mengemukakan beberapa butir alasan di bawah ini, supaya kebenaran dapat jelas yang dikuatkan dengan dalil:
1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum Syara' yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang diakui kebenarannya sebagaimana telah kita terangkan.
2. Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan: sebagian mempersyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkan satu tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang Muslim. Perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih baik daripada yang lain, oleh karena itu maka persoalannya dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaedah- kaedah yang lebih umum, misalnya firman Allah: "Bila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan kepada Rasul (hadis)." (An-Nisa,: 59).
3. Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab yang ada berselisih pendapat tajam sekali, yang mengakibatkan Ibnu Hazm sampai menilainya sebagai dugaan-dugaan saja, merupakan pertentangan-pertentangan dan bagian- bagian yang saling bertentangan yang tidak ada dasar kebenarannya, tidak dari Quran atau hadis shahih atau riwayat yang ada cela sekalipun, maupun dari Ijmak dan Qias, dan dari pemikiran dan pendapat yang kira-kira dapat diterima. Saya sudah melakukan penjajagan atas perbedaan-perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab, metode dan perbedaan pentashihan dan pentarjihan masing-masing mazhab. Saya menemukan pula berpuluh-puluh persoalan dan persoalan lebih jauh yang ditimbulkannya mengenai harta penghasilan itu, digabungkankah penghasilan itu dengan harta induknya atau tidak, ataukah sebagian digabungkan dan sebagian lagi tidak. Penggabungan tersebut dalam hal nisab, tahun, ataukah dalam keduanya. Beberapa diskusi berkisar mengenai masalah itu dalam hal zakat binatang, zakat uang, zakat perdagangan, dan persoalan-persoalan kecil lainnya Semuanya itu membuat saya menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana dan berbicara untuk seluruh umat manusia membawa persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh umat.
4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas di atas daripada mereka yang mempersyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dalam Quran maupun dalam sunnah datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun. Misalnya, "Berikanlah seperempat puluh harta benda kalian," Harta tunai mengandung kewajiban seperempat puluh dan dikuatkan oleh keumuman firman Allah "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian." (al-Baqarah: 267) Kata ma Kasabtum merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan, atau pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang kepada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat penghasilan dan profesi. Bila para ulama fikih telah menetapkan setahun sebagai syarat wajib zakat perdagangan, maka itu berarti bahwa antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak boleh dipisahkan karena laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
5. Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan wajib zakat, qias yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Maka bila kita memungut dari petani meskipun sebagai penyewa, sebanyak sepersepuluh atau seperdua puluh hasil tanaman atau buah-buahannya, mengapakah kita tidak boleh memungut dari seorang pegawai atau seorang dokter, umpamanya, sebanyak seperempat puluh penghasilannya? Bila Allah menyatukan penghasilan yang diterima seseorang Muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, yaitu "Hai orang- orang yang beriman keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami keluarkan untuk kalian dari tanah," mengapakah kita membeda-bedakan dua masalah yang di atur Allah dalam satu aturan sedangkan kedua-duanya adalah rezeki dan nikmat dari Allah?
Benar, bahwa nikmat Allah dalam hasil tanaman dan buah-buahan lebih kentara dan mensyukurinya lebih wajib, namun demikian tidak berarti bahwa salah satu pendapatan tersebut tegas wajib zakat sedangkan yang satu lagi tidak. Perbedaannya cukup dengan bahwa pembuat syariat mewajibkan zakat dari hasil tanah sebesar sepersepuluh atau seperdua puluh sedangkan pada harta penghasilan berupa uang atau yang senilai dengan uang-sebanyak seperempat puluh.
6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi dua golongan saja: menginvestasikan pendapatan mereka terlebih dahulu dalam berbagai sektor, atau berfoya-foya bahkan menghamburkan semua penghasilannya itu kesana-sini sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya. Itu berarti hanya membebankan zakat pada orang-orang yang hemat dan ekonomis saja, yang membelanjakan kekayaannya seperlunya, tidak berlebih-lebihan tetapi tidak pula kikir, yang berarti mereka menyimpan penghasilan mereka sehingga mencapai masa zakatnya. Hal itu jauh sekali dari maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak, yaitu memperingan beban orang-orang pemboros dan memperbuat beban orang-orang yang hemat.
7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat Islam mewajibkan zakat Misalnya: Seorang petani yang menanam tanaman pada tanah sewaan, hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5% bila sudah mencapai 50 kila Mesir, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab yang ada, sedangkan pemilik tanah yang dalam sejam kadang-kadang memperoleh beratus-ratus atau beribu- ribu dinar berupa uang sewa tanah tersebut, tidak dikenakan zakat, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab yang ada, karena adanya persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur, advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dan lain-lainnya. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama. Kita tidak yakin, bila mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah, seperti yang hanyak kita temukan dalam riwayat para imam .
8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima, diantaranya gaji, upah, penghasilan dari modal yang ditanamkan pada sektor selain perdagangan, dan pendapatan para ahli, akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang yang berhak lainnya, menambah besar perbendaharaan zakat, disamping menambah perbendaharaan negara dan pemiliknya dapat dengan mudah mengeluarkan zakatnya. Hal itu dengan pemungutan zakat gaji para pegawai dan karyawan tersebut oleh pemerintah atau yayasan-yayasan melalui cara yang dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan "Penahanan pada Sumber," seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah serta Umar bin Abdul Aziz dalam, memotong pemberian yang mereka berikan. Maksud kata "pemberian" disini adalah gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan negara pada masa itu. Abu Walid Baji mengatakan bahwa "Pemberian menurut syara' adalah pemberian dari kepala negara kepada seseorang dari Baitul-mal berbentuk nafkah hidup (gaji). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hubaira bahwa Ibnu Mas'ud memotong pemberian yang mereka terima sebesar dua puluh lima dari tiap seribu. Hal itu diriwayatkan pula oleh at-Tabrani darinya juga. Dari 'Aun dari Muhammad, "Saya melihat para penguasa bila memberikan gaji, memotong zakatnya. Dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa ia mengeluarkan zakat pemberian dan hadiah. Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab, bahwa: Orang yang pertama kali memungut zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Tampaknya yang ia maksudkan adalah khalifah pertama yang memungut zakat pemberian, sedangkan sebenarnya sudah ada orang yang mengambil zakat pemberian sebelum itu, yaitu Abdullah bin Mas'ud sebagaimana kita jelaskan.
9. Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim, sesuai pula dengan kemanusiaan yang harus ada dalam masyarakat, ikut merasakan beban orang lain, dan menanamkan agama tersebut menjadi sifat pribadi unsur pokok kepribadiannya. Allah berfirman tentang sifat-sifat orang yang bertakwa, "Dan sebagian apa yang kami berikan kepada mereka, mereka nafkahkan." Allah juga berfirman, "Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian apa-apa yang kami berikan kepada kalian." Untuk itu Nabi s.a.w. mewajibkan kepada setiap orang Muslim mengorbankan sebagian hartanya, penghasilannya, atau apa saja yang ia korbankan.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Asyari dari Nabi s.a.w.:
"Setiap orang Muslim wajib bersedekah." Mereka bertanya, "Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya? Beliau menjawab, "Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah." Mereka bertanya, "Kalau tidak punya pekerjaan?" Beliau bersabda, "Tolong orang yang meminta pertolongan." Mereka bertanya, "Bagaimana bila tidak bisa?" Beliau menjawab, "Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan, hal itu merupakan sedekahnya."
Pembebasan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang tersebut dari sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan berusaha.
10. Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan pemasukan zakat secara pasti dan pengelolaannya dilihat dari pihak orang yang wajib mengeluarkan zakat dan dari segi administrasi pemungutan zakat. Hal itu oleh karena bagi yang berpendapat satu tahun sebagai syarat zakat, menyebabkan setiap orang yang mendapatkan penghasilan sedikit atau banyak berupa gaji, honorarium atau penghasilan kekayaan tak bergerak, atau jenis pendapatan yang lain-harus menentukan masa jatuh tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya lalu bila sampai masa tempo setahunnya itu dikeluarkanlah zakatnya. Ini berarti, bahwa seorang Muslim kadang-kadang bisa mempunyai berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang dengan demikian zakat tidak bisa terpungut dan sulit dilaksanakan
PENDAPAT MASA KINI
Adalah bijaksana bila kita menyebutkan disini, bahwa seorang penulis Islam yang terkenal, Muhammad Ghazali, telah membahas masalah ini dalam bukunya Islam wa al-Audza' al-Iqtishadiya. Lebih daripada dua puluh tahun yang lalu. Setelah menyebutkan bahwa dasar penetapan wajib zakat dalam Islam hanyalah modal, bertambah, berkurang atau tetap, setelah lewat setahun, seperti zakat uang, dan perdagangan yang zakatnya seperempat puluh, atau atas dasar ukuran penghasilan tanpa melihat modalnya seperti zakat pertanian dan buah buahan yang zakatnya sepersepuluh atau seperdua puluh, maka beliau mengatakan; "Dari sini kita mengambil kesimpulan, bahwa siapa yang mempunyai pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali keadaan modal dan persyaratan- persyaratannya." Berdasarkan hal itu, seorang dokter, advokat, insinyur, pengusaha, pekerja, karyawan, pegawai, dan sebangsanya wajib mengeluarkan zakat dari pendapatannya yang besar. Hal itu berdasarkan atas dalil:
1. Keumuman nash Quran: "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil yang kalian peroleh." (al-Baqarah: 267)
Tidak perlu diragukan lagi bahwa jenis-jenis pendapatan di atas termasuk hasil yang wajib dikeluarkan zakatnya, yang dengan demikian mereka masuk dalam hitungan orang-orang Mu'min yang disebutkan Quran: "Yaitu orang-orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan salat, serta mengeluarkan sebagian yang kami berikan." (al-Baqarah: 3).
2. Islam tidak memiliki konsepsi mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddan (1 faddan = 1/2 ha). Sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddan tidak mewajibkannya, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya yang atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika mencapai nisab.
Untuk itu, harus ada ukuran wajib zakat atas semua kaum profesi, dan pekerja tersebut, dan selama sebab (illat) dari dua hal memungkinkan diambil hukum qias, maka tidak benar untuk tidak memberlakukan qias tersebut dan tidak meneriina hasilnya.
Dan kadang-kadang dipertanyakan, bagaimana kita menentukan besar zakatnya? Jawabnya mudah, karena Islam telah menentukan besar zakat buah-buahan antara sepersepuluh dan seperdua puluh sesuai dengan ukuran beban petani dalam mengairi tanahnya. Maka berarti ukuran beban zakat setiap pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya.
Persoalan tersebut sebenarnya dapat diterangkan sejelas-jelasnya, bila pokok persoalan yang sensitif tersebut sudah duduk. Tetapi persoalan tersebut tidak bisa dijelaskan dengan pemikiran seseorang, tetapi membutuhkan kerja sama para ulama dan ilmuwan.
Diskusi-diskusi tentang hal itu menarik sekali, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki pemahaman yang tajam terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Dua landasan yang dikemukakan oleh Muhammad Ghazali tidak ada kelemahannya, karena beliau telah menggunakan landasan keumuman nash Quran dan qias. Tetapi pendekatan yang kita pergunakan dalam memakai landasan-landasan itu disini lebih mendasar ke sumbernya dari pendekatan Muhammad Ghazali, yaitu memakai pendapat para sahabat, tabiiin dan para ahli fikih sesudah mereka.
Dan bila hal itu berlainan dari pendapat empat mazhab yang ada, maka tidak satu pun nash dari Allah atau dari Rasul s.a.w. tidak pula dari imam- imam mazhab tersebut yang mewajibkan pendapat mereka diikuti sepenuhnya, mengekor kepada mereka, dan melarang orang berlainan pendapat dari ijtihad mereka. Tetapi mereka sebaliknya, melarang orang mengekor mereka, sebagaimana telah kita sebutkan dalam pendahuluan buku ini
NISAB MATA PENGHASILAN DAN PROFESI
Kita sudah mengetahui, bahwa Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan zakat atas harta benda yang mencapai nisab, bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Hal itu untuk menetapkan siapa yang tergolong seorang kaya yang wajib zakat karena zakat hanya dipungut dari orang-orang kaya tersebut, dan untuk menetapkan arti "lebih" ('afw) yang dijadikan Quran sebagai sasaran zakat tersebut. Allah berfirman "Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (al-Baqarah: 219). Dan Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kewajiban zakat hanya bagi orang kaya." "Mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu." Hal itu sudah ditegaskan dalam syarat-syarat kekayaan yang wajib zakat. Bila zakat wajib dikeluarkan bila cukup batas nisab, maka berapakah besar nisab dalam kasus ini?
Muhammad Ghazali dalam diskusi diatas cenderung untuk mengukurnya menurut ukuran tanaman dan buah-buahan. Siapa yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya. Artinya, siapa yang mempunyai pendapatan yang mencapai lima wasaq (50 kail Mesir) atau 653 kg, dari yang terendah nilainya yang dihasilkan tanah seperti gandum, wajib berzakat. Ini adalah pendapat yang benar. Tetapi barangkali pembuat syariat mempunyai maksud tertentu dalam menentukan nisab tanaman kecil, karena tanaman merupakan penentu kehidupan manusia. Yang paling penting dari besar nisab tersebut adalah bahwa nisab uang diukur dari nisab tersebut yang telah kita tetapkan sebesar nilai 85 gram emas. Besar itu sama dengan dua puluh misqal hasil pertanian yang disebutkan oleh banyak hadis. Banyak orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling baik adalah menetapkan nisab gaji itu berdasarkan nisab uang.
TINGGAL SATU PERSOALAN LAGI
Orang-orang yang memiliki profesi itu memperoleh dan menerima pendapatan mereka tidak teratur, kadang-kadang setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang pada saat-saat tertentu seperti advokat dan kontraktor serta penjahit atau sebangsanya, sebagian pekerja menerima upah mereka setiap minggu atau dua minggu, dan kebanyakan pegawai menerlma gaji mereka setiap bulan, lalu bagaimana kita menentukan penghasilan mereka itu?
Disini kita bertemu dengan dua kemungkinan:
1. Memberlakukan nisab dalam setiap jumlah pendapatan atau penghasilan yang diterima. Dengan demikian penghasilan yang mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada para golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapai nisab tidak terkena.
Kemungkinan ini dapat dibenarkan, karena membebaskan orang-orang yang mempunyai gaji yang kecil dari kewajiban zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya atas pegawai-pegawai tinggi dan tergolong tinggi saja. Ini lebih mendekati kesamaan dan keadilan sosial. Disamping itu juga merupakan realisasi pendapat sahabat dan para ulama fikih yang mengatakan bahwa penghasilan wajib zakatnya pada saat diterima bila mencapai nisab. Tetapi menurut ketentuan wajib zakat atau penghasilan itu bila masih bersisa di akhir tahun dan cukup senisab. Tetapi bila kita harus menetapkan nisab untuk setiap kali upah, gaji, atau pendapatan yang diterima, berarti kita membebaskan kebanyakan golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup nisab dari kewajiban zakat, sedangkan bila seluruh gaji itu dari satu waktu itu dikumpulkan akan cukup senisab bahkan akan mencapai beberapa nisab. Begitu juga halnya kebanyakan para pegawai dan pekerja.
2. Disini timbul kemungkinan yang kedua, yaitu mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali itu dalam waktu tertentu. Kita menemukan ulama-ulama fikih yang berpendapat seperti itu dalam kasus nisab pertambangan, bahwa hasil yang diperoleh dari waktu ke waktu yang tidak pernah terputus ditengah akan lengkap-melengkapi untuk mencapai nisab. Para ulama fikih itu juga berbeda pendapat tentang penyatuan hasil tanaman dan buah-buahan antara satu dengan yang lain dalam satu tahun. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa hasil bermacam-macam jenis tanaman dan buah-buahan selama satu tahun penuh dikumpulkan jadi satu untuk mencapai nisab, sekalipun tempat tanaman tidak satu dan menghasilkan dua kali dalam satu tahun. Jika buah-buahan tersebut menghasilkan dua kali dalam setahun, maka hasil seluruhnya dikumpulkan untuk mencapai satu nisab, karena kedua penghasilan tersebut adalah buah-buahan yang dihasilkan dalam satu tahun, sama halnya dengan jagung yang berbuah dua kali.
Atas dasar ini dapat kita katakan bahwa satu tahun merupakan satu kesatuan menurut pandangan pembuat syariat, begitu juga menurut pandangan ahli perpajakan modern. Oleh karena itulah ketentuan setahun diberlakukan dalam zakat.
Fakta adalah bahwa para pemerintahan mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.
Berdasarkan hal itulah zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari dalam setahun penuh, jika pendapatan bersih setahun itu mencapai satu nisab. Semoga pendapat-pendapat sebagian ulama fikih yang menegaskan bahwa harta penghasilan wajib zakat dan cara mengeluarkan zakatnya seperti yang diterangkan mereka, dapat membantu kita dalam menetapkan kebijaksanaan wajib zakat atas penghasilan pegawai dan golongan profesi tersebut
BESAR ZAKAT PENGHASILAN DAN SEJENISNYA
Berapakah besar zakat yang ditetapkan atas berbagai macam penghasilan dan pendapatan? Masalah yang diundang oleh Muhammad Ghazali agar para ulama dan ilmuwan bekerjasama membahasnya, maka kita setelah mengadakan penelitian dan pengkajian, sampai pada satu pendapat yang kita paparkan sebagai berikut:
Penghasilan yang diperoleh dari modal saja atau dari modal kerja seperti penghasilan pabrik, gedung, percetakan, hotel, mobil, kapal terbang dan sebangsanya-besar zakatnya adalah sepersepuluh dari pendapatan bersih setelah biaya, hutang, kebutuhan-kebutuhan pokok dan lain-lainnya dikeluarkan, berdasarkan qias kepada penghasilan dari hasil pertanian yang diairi tanpa ongkos tambahan.
Diatas kita sudah bertemu dengan pendapat Abu Zahrah dan teman-temannya mengenai zakat gedung dan pabrik bahwa bila mungkin diketahui pendapatan bersih setelah dikeluarkan ongkos-ongkos dan biaya-biaya, seperti keadaan dalam perusahaan industri, maka zakatnya diambil dari pendapatan bersih sebesar sepersepuluh, dan jika tidak mungkin diketahui pendapatan bersih seperti berbagai macam gedung dan sejenisnya, maka zakatnya diambil dari pendapatan tersebut sebesar sepersepuluh. Klasifikasinya itu dapat diterima.
Yang kita maksudkan dengan modal disini adalah modal yang dikembangkan di luar sektor perdagangan. Sedangkan modal yang tersebar dalam sektor perdagangan maka zakatnya diambil dari modal beserta keuntungannya sebesar seperempat puluh, sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan mengenai hal itu.
Tetapi pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan saja seperti pendapatan pegawai dan golongan profesi yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka, maka besar zakat yang wajib dikeluarkan adalah seperempat puluh, sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang sebanyak seperempat puluh, baik harta penghasilan maupun yang harta yang bermasa tempo, dan sesuai dengan kaedah Islam yang menegaskan bahwa kesukaran dapat meringankan besar kewajiban serta mengikuti tindakan Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah yang telah memotong sebesar tertentu, berupa zakat, dari gaji para tentara dan para penerima gaji lainnya langsung di dalam kantor pembayaran gaji, juga sesuai dengan apa yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pengqiasan penghasilan kepada pemberian atau gaji yang diberikan oleh khalifah kepada tentara itu lebih kuat dari pengqiasannya kepada hasil pertanian. Sedang yang lebih tepat diqiaskan kepada pendapatan hasil pertanian adalah pendapatan dari gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan sejenisnya berupa modal-modal yang memberikan penghasilan sedangkan modal tersebut tetap utuh.
Ini berarti bahwa besar zakat pendapatan kerja lebih ringan dari besar zakat pendapatan modal atau modal kerja. Inilah yang diterapkan oleh sistem perpajakan modern yang oleh para ahli moneter dihimbau agar keadilan diterapkan melalui penetapan pajak berdasarkan kuat atau lemahnya sumber pendapatan tersebut sehingga salah satu ciri penting kepribadian pajak pendapatan adalah perhitungan atas sumber pendapatan tersebut. Dan karena sumber pendapatan pada pokoknya tidak keluar dari tiga hal, yaitu modal, kerja, dan gabungan antara modal dan kerja, maka ketentuan dalam dunia perpajakan adalah bahwa besar pajak pendapatan atas modal tetap atau yang berkembang mempunyai urutan lebih tinggi daripada besar pajak yang dikenakan atas penghasilan dari kerja. Karena modal merupakan sumber yang lebih stabil dan mantap, sedangkan kerja merupakan sumber yang paling tidak stabil. Mereka menegaskan bahwa perhatian terhadap sumber pendapatan seharusnya menyebabkan pajak yang ditetapkan dapat mengurangi beban pajak, orang-orang yang memperoleh pendapatan dari sumber yang lemah, dan itu berarti berperan aktif mewujudkan keadilan dalam distribusi pendapatan.
Bahkan sebagian orang-orang sosialis lebih ekstrim lagi, yang menghimbau agar penghasilan dari kerja dapat dibebaskan dari segala macam pajak untuk mendorong kerja tersebut.
Namun pandangan Islam mengenai zakat adalah bahwa zakat merupakan lambang pensyukuran nikmat, pembersihan jiwa, pembersihan harta, dan pemberian hak Allah, hak masyarakat, dan hak orang yang lemah. Pandangan itu menegaskan bahwa zakat wajib dipungut dari hasil kerja sebagaimana juga wujud dipungut dari pendapatan-pendapatan yang lain, meskipun besar zakat masing-masing berbeda-beda.
Catatan kaki:
1 Halqa ad-Dirasa al-Ijtima'iyya: 248. 2 Ibid. 3 Penentangan yang paling jelas adalah keluhan kebanyakan pegawai bahwa mereka sudah membelanjakan gaji mereka beberapa hari setelah diterima sampai meminjam lagi. Dalam hal ini secara ijmak waktu setahun tidak terpenuhi. 4 Lihat Ibnu Hazm, al-Mahalla, jilid 4:3 dan Nashb ar-Rayah, jilid 2: 28-329. 5 Sunan Turmizi, kitab zakat, bab zakat emas dan uang. 6 Mukhtashar as-Sunan, jilid 2: 191. 7 Mizan al-I'tidal, jilid 2: 352-353. Terjemah no. 4052. 8 Ibid: 182. 9 Lihat riwayatnya dalam al-Mizan, no. 1918, jilid 1: 513-515. 10 At-Talkhish: 175. 11 Ibid, 175. 12 Nushbu ar-Riwayah, jilid 2: 330. 13 At-Talkhis, 175. 14 Tahdhib Sunan Abi Daud, jilid 2: 189. 15 Al-Mizan, jilid 1: 445-446, terjemah no. 1659. 16 Turmizi bisyarhi Ibni al-Arabi, jilid 3: 125-126. 17 Lihat as-Sunan al-Kubra. jilid 4: 95 dan at-Takhsish; 175. 18 Ibnu Hazm meriwayatkan hadis-hadis tersebut dengan sanadnya di dalam al-Muhalla, jilid 5: 276. 19 Al-Muhalla, jilid 4: 83; diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam al-Amwal: 413-414 dan menafsirkannya terlalu jauh. 20 Ibid, hal 84-85 dan terdapat perbedaan riwayat dari Umar bin Abdul Aziz dan Hasan. 21 Al-Amwal; 413 dan diriwayatkan dari sumber. 22 Al-Mushannif, jilid 3: 160, cetakan Hyderabad. 23 Al-Amwal, hal. 412. 24 Al-Mushannif, jilid 3: 114, cetakan Hyderabad. 25 Ia berbicara dalam Mujma' az-Zawaid, jilid 3: 68 dan orang-orangnya adalah shahih kecuali Hubairah yang adalah thiqah. 26 Ia juga telah membantu Abu Ubaid dalam penafsiran versi lain dari yang telah ditafsirkan oleh orang lain. Ia berkata, bahwa mereka meriwayatkan dari Sufyan dari Khushaif dari Abu Ubaidah dari Abdullah, "Barangsiapa memperoleh harta benda, maka tidak ada zakat didalamnya sehingga lewat setahun." Tetapi hadis tersebut lemah karena dua sebab: a. Bahwa Abu Ubaid berkata: "Mereka meriwayatkan dari Sufyan. Sedang dia sendiri tidak menyebutkan penyambung dia dan Sufyan. b. Bahwa Khushaif-meskipun ia banyak benarnya dituduh salah, hafalan jelek dan banyak dugaan serta banyak ragu, yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. Barangkali yang paling benar adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Hiban. "Ia adalah seorang tua yang shaleh, ahli fikih, selalu tekun beribadah, tapi dia sering salah meriwayatkan hadis, selalu lain daripada hadis-hadis masyhur. Dia banyak benarnya dalam riwayatnya tetapi yang diragukan adalah untuk menerima ia benar dan mau menghindari yang tidak sesuai dengannya, tetapi ia adalah di antara orang yang dipilih Allah tentang hal tersebut (lihat Tahdhib at-Tahdhib, jilid 3: 143-144). Di sini kita melihat riwayat-riwayat yang shahih dari Ibnu Mas'ud bertentangan dengan riwayat Khushaif, yang membuat kita tidak boleh menganggap tidak benar. 27 Al-Muwaththa ma'a al-Muntaqa, jilid 2: 95. 28 Al-Amwal; 432. 29 Al-Mushannif; 85. 30 Lihat al-Mughni jilid 2: 626 dan jilid 3: 29 dan 47. 31 Ar-Raudh an-Nadhir, jilid 2: 411 dan Nail al-Authar, jilid 4: 148. 32 Ar-Raudh an-Nadhir, jilid 2: 411. 33 Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 4: 84. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 6: 84. 37 Ia berkata dalam Majma' az-Zawaid "orang-orangnya adalah orang-orang shahih kecuali Hubairah yang tidak dipercaya" (jilid 3: 68). 38 Ibnu Syaibah, Mushannif, jilid 4: 42-44, penerbit Maltan. 39 Ibid. 40 Lihat Syarh al-Muntwqa 'ala al-Muwaththa, jilid 2: 95. penerbit as-Sa'adah. 41 Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab zakat dalam bab "Setiap Muslim Wajib Sedekah," jilid 2: 143, penerbit asy-Syaib. 42 Menurut saya bahkan juga atas petani penyewa yang tidak memiliki kurang satu qirat tanah pun jika tanahnya menghasilkan lima puluh kail jagung atau gandum sebagaimana pendapat Jumhur. 43 Muhammad Ghazali. al-Islam wa al-Audza al-Iqtishadiyyah; 166-168. cet. kelima. 44 Perhatikan kembali apa yang kami tulis dalam pendahuluan tentang kaidah-kaidah yang kita pergunakan dalam memilih dan mentarjih pendapat-pendapat. 45 Ini berdasarkan ukuran nisab dua puluh misqal emas. Adapun jika berdasarkan ukuran perak, jarang sekali terjadi bahwa gaji tidak mencapai nisab. 46 Lihat Syarh Ghayah al-Muntaha, jilid 2: 59. 47 Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannif; jilid 4: 30. 48 Al-Mughni, jilid 2: 626, cet. al-Mannar ketiga. 49 Al-Mushannif; jilid 4: 30. 50 Lihat ketentuan "Lebih dari Kebutuhan Pokok" dalam fasal pertama bab ini, dan didalam fasal dari bab ini juga. 51 Lihat Dr. Muhammad Fuad Ibrahim, Mabadi' 'ilm al-Maliyah al-'Ammah, jilid 1: 284.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar